Jumat, 07 Januari 2011

KONDOBULENG: DARI ARENA KE TEKS

Eksistensi dan Transkripsi Teater Tradisional Bugis-Makassar
SEMINAR SERUMPUN IV UNHAS-MALAYSIA
4-5 JULI 2009


ABSTARK.

Kondobuleng, sejenis teater tradisional suku Bugis-Makassar, Sulawesi Selatan. Catatan tertua menegaskan, teater tradisional ini milik orang Bajo, sekelompok masyarakat pantai yng berdiam di wilayah Teluk Bone, Sulawesi Selatan (Holt, 1939). Teater ini terungkap melalui gerak, vokal, dan musik. Kondobuleng sebagai teater tradisional dapat ditemukan di Paropo’ di tengah-tegah Kota Makassar, ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu, juga di pulau-pulau dalam wilayah Kabupaten Pangkajene Kepulauan, tetapi dikenal sebagai tarian.

Teater tradisional Kondobuleng mempunyai keunikan yang tidak dipunyai oleh teater tradisional lainnya di Indonesia. Keunikan dimaksud yaitu tidak adanya batas antara pemain (characters) dengan perlengkapan (properties) pada adegan tertentu. Mereka adalah pemain, tetapi pada adegan yang sama, mereka adalah perlengkapan pemain. Mereka perahu yang sedang menyeberangi samudra, tetapi pada sat itu pula, mereka adalah manusia yang sedang menumpangi perahu itu.


Sebagai warisan dari masa lampau, Kondobuleng yang telah berusia sekitar 300 tahun
itu, mengandung fungsi-fungsi sosial yang memiliki 3 nilai yaitu nilai pendidikan (educational value), nilai hiburan (recreational value), dan nilai penciptaan (re-creative value). Nilai-nilai tersebut dapat ditemukan sepanjang pertunjukanya yang sederhana tapi sangat simbolis melalui tiga jenis komedi, yakni kecelakaan fisik (physical mishap), kejenakaan verbal (verbal wit), dan komedi ide (comedy of idea).
Berbagai perubahan dan karena itu berbagai penafsiran muncul dalam perjalanannya. Ada yang berpendapat bahwa Kondobuleng adalah simbol kesucian, kemurnian; dan karena itu meskipun tokoh kondo (bangau) sudah mati karena ditembak, dia hidup kembali. Pada masa penajajahan Belanda, tokoh Bangau ditafsirkan sebagai Belanda, dan karena itu tidak hidup kembali setelah tertembak oleh gerilya. Ketika PKI (Partai Komunis Indonesia) masih bercokol di Indonesia, tokoh Bangau hidup kembali setalah ditembak oleh PKI, dan karena itu sang penembak harus menembak dirinya sendiri, karena dianggap dia tidak mampu melaksanakan tugas partai dengan baik. Hal ini mengingatkan kita tentang prinsip PKI, bahwa segala sesuatunya ada di bawah telapak kaki politik. Ada pula yang menafsirkannya sebagai prwujudan siri na pacce (Makassar), siri’ na pessệ (Bugis) seagai sitem nilai suku Bugis-Makassar, sehingga hidupnya kembali tokoh Bangau (sang kondobuleng), ditafsirkan buka secra fisik, melaikan dalam hati keluarga. Salah satu sebab perbedaan penafsiran itu disebabkan oleh adanya perubahan tertentu, tetapi tidak mengubah pola.
Salah satu upaya sebagai tujuan pelestarian Kondobuleng, adalah pentranskripsian dalam bentuk naskah pertunjukan. Tujuan lainnya agar awal penyosialisasiannya bisa lebih menyebar dalam bentuk tulisan, dan sebagai pengenalan awal bagi mahasiswa Universitas Hasanuddin yang megambil mata kuliah Seni Pertunjukan Tradisional yang bernomor kode 259F5102.
Sebagai kelengkapan, terlampir transkripsi naskah Kondobuleng (Lampiran 1), transliterasi ke aksara Latin syair Daeng Camummu sebagai lagu latar belakang pertunjukan (Lampiran 2), dan trasliterasi syair Daeng Camummu dalam tipografi sajak (Lampiran 3).

***

Pengantar
Sebagai karya kreatif, teater dan drama berada pada wilayah masing-masing. Drama pada wilayah seni sastra yang ditulis untuk dipertunjukkan, sedangkan teater pada wilayah seni pertunjukan. Pernyataan ini tidak berarti bahwa, puisi dan cerpen sebagai karya sastra, tidak memungkinkan untuk dipertunjukkan. Bahkan dalam perkembangan seni pertunjukan dewasa ini, karya seni rupa bisa menjadi salah satu jenis seni pertunjukan. Salah satu di antaranya adalah Seni Rupa Petunjukan: Kolaborasi dan Penciptaan dalam Festival dan Temu Ilmiah & Festival Budaya Nusantara (9-23 September 1999) di Tirtagangga, Bali. Lebih dari itu, Seni Rupa Pertunjukan di workshop-kan pada hari terakhir. Konsep tertulis dan tidak tertulis itulah yang menjadi pembeda paling utama antarkeduanya.

Secara historis seni pertunjukan di Indonesia tidak bertolak dari teks berbentuk naskah tertulis. Seni pertunjukan macam itu dikenal dengan teater tradisional. Pola penyebarannya dari wilayah ke wilayah, dari generasi ke generasi hanya pada saat pertunjukannya. Oleh karena eksistensi seni pertunjukan di Indonesia tidak tertulis, tanpa ragu-ragu Djajakusuma (1972) mengatakan bahwa sebelum abad ke-19 di Indonesia tidak ada drama. Yang ada adalah teater. Alasan utamanya karena Indonesia tidak memiliki tradisi menuliskan konsep seni pertunjukannya.

Sehubungan dengan pendapat Djajakusuma tersebut, Sumardjo menegaskan:
“Salah satu aspek teater Barat yang membedakannya dengan teater tradisional Indonesia adalah tersedianya naskah drama. Teater tradisional Indonesia tidak pernah menuliskan naskah pementasannya...... Naskah sastra drama tertua yang tercatat di Indonesia adalah karya F. Wiggers, Lelakon Raden Beij Surio Retno yang diterbitkan tahun 1901. Sedangkan rombongan drama tertua di Indonesia muncul tahun 1891 dengan nama Komedie Stamboel (1992: 236).

Sulawesi Selatan yang secara geografis terletak di wilayah bagian timur Indonesia, teater tradisionalnya memang amat sangat terbatas jika dibandingkan dengan Jawa dan Bali. Jenis-jenis yang telah diidentifikasikan ada 6 (secara alfabetis):
1) Anngaruwe’. 2) Koa-koayang. 3) Kondobuléng. 4) Maccampong. 5) Mappennyu, 6) Songko’-songko’ Jangang. Empat jenis di antara teater tradisional tersebut di atas: Anngaruwe’, Maccampong, Mappennyu, dan Songko’-songko’ Jangang pada akhir dasa warsa pertama abad ke-21 ini, tidak pernah lagi dipertunjukkan. Dua jenis lainnya: Koa-koayang dan Kondobuléng pertunjukannya hanya karena diundang oleh sebuah panitia.

Dalam berbagai diskusi, teknologi seni audio visual (televisi, VCD, dan semacamnya) dituding sebagai penyebab tersisihnya teater tradisional Indonesia dari masyarakatnya. Pendapat itu di satu sisi bisa dibenarkan. Kampung-kampung sebagai wilayah konsumen terbesar seni pertunjukan tradisional, sejak awal dasa warsa pertama abad ke-21, sudah dimasuki VCD dengan film-film yang mereka anggap “modern”. Para pemuda mengikutinya, bahkan dirasuki oleh gaya (style) berpakaian, berjalan, atau cara berbicara tokoh yang disaksikannya. Di sisi lain penyebab terisihnya ialah penampilannya yang sangat terbatas dan hanya di lingkungan pendukungnya. Dan, yang lebih dari itu, mereka masih menerapkan pendapat bahwa para pemainnya harus yang ada hubungan darah dengan leluhurnya.

