Kamis, 14 April 2011

SINETRON IS: OBSESI DALAM BAHASA GAMBAR YANG NARATIF

Sinetron Is:
Obsesi dalam Bahasa Gambar yang Naratif
Oleh Fahmi Syariff


Setidaknya ada empat ide yang disodorkan oleh R. Wiedjayanto (Pengarah Acara) dan Satmowi Atmowiloto (Penulis Skenario) kepada kita lewat Is. Keempat ide tersebut adalah status orang tua terhadap putera tersayang (Rina Hasyim), posisi wanita karier menghadapi pemuda frustrasi (Firdha Razak), kedirian anak wanita gelandangan menghadapi “malaikat” dan “iblis” (Oci Rizalo), dan kebinatangan seoramg aparat negara (Hari Patakaki). Keempatnya diramu dan diutuhkan menjadi satu ide dasar berbentuk obsesi yang menyerang seorang pemuda, Atok (Sandi Nayoan), tanpa ampun.
Sinopsis
Is berkisah tentang pencarian seorang manusia atas diri dan makna kehidupan ini. Pencarian dimaksud bertolak dari kedirian orang tua sebagai orang tua demi masa depan si putera tersayang. Tetapi sikapdan tindakan orang tua itu bagi si anak , justru merupakan belenggu dalam proses untuk menemukan diri. Karena itu dia memprotes dalam bentuk diam, dari kegiatan kuliah sampai menhadapi orang tua.

Protes tersebut meningkat ke dalam bentuk tindakan, setelah si anak bertemu dengan seorang anak wanita gelandangan. “Kal;au semua tzk perlu dicari jawabannya”, adalah kalimat yang mengantar dan sekaligus mempertebal obsesinya dalam pencarian. Kalimat tersebut milik Is; dan Atok berputar terus dengan kalimat itu, yang kemudian akan ditularkannya pada Ati, kenalan baru yang lantas dijadikannya pelampiasan obsesi.

Ati memang ikut, tetapi di luar lingkungan, menemani Atok yang justru mencari jawaban tentang diri, sekaligus mencari jejak Is yang tiba-tiba menghilang. Is, sebaliknya tidak mencari jawaban, tetapi dia dalam proses melakukan jawaban.

Akhirnya memang demikian. Is mewujudkan ucapan nalurinya, tidak mencari jawaban. Dia melakukan jawaban: membunuh Darkum yang memperkosanya. Atok kehilangan jejak dalam gelap disantap senyap, disaksikan oleh Ati, dari luar garis lingkaran.

Narasi di Balik Gambar
Dibanding dengan nomor-nomor sinetron tahun silam, Is sebagai salah satu Sinetron Akhir Tahun 1991 memiliki garis-garis tegas ysng cukup menonjol. Sinetron, telah disepakati, adalah karya seni yang diungkapkan melalui bahasa ujaran dan bahasa gambar di layar kaca. Kedua media tersebut dalam kenyataan-kenyataannya sebelumnya diupayakan seselaras mungkin.

Akan tetapi Is menawarkan yang lain.. Muhngkin saja porsi bahasa ujaran sama dengan porsi bahasa gambar dalam perhitungan kuantitas; namun dalam perhitungan kualitas, bahasa ujaran yang sangat naratif, tidak dialogis, sangat dominan. Dalam konteks ini, keselarasan sebagai salah satu kualitas pokok untuk menangkap pengertian keindahan, ditendang habis-habisan;  kenmudian diganti dengan kualitas pokok lainnya, yakni kontradiksi. Is menawarkan kontradiklsi antara bahasa ujaran dan bahasa gambar dalam menyuguhkan keindahannya.

Gejala-gejala narasi di balik gambar dimunculkan sejak awal lewat Atok dan Mama, meskipun dalam batas monolog. Hal tersebut dimungkin oleh eksistensi tokoh Atok yang sedang dalam proses mencari diri dan makna kehidupannya. Ini adalah kenyataan fiktif, sinetron, yang mungkin saja merupakan refleksi dari kenyataan faktual.

Jawaban-jawaban atau tepatnya reaksi-reaksi Atok terhadap berondongan nasihat Mama atas nama masa depan tidak berbentuk bahasa ujaran, tetapi hanya sekadar bunyi “hm” atau anggukan jika mengiyakan, dan gelengan sebaagai pertanda menolak. Bahkan tidak jarang hanya dengan dengusan kalau sementara in obsession. Episode awal tersebut tamoaknya disengaja dengan gaya demikian sebagai persiapan memasuki perkembangan cerita. Adegan-adegan kurang memperlihatkan hubungan dialog antartokoh, tetapi suasana dialogis tetap tercipta.

Pencapaian suasana dialogis dengan mengurangi hubungan dialog antartokoh, tampaknya berangkat dari sebuah konsep dasar yang matang. Ia bukan lagi eksperimen sebagai proses pencarian cara pengucapan gagasan, melainkan telah menjadi bahasa tersendiri. Ia tidak monoton. Ia berkembang terus seirama perkembangan cerita.