Dalam Festival Teluk Bone awal tahun 2000-an yang diselenggarakan di wilayah Bajoé, Teluk Bone, panitia menampilkan Anngaruwe’, sejenis teater tradisional etnis Bugis yang nirkata, tanpa kata atau tanpa dialog dan monolog. Para pemainnya semua laki-laki, berusia sekitar 40 tahun ke atas. Dalam wawancara esok paginya sehubungan tidak adanya seorang pun pemuda (usia 20 tahun ke bawah) dalam pertunjukan itu, pimpinan kelompok Anngaruwe’ menjawab: “De’ gaga élo’. Kuno garé’.” (bahasa Bugis: “Tak ada yang mau. Kuno menurut mereka.”). Sejak tahun 1970 Anngaruwe’ belum pernah diikutkan dalam festival atau acara apapun di luar wilayahnya.

Dalam Festival dan Seminar Internasional La Galigo tahun 2002 di Kabupaten Barru (sekitar 100 km dari Makassar) yang diketuai oleh Dr. Nurhayati Rahman (kini Prof.), kelompok seni pertunjukan tradisional Anngaruwe’ menyatakan persetujuannya sebagai salah satu acara pada malam harinya. Biaya akomodasi, konsumsi, dan honorarium disiapkan oleh panitia. “Tetapi kami batal ikut, karena sebagai anggota masyarakat yang hidupnya pas-pasan, kami tidak mampu membayar biaya transportasi walaupun saya selaku Pimpinan Rombongan sudah berusaha, termasuk kepada pemerintah” (wawancara dengan A. Muskamal Bare, teaterawan Bone, 2002). Demikian pula dengan Koa-koayang dari Mandar, batal ke Festival Internasional La Galigo karena masalah yang sama.

Kondobuléng satu-satunya teater tradisional yang tampil dalam festival internasional itu. Seni pertunjukan tradisional inilah yang sampai sekarang, 2009, bisa disaksikan, baik dalam kota Makassar maupun di daerah-daerah lain. Kini, di wilayah yang sama, Paropo, terdapat beberapa grup/kelompok yang bisa memainkan Kondobuleng, seperti Sanggar I Lolo Gading, Sanggar Remaja Paropo, dll.

Apa itu Kondobuléng?
Secara etimologis kata kondobuléng adalah bahasa Bugis dan Makassar, terbentuk dari dua kata. Kondo berarti bangau, sejenis burung yang berkaki, berleher, dan berparuh panjang. Burung ini pemangsa ikan, hidup di rawa-rawa atau di tempat berair, seperti tepi pantai atau sawah. Kata buléng ada yang mengartikannya “putih”, tapi dalam percakapan sehari-hari, kata “putih” berarti kébo’ dalam bahasa Makassar. Dalam Kamus Indonesia-Makassar (Arif, dkk: 1992), kata “putih” diterjemahkan kébo’.

Holt (1939: 18) menulis, “we were to see a dance-pantomine (pantomime?, Pen.) by Kondobuléng, which means “white heroen”. Arti lain kata buléng dapat dilihat di dalam Cense dan Abdoerrahim, “BULENG (Mal. bulai) wit v huidskleur, albino; tau-buleng albino; tedong buleng roze karbouw; djarang buleng wit paard (= djarang balanda)...” (1979: 140).

Dari kutipan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa kata “putih” yang ditafsirkan dengan kata buléng bukanlah putih murni, melainkan lebih terarah pada warna putih yang kepirang-pirangan. Dalam konteks ini mengacu pada tubuh dan rambut yang kekurangan zat pigmen. Cense dan Abdoerrahim selanjutnya menulis sbb.:
“...kondobuléng witte reiger met gele poten en zwarte snavel; ook en spel; warbij iem zich als witte reiger vermont en een ander person als jager optreedt... warsa pertama abad ke-21 ini, tidak pernah lagi dipertunjukkan. Dua jenis lainnya: Koa-koayang dan Kondobuléng pertunjukannya hanya karena diundang oleh sebuah
Akkondo-buléng het spel v.d witte reiger spelen (men hecht hieeran een religieuze betek; henspel wordt dikwijs omstreeks middlenacht gespeeld). Pakondo-kondo-buléng een kondo-buleng speler. (1979: 333).

Dengan demikian Kondobuléng adalah sejenis permainan yang sering dilaksanakan pada malam hari, dimainkan oleh seseorang yang berperan sebagai Bangau dan yang seorang lagi sebagai Pemburu, sedangkan para pemainnya disebut pakondo-kondo-buléng.

Awal munculnya permainan Kondobuléng diperkirakan 300 tahun lampau. Angka ini merupakan hasil perkalian lima dengan salah seorang pemainnya yang berusia 60 tahun bernama Muhamad Arsjad. Dalam wawancara tanggal 29 Maret 2009 dengannya, pimpinan grup pemelihara teater tradisional ini mengaku sebagai lapisan kelima dari leluhurnya yang secara turun-temurun mewariskan permainan tersebut pada anak cucunya. Menurut Muhamad Arsyad, Kondobuléng hanya boleh dimainkan oleh mereka yang ada hubungan darah dengannya.

Pada mulanya permainan Kondobuléng hanya dikenal oleh masyarakat pesisir pantai Sulawesi Selatan yang disebut masyarakat Bajo, yaitu sekelompok masyarakat yang hidup dan mengarungi kehidupannya di laut. Dengan demikian, permainan Kondobuléng diciptakan oleh masyarakat Bajo. Mereka dikenal dengan sebutan to ri jé’né’ (bahasa Makassar, to = tau: orang, ri: di, jé’né’: air). Masyarakat ini tergolong masyarakat yang segan melepaskan peradaban aslinya meskipun sudah akrab dengan masyarakat tempatnya bermukim untuk sementara. Mata pencahariannya, menangkap ikan dan berburu penyu. Holt menyatakan, “beberapa penulis menyebutnya gypsy, masyarakat pengembara, dan dengan demikian tidak menetap di satu tempat” (1939: 18-19). Dalam peta geografi Provinsi Sulawesi Selatan, wilayah masyarakat Bajo terletak di pesisir pantai Teluk Bone, bagian timur-laut Provinsi Sulawesi Selatan.

Pada awalnya Kondobuléng berbentuk permainan yang nirkata, tanpa kata atau tanpa tuturan, baik dialog maupun monolog. Segala sesuatuya terungkap melalui gerak dan musik. Vokal manusia terwujud dalam nyanyian, tawa, dan teriakan. Penyebarannya sangat lamban karena hanya ada melalui permainan pengisi waktu.

Dalam perjalanannya yang sangat lamban, status Kondobuléng berubah dari permainan menjadi pertunjukan. Bentuk ini rupanya memberi efek yang sangat kuat, terutama untuk mendatangkan orang banyak. Itulah sebabnya dalam masyarakat tradisional Bugis-Makassar, permainan masyarakat yang telah berubah menjadi pertunjukan itu dijadikan salah satu mata acara keramaian, misalnya dalam pesta perkawinan, naik rumah baru, khitanan, dll.

Masuknya agama Islam ke wilayah Kondobuléng, menjadi dasar bertambahnya materi pertunjukannya yang disebut Pépé’-pépéka ri Makka (bahasa Makassar, pépé’: api, ka: yang, ri: di, Makka: Mekah). Akan tetapi jika pertunjukannya diamat-amati secara lebih dalam, tampak sama sekali tak ada kaitannya dengan Kondobuléng, episode tersendiri tanpa alur (plot). Dalam pertunjukan itu sekelompok laki-laki dalam pakaian khas Bugis Makassar: ikat kepala passapu, baju kantiu (jas tanpa kerah), celana barocci’, dan sarung digulung sampai lutut; tampil menari-nari sambil memegang sumbu besar yang menyala yang dilekatkan ke lengan, sekali-sekali mengobarkan api dengan minyak tanah yang disemburkan dri mulut. Kesan yang tertinggal, mereka kebal terhadap api.

Pertunjukan di antara Kondobuléng dengan Pépé’-pépéka ri Makka, ditampilkan selingan yang disebut Ganrang Bulo (bahasa Makassar, ganrang: gendang, bulo: bambu). Pimpinan I Lolo Gading, M. Arsyad, dalam wawancara (29 Maret 2009) mengatakan bahwa Pépé’-pépéka ri Makka, Ganrang Bulo, dan Kondobuléng itu sendiri sejak setengah abad lalu dijadikan satu paket dalam setiap pertunjukan.

Struktur Kondobuléng
Dalam catatan Holt, tokoh dalam Kondobuléng terdiri atas dua. Tokoh pertama, Bangau. Untuk memberi kesan bangau, pemain yang memerankannya mengenakan kain putih polos yang diselimutkan mulai dari pundak sampai ke kaki. Selain itu, secarik kain yang juga berwarna putih diikatkan di bagian leher, diputar ke atas menutupi kepala termasuk wajah. Di bagian mulut, tertonjol runcing oleh bentukan bambu. Itulah paruhnya. Inilah Kondobuléng-nya. Tokoh kedua, Pemburu, laki-laki dengan sebatang tongkat yang berfungsi sebagai senapan.

Sebagai eksposisi dalam alur (plot), Pemburu bergerak bersamaan dengan Kondobuléng ke tengah arena. Si Pemburu berjalan terpincang-pincang, sedangkan Kondobuléng melayang dengan ringan, lalu berhenti sekali-sekali sambil memaling-malingkan kepala dan menggerak-gerakkan sayap. Demikian berlangsung beberapa lama dengan gerak-gerak tertentu yaitu mencari ikan. Tetapi dengan naluri hewannya, Kondobuléng memberi kesan diintai oleh Pemburu.

Pada satu saat Pemburu memutuskan untuk menembak. Dia lalu membidikkan senapannya. Kondobuléng mengembangkan sayap lalu berpindah empat. Sekali lagi Pemburu membidik lalu menembak. Tetapi tembakannya meleset. Berikutnya, Pemburu mengisi senapannya dengan peluru (improvisatif). Dia membidik agak lama, dan pada detik tertentu, dia menembak. Kondobuléng jatuh.

Tetapi pada detik itu pula, terjadi sesuatu pada diri Pemburu. Dia mengosok-gosok mata, dan ternyata dia buta. Karena itu dia berusaha mendekati tempat jatuhnya Kondobuléng dengan meraba-raba. Dia lantas melengking gembira ketika tangannya menyentuh tubuh Kondobuléng yang tergeletak.

Namun, musibah lain terjadi lagi berikutnya. Tubuh Pemburu terbenam. Setelah berhasil naik, dia memotong-motong tubuh Kondobuléng dengan gergaji (improvisatif). Pertama leher, lalu sayap. Ketika sampai pada bagian kaki, terjadi lagi keajaiban. Kaki Kondobuléng teracung ke udara. Pemburu kaget dan terloncat ke samping. Beberapa saat berikutnya, pelan dan hati-hati Pemburu mendekat lagi. Kondobuléng ditegakkan, disandarkannya ke dinding. Pemburu kemudian pergi. Sepeninggal Pemburu, Kondobuléng bergerak, kemudian melayang pergi.

Demikian alur permainan Kondobuléng sebagaimana catatan Holt (1939: 18-19), satu-satunya data tertulis dan tertua yang bisa diperoleh.

Perkembangan Kondobuléng
Penyebaran teater tradisional Kondobuléng memang sangat lamban, karena hanya diketahui pada saat dipertunjukkan. Itu pun hanya oleh penontonnya. Selain itu, sifatnya yang tradisional merupakan bentuk standar atau pola tertentu, dalam pengertian cerita tidak berubah, meskipun di tempat-tempat lain dikenal sebagai tarian, seperti di Kepulauan Barrang Lompo dan Barrang Ca’di, Kabupaten Pangkajene, Sulawesi Selatan.

Kondobuléng di Makassar sejak 60 tahun lalu berbentuk teater, terungkap melalui gerak, vokal, musik, dan aspek seni pertunjukan lainnya. Berikut ini teater tradisional Kondobuléng versi I Lolo Gading.
1. Durasi pertunjukan: antara 30-45 menit.
2. Tempat pertunjukan: di mana saja (panggung tertutup atau arena terbuka).
3. Waktu pertunjukan: kapan saja (siang atau malam).
4. Tokoh: laki-laki.
5. Musik:
5.1 jumlah musisi: antara 5-7 orang.
5.2 instrumen musik:
a. biola.
b. rebana.
c. gendang.
d. kecapi.
e. gong.
f. kannong-kannong.
g. lea-lea/parappasa’.
6. Lirik:
6.1 Papparapa’ Empo.
6.2 Ma’-rencong-rencong.
6.3 Daeng Camummu.
6.4 Mala-mala Hatte.
(Khusus lirik Daeng Camummu, dapat ditemukan di dalam Makassarsche Crestomathie oleh BF Matthes (1860). Penulisannya beraksara lontara’ dan bertipografi naratif. Aksara lontara’ ini ditransliterasi ke aksara Latin, tipografinya diubah menjadi tipografi sajak (Terlampir). Perubahan itu sengaja dilakukan dengan tujuan mempermudah akses menuju pemahaman).
7. Kostum:
7.1 Pemain: pakaian sehari-hari.
7.2 Musisi: pakaian adat tradisional Bugis-Makassar.
8. Rias: para pemain tidak berrias sedangkan musisi berrias segagah mungkin.
9. Perlengkapan/property:
9.1 pancing,
9.2 jaring,
9.3 sodo’/sungkup bambu,
9.4 senapan,
9.5 dayung.
10. Gerak pemain: gabungan antara gerak keseharian dan stilisasi, spontan, improvisatif.
11. Penonton: sebagian besar masyarakat kelas menengah ke bawah. Jika dipertunjukkan pada acara-acara kenegaraan, disaksikan oleh masyarakat kelas atas (pejabat).

Kajian Singkat atas Kondobuléng sebagai Teater
Jika kita kembali pada ciri-ciri teater tradisional, agaknya sulit diterima jika Kondobuléng memiliki konsep kerja (lazim disebut konsep teater) sebagaimana yang dikenakan pada teater modern sekarang ini. Sihombing menegaskan:
“Konsep kerja itu dalam garis besarnya adalah mempermasalahkan proses penteateran sebuah naskah, sebuah sinopsis, atau bahkan sebuah ide, mulai dari persiapannya sampai rampung menjadi sebuah pertunjukan yang utuh. Bagaimanakah naskah, sinopsis, atau ide-ide dipersiapkan? Apakah diadakan penafsiran atau diskusi terlebih dahulu? Apakah sutradara melibatkan seluruh pemain dalam penafsiran diskusi ini, atau mendiktekan segala-galanya kepada pemainnya? (1980: vii).

Mencermati materi awal pertunjukannya yang berulang kali serta hasil wawancara dengan para pendukungnya, kita diperhadapkan hanya pada ide dalam bentuk lisan, dan tidak pernah dalam bentuk tulisan, semacam sinopsis apalagi naskah. Hal ini disadari sepenuhnya karena suku Bugis-Makassar tidak pernah menuliskan seni pertunjukannya.

Diakui oleh para anggota I Lolo Gading sebagai pemelihara satu-satunya teater tradisional itu, bahwa pengetahuan mereka hanya melalui pertunjukan yang selalu mereka saksikan. Ceritanya yang memang tunggal. Gerak, suara, bahasa, lirik lagu, musik, kostum, dan elemen pertunjukan lainnya, berpindah hanya pada saat pertunjukan. Pola demikian itu menyebabkan terjadinya penghilangan, perubahan, dan penambahan adegan tanpa disadari.

Pertunjukannya yang tidak memilih tempat, apakah di panggung prosenium atau di arena terbuka. Semua berlangsung sangat santai, tanpa formalitas. Dalam penelitian bersama dengan Dr. Endo Suanda dan Taufik Rahzen dari MSPI (Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia), ada hal yang merupakan salah satu identitas pendukungnya. Dalam perjanjian dengan kelompok itu sehari sebelumnya, disepakai pertunjukan pukul 09.00 pagi. Tetapi pertunjukan itu tertunda karena salah seorang pemainnya belum muncul. Lewat pukul 11.00 siang baru dimulai. Ternyata keterlambatan itu disebabkan pemain dimaksud yang penjual sayur keliling, dagangannya kurang laris meskipun sudah dijajakan sejak pagi.