Perkembangan sebagaimana yang dimaksudkan di atas, berpangkal pada kiriman kembang kepada Ati berulang kali yang pada awalnya tidak dijelaskan pengirimnya. Pada episode-episode perkembangan cerita inilah monolog yang naratif di balik gambar dimanfaatkan semaksimal mungkin. Tak ada dialog antartokoh. Gambar-gambar yang tampil silih berganti, dan ini, tidak sinkron sama sekali dengan yang terdengar. Dengan kata lain terjadi kontradiksi antara yang visual dengan yang auditif. Hal, tersebut, barangkali realisasi atau penerapan teori estetika yang dikemukakan oleh The Liang Gie (Garis-garis Besar Estetika, hal. 35) tentang ciri-ciri umum tentang sesuatu yang dianggap indah. Konsepa kontradiksai dalam penyuguhan keindahan dalam IS, juga dsipertegtas dalam kiriman kembang ke3pada Atok yang dilakukabn oleh Is  (Atok yang tertutup pada Ati, sedangkan Is terbuka pada Atok).

Tokoh-tokoh pun saling bergantian mengisi layar; kegelisahan Atok, kesibukan Atok, kepolosan Is. Dan dari balik gambar-gambar dengan suntingan yang pas itu, menyeruak monolog Atok yang naratif dalam satu nada: obsesi.
Makna lewat Metafora
Dua buah sinetron dengan topik penggarapan yang sama tetap akan berebedea antara satu deengan lainnya. Perbedaan itu disebabkan oleh cara pengungkapannya. Is, misalnya, dengan keempat subtema sewbagaimana disebut pada awal pembicaraan ini, bukanlah topik penggarapan baru dalam sinetron. Tetapi tentu saja IS tidak sama dengan sinetron-sinetron sebelumnya.


Kalau kita merujuk pada Alan Casty (The Dramatic Art of the Film, hal 14) yang membagi gaya pengungkapan film ke dalam tiga jenis: epik, realistik, dan ekspresif; tanmpak bahwa IS diungkapkan atas dasarperepadeuan antara gaya epik dan gaya realistik. Ciri epik dapat ditangkap melalui penekanan peristiwa yang naratif dan gambaran penokohan yang lebih sederhana dibandingkan dalam kehidupan nyata. Ciri realistik bisa diamati pada cara perubahan karakterisatik realitas konkret menjadi realitas imajinatif secara literal dan akurat. Dengan cara seperti itu, ilusi yang utuh tentang realitas konkret tetap dipertahankan. Dengan kata lain, penonton yang sedang berada dalam kebenaran fiktif (menyaksikan IS) “dipaksa” berada dalam kebenaran faktual yang sesungguhynya imajinatif.

Perpaduan antara kedua gaya tersebut di atas, memanfaatkan simbol-simbol sebagai salah satu peralatan artistik. Penggunaan simbol di sini tidak hanya terbatas pada, antara lain, latar tempat (: pertemuan antara Atok dengan dengan Ati) dan latar waktu (:pencarian jejak Is dan terbunuhnya Darkum), tetapi sampai pada nama tokoh (: Darkum dan Is).

Mengapa lokasi pertemuan antara Atok dengan Is di jembatan, dan Atok dengan Ati elevator? Mengapa bukan di tempat lain? Jembatan merupakan alat komunikasi yang tegar, tak mudah goyah. Simbol ini diimplikasikan oleh hubungan Atok dengan Is yang terpatahkan oleh apapun. Pada akhir cerita, secara fisik keduanya memang tidak bersama, tetapi secara nonfisik tetap, lewat boneka yang sudah cacat (terbakar) milik Is. Dan elevator, tempat melangkah yang tak pernah habis sepanjang orang orang masih mau melangkah. Itulah yang dilakukan oleh Atok, melangklah dalam obsesinya.

Di segi latar waktu, pencarian jejak Is dan terbunuhnya Darkum adalah malam. Saat seperti itu mengimplilkasikan sesuatu yang gelap, duka cita, sepi. Amatilah akhir sinetron IS ini. Atok dalam duka, sendiri, mengecup boneka yang sudah cacat. Dan, Darkum,  satu nama yang sangat metaforis ditinjau dari konteks bahasa dalam kehidupan sosial politik di Indonesia. Mengapa Darkum, dan mengapa Is?

Dari sisi kehidupan sosial politik di Indonesia, Darkum adalah akronim dari Sadar Hukum yanh digaungkan oleh pemerintah. Tiap warga negara RI harus sadar terhadap hukum-hukum yang diberlakukan di Indonesia demi tercapainya keadilan dan kemakmuran. Dalam sinetron IS, warga negara yang diwakili oleh aparat bukan hanya sudah sadar hukum (“darkum”), melainkan telah menjadi Darkum. Dan, kesadaran hukum telah memperkosa sesuatu yang polos, murni. Dan kebejatan itu dilindungi oleh pihak yang justru harus menghakiminya, agar mereka tidak cacat di mata masyarakat. Dan akrena hukum telah menodai hukum, maka hukum itu pun harus ditiadakan. Ya, hukum ditiadakan oleh Is. Dan Is (“is”) adalah yang polos, murni.

Tulisan ini terpilih sebagai Juara II
Lomba Penulisan Kritik Sepekan Sinetron TVRI, 1991  
Diselenggarakan oleh Forum Kajian Sinetron, Yogyakarta.