Dalam pertunjukan istilah stage happening (kecelakaan pentas) tidak dikenal. Bahkan jika misalnya hal itu terjadi, pertunjukan justru berkembang tanpa memperhitungkan waktu dan efeknya pada penonton. Dalam Festival Galigo dan Seminar Internasiomal Sawerigading, tgl. 10-14 Desember 2003 di Masamba, Luwu Utara (sekitar 400 km. dari Makassar), hal itu terjadi. Kondobuléng tampil pada malam terakhir (14 Desember 2003). Oleh karena hujan turun sore harinya, panggung terbuka di sana-sini digenangi air. Dalam pertunjukan pada malam harinya, tiba-tiba seorang pemain jatuh karena panggung licin. Para penonton pun tertawa ramai. Reaksi penonton itu menyebabkan semua pemain “ikut-ikutan jatuh”. Tujuan mereka tentu saja untuk menarik perhatian. Akan tetapi satu hal yang mereka lupakan, bahwa lakon yang dilakukan berulang-ulang dalam pertunjukan yang sama, akan membosankan penonton. Bisa diduga efeknya. Pertunjukan yang seharusnya hanya berkisar 45 menit, berkembang menjadi satu jam lebih.

Napas Kondobuléng adalah komedi. Dengan demikian para pemain berlumba melakukan gerak-gerak, diksi-diksi, dan gaya bahasa komikal. Bila kita mengacu pada komedi yang disebut the ladder of comedy oleh Alan R. Thompson dalam Wright (1972: 50) sebanyak enam tingkat, Kondobuléng menyajikan tiga tingkat komedi:
1) physical mishap, kelucuan yang disebabkan oleh kecelakaan fisik (tingkat ke-2);
2) verbal wit, kelucuan yang ditimbulkan oleh gaya bahasa dan cara pengucapan (tingkat ke-4) ; dan
3) comedy of ideas, kelucuan yang bisa dinikmati melalui pemahaman intelektual (tingkat ke-6). Komedi tingkat ini disebutnya high comedy.

Para pemainnya kaya imajinasi dan kuat berimprovisasi. Penonton “dipaksa” kagum bila disadari bahwa mereka tidak pernah memperoleh pendidikan dan pelatihan teori dan praktik teknik bermain di akademi teater atau institut kesenian, misalnya. Mereka mampu meyakinkan penonton bahwa mereka berjalan di daratan kering, di pinggir pantai, atau di lumpur. Lokasi tidak dipermasalahkan. Pada detik ini mereka di pinggir pantai, tetapi pada detik-detik berikutnya mereka berenang di laut lepas tanpa berpindah. the three unities (Hukum 3 Kesatuan/H3K) yang dirumuskan oleh Aristoteles: keatuan waktu, kesatuan tempat, dan kesatuan lakuan, diberontaki, atau tepatnya, tidak berlaku bagi mereka.

Ketika tak seorang pun yang mampu sampai ke seberang dengan berenang meskipun dalam berbagai gaya (dada, punggung, kupu-kupu, bebas), muncul inisiatif dari seseorang membuat jembatan. Jembatan pun selesai dalam beberapa detik dengan menggunakan bambu, yang sebelumnya justru sebagai instrumen musik Ganrang Bulo. Mereka lalu naik ke jembatan, tetapi jembatan itu runtuh tak lama kemudian karena terlalu banyak orang yang naik pada waktu yang bersamaan. Muncul lagi inisiatif lain, yaitu membuat perahu. Mereka lantas membuat perahu, yaitu dua orang pemain berhadapan, saling menduduki punggung kaki masing-masing karena lutut ditegakkan. Seorang lagi berdiri di belakang mereka sambil memegang dayung. Dia mulai mendayung, perahu pun mulai bergerak meninggalkan tempat, naik turun. Pada saat itulah ketiga orang itu bercakap dengan bebas sambil terus bergerak. Mereka adalah perahu tapi pada saat yang sama mereka adalah orang yang mendayung dan naik perahu.

Improvisasi-improvisasi tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam teater tradisional Kondobuléng tidak ada batas antara tokoh (characters) dengan perlengkapan (properties). Di sini penonton “dipaksa” lagi mengakui bahwa mereka adalah manusia (tokoh cerita yang mendayung dan menumpang perahu), tetapi pada saat yang sama mereka adalah perahu (perlengkapan pertunjukan yang ditumpangi manusia). Keduanya lebur menjadi satu kesatuan yang utuh. Dalam Seminar Ekologi Teater Indonesia di Tirtagangga, Bali, tahun 1999 oleh MSPI (Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia), saya mengemukakan kasus “satunya tokoh dengan perlengkapan” dalam teater tradisional seperti Kondobuléng, tak seorang pun di antara peserta yang memberikan contoh bandingan.

Dari aspek penentuan pemeran pun teater tradisional ini pun tidak mau repot. Ketika sang Pemburu itu terbenam setelah menembak Kondobuléng, seseorang melapor pada Pemerintah (imajinatif) melalui tuturan: “Lapor pada Pemerintah,” tapi setelah Pemburu diselamatkan, yang melapor tadi kembali melapor pada Pemerintah. Namun, yang dilapori adalah sang Pemburu itu sendiri.

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa segala sesuatunya diserahkan sepenuhnya kepada kemampuan individual pendukung-pendukungnya (pemain dan musisi). Latihan pun bisa dikatakan tidak dilakukan, kecuali musik. Latihan adalah pertunjukan, sedangkan pertunjukan adalah latihan. Bahkan kalau mereka pernah berlatih untuk bermain, yang mereka lakukan justru tidak pernah dilakukan dalam latihan. Secara formal tidak ada sutradara, sehingga pemain berlaku sebebas mungkin.

Penafsiran
Makna lahir dari penafsiran, sedangkan penafsiran merupakan pertemuan antara penafsir dan objek yang ditafsirkan. Hasil penafsiran seseorang terhadap sebuah pertunjukan bisa saja tidak sama, dalam pengertian penafsiran terhadap pertunjukan teater tradisional Kondobuléng, misalnya, sebagai objek ditentukan oleh visi, wawasan, daya pikir, daya rasa, dan lingkungan, seorang penonton sebagai subjek. Ini berarti bahwa makna yang sampai kepada seseorang tidak akan selalu sama.

Kondobuléng sebagai teater tradisional, dapat memberikan berbagai makna melalui penafsiran. Holt, misalnya, mengatakan:
“... When he is gone (Pemburu, Pen.) the white figure suddenly detached itself from the wall, and stiffy, with “closed wings,” glides off in small smooth steps, describing semi-circle, as is hovering. One gets the impression that it the hero’s ghost flying off to heaven. In fact, this episode his surrection.” (1939: 20).

(“... Ketika dia pergi (Pemburu, Pen.) bangau putih itu mendadak melepaskan dirinya dari dinding, mengembangkan sayap, meluncur dengan langkah-langkah pendek, memutar setengah lingkaran seperti melayang. Gerak itu memberi kesan arwah tokoh ini melayang ke surga).
Penegasan Holt sebagaimana kutipan di atas menjelaskan pada kita wawasannya atas seni pertunjukan (simbolis) dan visi religius (perhatikan kata: heaven (surga) dan surrection (kebangkitan).

Muhamad Jusuf Junus (almarhum), seorang teaterawan dan pensiunan Pegawai Taman Budaya Sulawesi Selatan menafsirkan, bahwa sesungguhnya Kondobuléng itu merupakan simbol kesucian, kehormatan, kemurnian dalam hidup ini, yang akan dilenyapkan oleh kejahatan (Pemburu). Akan tetapi karena kesucian, kehormatan, dan kemurnian tidak bisa dilenyapkan sampai kapan pun, maka pada saat Kondobuléng itu tertembak, Pemburu ikut ditimpa bencana (tenggelam). Hidupnya kembali Kondobuléng merupakan manifestasi bahwa kesucian dan semacamnya tidak dapat dikalahkan oleh kejahatan, tetapi kejahatan itulah yang justru tak terelakkan.

Dua penafsiran lainnya bertolak dari dua periode dalam sejarah politik di Indonesia, dan satu penafsiran lainnya berdasarkan adat istiadat suku Bugis-Makassar. Penafsiran pertama dilatarbelakangi oleh periode penjajahan Belanda di Indonesia. Dalam pertunjukan pada periode itu Kondobuléng tidak hidup kembali. Kenyataan pentas itu memberi penafsiran bahwa tokoh Kondobuléng adalah Belanda, sedangkan yang menembaknya adalah gerilya. Itulah sebabnya pada masa itu Kondobuléng tidak hidup kembali karena dia adalah Belanda yang tidak boleh ada di bumi Indonesia.

Penafsiran kedua adalah masa melebarnya sayap PKI (Partai Komunis Indonesia). Dalam pertunjukan ditampilkan Kondobuléng hidup kembali dan Pemburu justru menembak dirinya sendiri. Kenyataan pentas ini memberi penafsiran bahwa anggota komunis yang tidak mampu menyelesaikan tugas partai dengan baik, dianggap melanggar perintah partai, dan karena itu harus mati, bunuh diri.

Penafsiran lain lagi bertitik tolak dari adat istiadat Bugis-Makassar sebagai budaya etnis pendukungnya. Hal yang dimaksudkan adalah sistem nilai yang disebut siri’ na paccé (bahasa Makassar) atau siri’ na pessé (bahasa Bugis). Sistem nilai ini diterjemahkan: kehormatan/harga diri dan pedih (bukan sedih). Pertunjukkan ditafsirkan, bahwa sesungguhnya Kondobuléng adalah gadis yang mempermalukan keluarga karena silariang (lari bersama untuk kawin tanpa persetujuan orang tua) yang menyebabkan siri’ (harga diri/kehormatan ternoda). Karena itu Kondobuléng (gadis) mati oleh ayah sendiri (Pemburu). Akan tetapi bagaimanapun juga, kematian gadis menimbulkan paccé (pessé), pedih bagi kalangan keluarga. Karena itu Kondobuléng hidup kembali dalam hati keluarga.

Kondobuléng sebagai Institusi Sosial
Menelusuri kelahiran teater tradisional Kondobuléng, sulit diakui bahwa jenis teater ini pada awalnya telah terbebani fungsi sosial. Pendapat ini didasarkan pada awal kemunculannya yang tidak “di-ada-kan” sebagaimana seni pertunjukan sekarang ini. Kondobuléng “meng-ada” dengan sendirinya, bebas dari beban fungsi yang “di-ada-ada-kan”: “sekelompok masyarakat mencari ikan. Muncul Bangau sebagai saingan. Bangau ditembak. Bangau tenggelam. Pemburu ikut tenggelam. Atas kesepakatan bersama keduanya dicari. Pemburu ditemukan. Bangau ditemukan. Bangau hidup kembali. Bangau melayang pergi.”
Kondobuléng adalah permainan ciptaan masyarakat zamannya. Akan tetapi menyaksikannya sebagai pertunjukan pada masa sekarang ini, seorang penonton diantar untuk menafsirkannya sebagai sebagai pranata (institusi) sosial. Hal ini didasarkan atas penafsiran atasnya yang akan menunjukkan fungsinya. Setidak-tidaknya ada 2 fungsi yang terkandung di dalamnya, yaitu hiburan dan pendidikan. Kedua fungsi ini mampu mewujudkan kreativitas baru melalui pengolahan sebagai konsep untuk karya teater modern.

Saya belum pernah menyaksikan pertunjukan teater modern yang memakai judul La Galigo karya Robert Wilson, karena tidak pernah dimainkan di Makassar. Akan tetapi mendengar penuturan seorang pemainnya yang orang teater di Makassar bernama Aco Zulsafri sebagai tokoh Kondobuléng, sangat disayangkan, sutradara tingkat internasional itu tidak mampu menangkap hakikat teater tradisional Kondobuléng yang dipinjamnya. Dalam wawancara dengannya, Aco Zulsafri, tgl. 11 April 2009 di Gedung Kesenian Societeit de Harmonie, dikatakannya bahwa dalam latihan Robert Wilson akan menokohkan Kondobuleng sebagai burung milik Sawerigading (dalam mitos La Galigo, burung dimaksud bernama La Dunrung) untuk melihat dunia luar. “Tetapi setelah saya menjelaskan tentang teater tradisional Kondobuleng, Robert Wilson menggantinya sebagaimana yang dimainkan dalam pertunjukan teater La Galigo.”

Penuturan tersebut menegaskan bahwa di sini tidak ada eksplorasi. Robert Wilson hanya meminjam nama Kondobuléng sebagai teater tradisional Bugis-Makassar untuk mengesahkan teaternya yang menurut Yudiaryani: interkulturalisme dan eksplorasi klasik. Dikatakan Yudiaryani, Wilson meminjam beberapa media, budaya-budaya dari beberapa negara dan periode kesejarahan (2002: 338). Yang dilakukan oleh Robert Wilson hanya mem-foto copy aspek visual, sehingga hakikat yang sesungguhnya tidak mampu dia tangkap. Dengan demikian makna yang dikandung Kondobuléng, hilang.

Dari penelitian terhadap pertunjukan Kondobuléng yang berulang kali pada waktu dan tempat yang berbeda, lahir semacam makna yang secara tidak langsung menegaskan fungsinya sebagai institusi sosial. Sebagai hiburan dapat dinikmati pada semua elemen teaterikalnya, yakni gerak dan vokal tokoh, permainan musik, lirik lagu, dan irama lagu itu sendiri. Dari elemen teaterikal yang berpadu menjadi satu pertunjukan yang utuh itu, beberapa fungsi sosial dapat dipetik, antara lain, seperti berikut: a) kesatuan dalam hidup bermasyarakat: adegan bersama-sama mencari nafkah, kesepakatan untuk saling menyelamatkan, b) rintangan dalam hidup: adegan bangau sebagai saingan mendapatkan ikan dengan mudah, c. optimisme dalam hidup: adegan membuat jembatan karena gagal berenang, membuat perahu karena jembatan runtuh, dan d) penyimpangan sosial: cacat fisik dalam adegan permainan Ganrang Bulo.

Catatan Akhir
Teater tradisional Kondobuléng yang telah berusia sekitar 300 tahun yang merupakan warisan dari masa lampau di Sulawesi Selatan, memiliki fungsi edukasi dan rekreasi, dan secara tidak langsung sekaligus berfungsi sebagai institusi sosial. Kedua fungsi yang memancing fungsi re-kreatif itu, sangat menarik untuk dijadikan konsep teater modern.
Kondobuléng terungkap melalui gerak, vokal, dan musik. Semua pemain dan musisinya laki-laki. Pertunjukannya tidak memilih waktu dan tempat. Keunikan yang tidak dimiliki oleh teater tradisional lainnya di Indonesia, adalah tidak adanya batas antara tokoh (characters) dan perlengkapan (properties). Ceritanya tunggal, tapi ide-ide baru bisa saja dimasukkan pada setiap pertunjukan. Irama musik dan lirik lagunya ada empat: Papparapa’ Empo, Daéng Camummu’, Ma’-réncong-réncong, dan Mala-mala Hatté. Daéng Camummu’ yang merupakan latar belakang pertunjukan, dapat ditemukan di dalam Makassarsche Christomathie oleh BF Matthes dalam aksara lontara’.

Oleh karena penyebarannya sangat lamban karena hanya boleh dimainkan oleh kalangann keluarga, dikhawatirkan teater tradisional warisan dari masa lampau itu akan punah. Untuk mencegah kepunahan itu, sebagai upaya awal adalah mentranskripsikannya dalam bentuk naskah pertunjukan. Pentranskripsian ini bukan untuk menjadikannya sebagai karya sastra drama yang bertujuan untuk dipertunjukkan.

April 2009

Daftar Pustaka



Aburaerah Arif, dkk.
1992 Kamus Indonesia-Makassar. Balai Penelitian Bahasa, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ujung Pandang.

Achmad, Kasim, dkk. (ed.).
....... Ungkapan Beberapa Bentuk Kesenian (Teater, Wayang, dan Tari). Direktorat Kesenian, Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

......................
2008 Mengenal Teater Tradisional di Indonesia. Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Jakarta.

Awuy, Tommy F. (ed.).
1999 Teater Indonesia: Konsep, Sejarah, dan Problem. Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta.

Anwari
1999 Indonesia Tertawa: Srimulat sebagai Sebuah Subkultur. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta.

Brockett, Oscar G.
1969 The Theatre: an Introduction. Holt, Rinehart and Winston, New York.

Cense, A.A. dan Abdoerrahim.
1979 Makassars - Nederlands Woordenboek. ‘S-Gravenhage – Martinus Nijhoff.
Djajakusuma, D.
1973 “Teknik Pengumpulan Teater Tradisional” dalam Majalah Budaja Djaja, Jakarta.

Dueer, Edwin.
1962 The Length and Depth of Acting. Holt, Rinehart and Winston, California.

Holt, Claire.
1939 Dance Quest in Celebes. Les Archives Internationales de la Dance, Paris.

Kleden, Ninuk-Probonegoro.
1996 Teater Lenong Betawi. Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan, Jakarta.

Matthes, B. F.
1883 Makasarsche Chrestomathie. Amsterdam.

Sihombing, Wahyu (ed.).
1980 Pertemuan Teater 80. Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta.

Sumrdjo, Jakob.
1992 Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama di Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Supriyanto, Henri.
1992 Lakon Ludruk Jawa Timur. PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Wright, Edward A.
1972 Understanding Today’s Theatre. Prentice Hall. Inc. Englewood Cliffs, New Jersey.

Yasil, Suradi.
1988 Peralatan Hiburan dan Kesenian Tradisional Daerah Sulawesi Selatan. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Sulawesi Selatan, Ujung Pandang.

Yudiaryani, Dra., M.A.
2002 Panggung Teater Dunia: Perkembangan dan Perubahan Konvensi. Pustaka Gondo Suli, Jogyakarta.

Makasar, April 2009

LAMPIRAN 1

TRANSKRIPSI TEATER TRADISIONAL
KONDOBULENG

Transkripsi teater tradisional Kondobuléng tujuannya bukan sama sekali menjadikannya sebagai salah satu karya sastra drama, melainkan dimaksudkan sebagai catatan yang didasarkan atas fakta melalui berbagai pertunjukan sebgai satu proses penelitian.

Hal ini penting dikemukakan terlebih dahulu karena dalam perkembangan masyarakat yang semakin kompetitif ini, pola dasar sebuah seni petunjukan yang tidak tertulis, bukan tidak mungkin mengalami perubahan yang menyebabkan terjadinya perubahan makna. Satu aspek yang sengaja tidak ditranskripsikan adalah tuturan, percakapan antartokoh atau dialog. Tujuan pertama, menetapkan trade mark, ciri khas teater tradisional, yang perkembangan ceritanya terletak pada kreativitas pemain atau aktor. Tujuan kedua, dialog-dialog dalam pertunjukannya bergantung pada motivasi pertunjukan, dalam pengertian ada “adegan baru” yang merupakan “pesan sponsor”, atau yang tiba-tiba muncul di benak aktor sebagai akibat respons penonton, sepanjang tidak melepaskan pola dasar ceritanya.

Adegan-adegan Kondobuléng berikut ini adalah adegan yang bertolak dari pola ceritanya yang merupakan seleksi yang berulang kali dilakukan oleh grup I Lolo Gading. Dikatakan seleksi karena dalam berbagai pertunjukannya, ada adegan yang tidak pernah tidak ada dan ada yang ditiadakan. Berikut transkripsi teater tradisional Kondobuleng sebagai lampiran makalah ini.


KONDOBULENG: DARI ARENA KE TEKS
Fahmi Syariff

Sekelompok laki-laki, 12-17 orang duduk di bagian tengah belakang. Beberapa orang di antara mereka, 5-7 orang, memegang instrumen musik tradisional Bugis-Makassar. Sayup-sayup terdengar musik memainkan sebuah lagu. Bunyi musik itu makin lama makin jelas. Mereka memainkan musik Papparapa’ Empo, semacam lagu penyambut tamu (wWellcome) untuk para penonton.

Niya’ma’ anne ri kiyotta
(Datanglah aku atas undangan anda)
Empoma’ ri parallunta
(Duduklah aku atas keperluan anda)
Teya' nikana
(Ku tak mau disebut)
Ana’ mammolong ha’ja’
(Anak penghalang hajat)

Bella inja’ anjo mae
(Sejak dulu)
Nanapasanga’ anrongku
(‘Ku dipesan bundaku)
Teyako colla
(Janganlah cacat)
Ri pa’rasanganna tauwa
(Di negeri orang)

Nampama’ alampa ri ballakku
(Semenjak rumah kutinggalkan)
Nanapasanga’ anrongku
(‘Ku dipesan bundaku)
Empoko tuna
(Merendah hatilah)
Empoko kamase-mase
(Merendah tindaklah)

Musik Papparapa’ Empo mengecil, hilang, berganti dengan lagu Daeng Camummu’ (Terlampir teks lagu Daeng Camummu, terjemahan, dan transliterasi dalam aksara lontara’).

Seorang demi seorang yang tergabung dalam kelompok musik tadi memasuki arena, lengkap dengan alat penangkap ikan khas Bugis-Makassar. Gerak-gerak mereka mengundang tawa. Mereka bercakap-cakap dalam bahasa yang campur aduk antara bahasa Bugis, Makassar, Indonesia, Arab, Inggris, sambil mencari ikan dengan peralatan masing-masing, dll. Tujuan utamanya menangkap ikan diselang selingi masalah kehidupan sehari-hari.

Beberapa saat kemudian dua tiga orang di antaranya berhasil menangkap ikan. Mereka lantas istirahat, berkelakar, merokok, sambil terus berbincang. Seseorang yang baru menangkap ikan, karena gembiranya, lantas menari-nari dan menyanyi. Tingkah mereka itu memancing yang beristirahat tadi ikut menyanyi dan menari. Musisi yang memainkan lagu Daeng Camummu sebagai latar belakang pertunjukan, mengganti lagu dengan Ma’réncong-réncong mengarahkan lagu dan tarian yang disebut Ganrang Bulo:

Battu ratéma ri bulang
(‘Ku t’lah bertandang ke bulan)
Ma’réncong-réncong
(Ma’réncong-réncong)
Makkuta’nang ri bintowéng
(‘Ku bertanya pada bintang)
Apa kananna?
(Apa katanya?)
Attu déndang baulé’
Bunting lompo jako sallang
(‘Kan ramailah (pesta) kawinmu nanti)

Gunturu’naji malompo
(Cuma gunturnya yang membahana)
Ma’réncong-réncong
(Ma’réncong-réncong)
Killa’na malla’bang lino
(Kilatnya menyungkup bumi)
Bosi sarrona
(Hujan lebatnya)
Attu déndang baulé’
(Tamaliyang tompo’ bangkeng)
Tak menyentuh punggung kaki

Sementara mereka menari dan menyanyi, Kondobuléng melayang ke tengah arena pertunjukan, juga mencari ikan. Tampak betapa gampangnya Kondobuléng itu mendapat ikan dengan paruhnya. Seseorang yang sejak awalnya belum mendapat ikan seekor pun, merasa tersaingi. Dia mengusir Kondobuléng, tapi yang diusir sekadar pindah tempat lalu kembali menangkap ikan dengan gampang.

Persaingan melawan Kondobuléng mendapatkan ikan dia sampaikan pada teman-temannya, tapi karena teman-temannya itu sudah larut dalam permainan, dia tidak dipedulikan. Pada satu saat tertentu, tari Ganrang Bulo dan lagu Ma’rencong-rencong berhenti. Para pemain stop motion sejenak. Saat itulah para pemain ketika bergerak kembali mendadak cacat: pincang, pengkor, juling, dan cacat fisik lainnya.

Yang belum memperoleh ikan kembali mengulangi laporannya. Seseorang mulai memperhatikannya. Lagu Daeng Camummu terdengar lagi menggantikan lagu Ma’réncong-réncong. Semua ramai-ramai mengusir Kondobuléng tapi mereka tidak berhasil. Sang Kondobuléng hanya pindah tempat.

Mereka berembuk. Selanjutnya, seseorang ke kelompok musisi, bicara beberapa lama tentang kehadiran Kondobuléng yang mengganggu. Seseorang dari kelompok musisi berdiri sambil menyandang senapan yang dipanggil dengan sebutan Tuang (Tuan). Tuan yang menyandang senapan tadi mendekat, langsung menanyakan Kondobuléng. Orang-orang menunjuk Kondobuléng yang masih saja mencari ikan.

Tuan lalu mengambil posisi agak jauh, mengisi senapannya dengan peluru, membidik, tetapi tidak jadi menembak karena Kondobuléng melayang ke tempat lain. Tuan pindah, membidik agak lama, menembak, tetapi pindah lagi. Ketika itulah terdengar komentar-komentar tentang hebatnya Tuan sebagai penembak.

Kembali Tuan mengisi senapan, sementara Kondobuléng melayang kebelakang orang-orang. Tuan mengarahkan bidikannya ke sana. Orang-orang berpindah tempat. Kondobuléng pun pindah tempat. Tuan konsentrasi, membidik agak lama, lalu menembak. Kondobuléng rebah, menggelepar. Orang-orang berlarian menuju Kondobuléng yang semakin lama semakin lemah, dan kemudian tak bergerak sedikit pun. Seseorang lantas menunjuk ke tempat Tuan menembak tadinya. Tapi tempat itu sudah kosong.

Seseorang menuju kelompok musisi, melapor kepada seseorang (imajinatif) hahwa Tuan tiba-tiba hilang. “Cari sampai dapat, dan tidak boleh mati. Awas! Cepat!” Kalimat tadi diucapkan oleh salah seorang musisi yang sedang bermain. Orang tadi kembali ke kelompoknya, berembuk.

Hasil perembukan: Tuan harus ditemukan, dan seseorang harus ke seberang mencariya. Orang yang ditunjuk menyeberang, tetapi semakin ke tengah, tampak semakin dalam. Karena itu dia kembali ke kelompoknya dengan nafas satu-satu. Seseorang lagi menggantikannya, berenang dengan gaya dada. Tetapi belum sampai, dia kehabisan nafas. Dengan tersengal-sengal, dia kembali, berenang dengan gaya punggung. Seorang lagi menggantikannya, berenang dengan gaya kupu-kupu. Tetapi tidak seberapa jauh, dia teriak minta tolong agar diselamatkan. Seseorang cepat menyeretnya ke pinggir. Mereka lagi-lagi berembuk. Hasilnya: membuat jembatan.

Jembatan segera mereka buat, dan beberapa detik kemudian, jembatan selesai. Jembatan itu adalah jejeran bambu yang mereka pakai menari ganrang bulo. Mereka lalu naik ke jembatan itu. Belum lama mereka berjalan, jembatan runtuh karena semua naik. Mereka putus asa. Istirahat, lalu berembuk lagi. Hasilnya, “perahu”. Ya, harus ada perahu.

Perahu pun dibuat. Dua orang duduk berhadapan sambil menduduki punggung kaki masing-masing. Seseorang lantas berdiri di belakangnya sambil memegang dayung, langsung mendayung. Perahu mulai bergerak. Sementara itu kedua orang yang berperan jadi perahu itu berdiaog sebagai penumpang perahu.

Perjalanan perahu pada awalnya tenang, tapi kemudin sulit oleh ombak, lalu gelombang, sehingga perahu itu terombang-ambing. Perahu yang sekaligus penumpang perahu itu berusaha menaklukkan gelombang. Mereka yang di pinggir pantai pun berteriak-teriak membangkitkan semangat. Cukup jauh rupanya perjalanan itu.

Di tengah perjalanan, perahu terbalik. Salah seorang sempat menyelamatkan diri. Dia berusaha menyelamatkan temannya, tetapi dia sendiri ikut tenggelam. Seseorang di pinggir pantai berenang untuk menyelamatkan kedua orang yang tenggelam, dan berhasil. Kini semuanya berkumpul kembali. Tetapi segera mereka sadar bahwa Tuan yang menembak Kondobuléng belum ada. Mereka pun mencarinya, namun yang ditemukan hanya senjatanya. Dua orang lagi mencari di seberang, tapi justru berjalan kaki dengan mudahnya. Tuan akhirnya ditemukan, lalu digotong pulang. Sesampainya, Tuan dibaringkan, dikipas, ditiup, dll. Tuan kemudian sadar.

Seseorng lantas melapor kepada seseorang yang mereka sebut Pemerintah bahwa Tuan sudah ditemukan dan tidak mati. Tetapi yang dilapori adalah Tuan itu sendiri. Tuan menanyakan tentang Kondobuléng yang ditembaknya tadi. Mereka bingung. Dengan mengacung-acungkan senjata, Tuan memerintahkan agar Kondobuléng segera dicari dan ditemukan. Mereka segera mencari lagi. Seseorang menggunakan teropong. Yang meneropong sulit menemukan sasaran karena di depan teropong selalu ada gunung. Ternyata, yang disangka bukit itu, punggung seseorang yang bungkuk pada saat itu.

Peneropong akhirnya berhasil melihat lokasi Kondobuléng sesudah si Bungkuk pindah tempat. Mereka lalu bersam-sama menuju lokasi Kondobuléng, ramai-ramai menggotongnya ke tempat lain. Mereka kemudian duduk mengelilingi Kondobuléng. Lagu Daeng Camummu yang sejak tadi melatarbelakangi adegan, diganti dengan lagu Mala-mala Hatté. Para nelayan menyanyi:

Mala-mala hatté illa llah
Pagio’-gioki limannu illa llah
Ayun-ayunkanlah tanganmu illa llah

Kondobuleng mengayun-ayunkan tangannya.

Mala-mala hatté illa llah
Pagio’-gioki matannu Illa llah
Kedip-kedipkanlah matamu illa llah

Kondobuleng mengedip-kedipkan matanya.

Mala-mala hatté illa llah
Pagio’-gioki ulunnu Illa llah
Angguk-anggukkanlah kepalamu illa llah

Kondobuleng mengangguk-anggukkan kepalanya

Mala-mala hatté illa llah
Pagio’-gioki lilanu illa llah
Julur-julurkanlah lidahmu illa llah

Kondobuleng menjulur-julurkan lidahnya

Mala-mala hatté illa llah
Pagio’-gioki kannyi’nu illa llah
Kepak-kepakkanlah sayapmu illa llah

Kondobuleng mengepak-kepakkan sayapnya

Mala-mala hatté illa llah
Pagio’-gioki kallonnu illa llah
Lenggok-lenggokkanlah lehermu illa llah

Kondobuleng melenggok-lenggokan leherya.

Mala-mala hatté illa llah
Pagio’-gioki bangkennu illa llah
Ayun-ayunkanlah kakimu illa llah

Kondobuleng menggerak-gerakkan kakinya.

Kondobuleng terus menerus menggerak-geakkan kakinya, lalu pelan, berdiri, berputar, mengepakkan sayap, melayang pergi.

Pertunjukan selesai.

LAMPIRAN 2

Transliterasi dari Aksara Lontara ke Aksara Latin
Daeng Camummu’


Daéng Camummu’. Daéng Camummu’. Napassurowiko danga’ Danga’ apaya. Mannosoka gajang. Téya’ ridanga. Pa’bubulangja’ inakké. Makanang tonja’ mannyowéyang sangko papa. Mapa’lé tonja’ mattakkang bulo silasa. Mapa’ja tonja’ massaraung dompang-dompang. Pung kondobuléng. Siyapa balang nuwésa’. Ruwaji balang kuwésa’. Kuké’ro’ bangkéng. Kutamba’-tamba’ kanuku. Nakumanggappa balé balang ruwang kayu. Pung balébalang. Kupaénakko ripépé. Lonnu Mabambang. Kuriyoko ballo’alling. Lonnu madinging. Kubolo’-bolokko puca. Lonnu niboné ripiring paranggi. Lonnu nabi’bi karéméng matuntunglébong. Lonnu mantama’ ribawa ana’karaéng. Lonnu naca’ma bibéré matowé’-towé. Lonnu nalatu’ gigi éja arianna. Lonnu mantama’ rikallong malléré-léré. Lonnu manaung ribattang lanti’ panowang. Lonnu massulu’ ripaja ma’lisusoko. Pungbantinotto’. Siyapa romang nusoso. Ruwaji romang kusoso’. Nasa’ra dallé. Nakumanggappa ruwang batu. Nuwang kayu. Séré pa’ballé. Séré pakkapé sumanga’. Inai ana’ lanukapé sumanga’na. Ana’na gowa. Jéné kalénna lakiyung. Kurruké jangang. Ritujunnako idaéng. Totto’ garrinna. Balé’bésangi sawanna. Nanuri’bbakkang cilaka tamattuwanna. Bangkénnu. Kondobuléng. Kontuwi laiyya lolo. Bonggannu. Kondo. Kontuwi pappéppé’ bannang. Ingkonnu. Kondo. Kontuwi sorongang jawa. Bulunnu. Kondo. Kontuwi jarung paniti. Kannyi’nu. Kondo. kontuwi kipasa’ gading. Dadanu. Kondo buleng. Kontuwi papparu’ gading. Kallonnu. kondo. Kontuwi ulara’ jéné. Ulunnu. Kondo. Kontuwi passé’ro’ minnya’. Matannu kondo buleng. Kontuwi intang takkéwé. Totto’nu. kondo. Kontuwi sipi’ bulaéng. Lilanu. Kondo. Kontuwi iru-irukang. Parru’nu. Kondo. Kontuwi gallang niyéka’. Aténnu. Kondo. Kontuwi kamannyang bau’. Ampéréngannu. Kondo. Kontuwi pammoneyang nisumpa’. Rapponnu. Kondo. Kontuwi subang ritoli. Tainnu. Kondo buléng. Kontuwi pa’léo’ basa.
Daéng Camummu’. Daéng Camummu’. Kado’ lalomi ka’do’nu. Poro sika’dé’. Poro iya ribawanu. Palémé-lémé’. Namanaung rikallonnu. Nasikontumo massau. Natéyamo masimpung. Namaté’némo pa’mai. ***

LAMPIRAN 3

Tipografi Sajak
Daeng Camummu’


daéng camummu’ daéng camummu’
daéng camummu’ daéng camummu’
napassurowiko dangnga’ kau dipinang burung nuri

dangnga’ apaya? burung nuri yang mana?

mannosoka gaja yang menguliti gajah

téya’ ri dannga’ ‘ku tak mau pada burung nuri
makanang tonja’ ‘ku tetap anggun
manynyowéyang sangko papa mengayunkan cangkul bambu
mapalé tonja’ ‘ku tetap luwes
mattakkang bulo silasa bertongkat bambu seruas
mapa’ja tonja’ ‘ku tetap elok
massaraung dompa'-dompa' berpayung daun lontar

siyapa balang nuwésa’? berapa rawa kau surutkan (airnya)?

ruwaji balang kuwésa’ hanya dua rawa kusurutkan (airnya)
kuké’ro’ bangkéng kukeruk kaki
kutamba’-tamba’ kanuku kukais-kais kuku
nakumanggappa balé balang kumenangkap ikan lele
ruwangkayu dua ekor

pung balé balang tuan ikan lele
kupanaikko ri pépé’ kunaikkan kau ke api
lonnu mabambang agar kau panas
kuriyoko ballo’alling kumandi kau cuka
lonnu madinging agar kau dingin
kubolo’-bolokko puca kusiram kau (air perasan daun) puca
lonnu niboné ri piring bunga Paranggi agar ditaruh di piring Portugis
lonnu nabi’bi karéméng matuntullébong agar dikupas jemari lentik
lonnu mantama’ ri bawa ana’ karaéng agar masuk di mulut anak raja
lonnu naca’ma bibéré’ matowé’-towé agar dikecap bibir merekah lonnu nalatu’ gigi éja arianna agar dilindas gigi merah bersugi
lonnu mantama’ ri kallong malléré’-léré’ agar masuk di leher jenjang lonnu manaung ri battang lanti’ panowang agar turun di pinggang ramping
lonnu massulu’ ri paja ma’lisusoko agar keluar di pantat memusar


pung bantinotto’ tuan kakatua
siyapa romang nusoso’? berapa hutan kau jelajahi?

ruwaji romang kusoso’ hanya dua hutan kujelajahi
nasara dallé hingga (ada) kemudahan rezeki
nakumanggappa lantas kuperoleh
ruwambatu dua buah
ruwangkayu dua ekor
séré pa’ballé satu obat
séré pakkapé sumanga’ satu pemberi semangat

inai ana’ lanukapé sumanga’na? anaknya siapa akan kau beri semangat?
ana’na Gowa anak (dari) Gowa
jéné kalénna lakiyung turunan (dari) Lakiyung

kurruké jangang wahai, ayam
ri tujunnako i daéng kau dipihak sang kakak
totto’ garrinna patuk sakitnya
balé’bésangi sawanna tepiskan sakit (yang) diidapnya
nanuri’bakkang cilaka tamattuwanna kau terbangkan celakanya (yang) beruntun

bangkénnu kondobuléng kakimu, kondobuléng
kontuwi laiyya lolo bagai jahe muda
bonggannu kondo pahamu, kondo
kontuwi pappéppé’ banna' bagai pemukul (orang) binal
ingkonnu kondo ekormu, kondo
kontuwi sorongang jawa bagai laci Jawa
bulunnu kondo bulumu, kondo
kontuwi jarung paniti bagai jarum peniti
kannyi’nu kondo sayapmu, bangau
kontuwi kipasa’ gading bagai kipas gading
dadanu kondo buleng dadamu, kondo buleng
kontuwi papparu’ gading bagai parut gading
kallonnu kondo lehermu, kondo
kontuwi ulara’ jéné bagai ular air
ulunnu kondo’ kepalamu, kondo
kontuwi passé’ro’ minnya’ bagai timba minyak
matannu kondo buleng matamu, kondo buleng
kontuwi intang takkéwé bagai intan berkilau
totto’nu kondo paruhmu, kondo
kontuwi sipi’ bulaéng bagai jepitan emas
lilanu kondo lidahmu, kondo
kontuwi iru’-irukang bagai (alat) menghirup
parru’nu kondo ususmu, kondo
kontuwi gallang niyéka’ bagai gelang dirajut
aténnu kondo hatimu, kondo
kontuwi kamannyang bau’ bagai kemenyan harum
ampéréngannu kondo lambungmu, kondo
kontuwi pammoneyang nisumpa bagai tempat disepuh
rapponnu kondo jantungmu, bangau
kontuwi subang ritoli bagai anting di telinga
tainnu kondo buléng taimu, kondo
kontuwi pa’léyo’ basa bagai kapur basah

daéng camummu’ daéng camummu’
daéng camummu’ daéng camummu’
kado’ lalomi ka’do’nu santaplah makananmu
poro sika’dé’ sedikit saja
palémé-lémé’ perlahan-lahan
namanaung rikallonnu supaya turun ke lehermu
nasikontumo massau agar semua puas
natéyamo masimpung agar tidak lagi kecewa
namaté’némo pa’mai hati pun bahagia.



Makassar, April 2009
Fahmi Syariff

4 komentar:

  1. Apakah benar "Kondobuleng" hanya boleh dimainkan oleh satu garis keturunan? Jika benar, apa yang terjadi jika dimainkan oleh orang diluar garis keturunan?

    BalasHapus
  2. Artikel ini sangat bermanfaat,Terima kasih :)

    BalasHapus
  3. Pak Fahmi, generasi ke lima yang berusia 60 tahun, tidak berarti keluarga kondobuleng itu berusia 300 tahun. Misalnya seluruh generasi lahir saat ortunya berusia 30 tahun, maka usia rumpun keluarga itu ada sekitar 150 tahun. Tapi tulisan ini sendiri mencerahkan untuk memahami pertunjukan itu..

    BalasHapus