Kamis, 20 Januari 2011

KESENIAN: SAMUDERA TAK BERTEPI

Pada medio 10 tahun pertama abad ke-21 di Bulukumba, tercatat sebuah peristiwa di Lapangan Pemuda, peristiwa yang adalah kreativitas pemudanya, teater kolosal, mengisahkan perkiraan awal munculnya Bulukumba sebagai wilayah pemukiman.
Skenario teater kolosal tersebut berdasarkan Inventaris Arsip Bulukumba (1930-1960), mengungkapkan pertemuan dua arus besar manusia sebagai akibat perang dua negara: Bone dan Gowa. Pertemuan kedua arus besar manusia itu menciptakan konflik, terutama batas wilayah. Hasil pertemuan dikenal dengan Ceppa’é ri Caleppa (Perjanjian di Caleppa). Isinya:
1) kemenangan-kemenangan perang berbatas dari wilayah Sungai Walanae di barat sampai wilayah Ulaweng di utara;
2) Sungai Tangka yang mengaliri wilayah Bone dan Sinjai, bagian utaranya masuk wilayah Bone, sedangkan bagian selatannya masuk wilayah Gowa.
Perjanjian (ceppa’) tersebut merupakan penegasan Jori’ Dewataé, sebuah persetujuan penentuan batas pada akhir perang pertama kedua negara itu, masing-masing diwakili oleh Daeng Padulung, seorang perdana menteri dari Gowa dan Kajao Laliddong dari Bone. Peristiwanya berlangsung antara tahun 1568-1584. Jika kita menarik garis tengah antara kedua tahun itu, kita akan dapatkan jarak waktu masing-masing 8 tahun. Dengan demikian, Bulukumba sebagai wilayah pemukiman dua arus besar manusia yang menanggung risiko perang itu, diperkirakan bermula pada tahun 1576. Dalam konflik penentuan batas itulah muncul bulu’ku’ mupa (tafsiran bebas: masih termasuk wilayah saya). Sebagai akibat perubahan linguistis,  kata bulu’ku’ mupa menjadi bulu’kumba.
Akan tetapi, apa yang dapat dilakukan bersama oleh kedua arus besar manusia yang berasal dari latar dan kebudayaan yang berbeda itu? Apa yang bakal dialami bersama oleh mereka yang masih dalam tahap proses mencari identitas diri? Yang wawasan bersama masih pada lingkup sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas itulah yang dijawab oleh para pemuda Bulukumba sekitar 200 orang lebih, siang hari, 4 Februari 2006 dalam acara puncak Ulang Tahun ke-46 Bulukumba sebagai kabupaten. Pertunjukan itu melibatkan pula puluhan mobil serta motor, sehingga saat pertunjukan yang berdurasi sekitar satu jam itu, debu menyelimuti para penonton. Teater kolosal itu membawa nilai keberhargaan, keunggulan, dan historis.
Kalau penampilan itu memuaskan pemain dan penata artistik di satu pihak serta masyarakat sebagai penikmat di pihak lain, hal itu disebabkan oleh adanya kesamaan rasa dan pikir. Kesamaan itu muncul dari pemerintah kabupaten, masyarakat, dan seniman, tidak hanya pada puncak peristiwanya tapi terutama pada saat proses (dari ide awal sampai pertunjukan).
A.M. Sukri Sappewali sebagai bupati Bulukumba menampakkan eksistensinya dalam proses itu. Bulukumba di bawah arahan beliau, pada event itu tidak saja mampu, tapi juga MAU mengundang seniman teater Jacob Marala sebagai sutradara, didampingi Dharsyaf Pabottingi dari Teater Kampong, Bulukumba; penata musik Basri B. Sila dan Abdi Bashit, dengan person 20 orang, lengkap dengan instrumen musiknya, diangkut dari Makassar. Sebagai catatan, mereka, para musisi itulah yang mengiringi pertunjukan teater La Galigo-nya Robert Wilson keliling dunia pada bulan-bulan sebelumnya.
Dan, lebih dari itu, bupati yang baru saja dilantik beberapa bulan sebelumnya, tidak segan-segan menyiapkan waktu untuk datang berulang kali menyaksikan latihan; bahkan setelah latihan selesai, beliau masih menyiapkan waktu untuk tinggal bincang-bincang dengan semua pendukung. Latihannya sendiri berlangsung selama satu bulan nonstop di belakang kantor Bupati Kabupaten Bulukumba, mulai pukul 20.00.
Kalau jejak-jejak peristiwa kebudayaan di Bulukumba ditapaki kembali, pemikiran yang menghasilkan sikap dan tindak bupati A.M. Sukri Sappewli seperti itu tidak mengherankan. Yang sempat tertinggal dalam rekaman saya, ada beberapa tokoh sebelumnya yang memang demikian. Mereka itu, a.l. KPN (Kepala Pemerintahan dalam Neger) tahun 1950, Andi Syamsuddin. Pada periode itu tampil Busthan Barani, Sangkala’ Caca, Aksa Tarru’, Amin Wahab, Alimuddin Toanging, Makruni, dll. Tahun 1960-an ada Andi Mansyur Sultan, yang tidak saja mau, sekali lagi, mau menanggulangi semua biaya produksi, tapi juga ikut bersila menyaksikan latihan di rumah panggung Ibu Shafiah Paturusi, yang konsumsinya tentu saja disiapkan oleh Ibu yang sangat apresiatif itu. Pada masa itu tampil M. Arman Yunus, Alimuddin Toanging, Amin Wahab. S. Rukiah, dll.

Tahun 1970-an suasana berkesenian semakin meningkat, yaitu saat Andi Bakri Tandaramang menjadi bupati. Peningkatan itu disebabkan oleh 4 faktor.
1) Para seniman yang berproses yang memasabodohi proposal, sehingga aktivitas, produktivitas, dan kreativitas tak terhenti. Artinya, para seniman mendahulukan fungsi intrinsik dibanding fungsi ekstrinsik.
2) Dalam proses itu, pemerintah menjadi mitra seniman dalam pengembangan kesenian. Dengan demikian, dana dari pemerintah yang dipakai dalam produksi, bukan bantuan pemerintah, tidak bersifat bantuan pada seniman, melainkan pemerintah hanya menyalurkan. “Iya mēmeng metto punna” (maksudnya: dana itu memang milik mereka), kata salah seorang, entah kepala/bidang apa, di Kantor Bupati, namanya M. Said Makkuaseng, kalau tidak salah ingat.
3) Ada dua gedung yang siap menerima kegiatan kesenian dengan panggung prosenium, ruangan rias, tempat peralatan, bahkan sumur dan toilet, yang dilengkapi dengan kursi dan lampu pencahayaan pentas. Kedua gedung itu: Gema (Gedung Masyarakat) dan G.W. (Gedung Wanita). Auditoriumnya mampu memuat sekitar 400 penonton. Jika sebuah grup akan memanfaatkannya, tugas pelaksana hanya menyurat kepada penanggungjawabnya bernama Ibu Pertiwi.
4) Tersedianya tenaga pembina dari Makassar yang diundang oleh pemerintah secara berkala. Mereka itu Aspar Paturusi, Mochtar Pabottingi, dan T. Konyn. Dalam konteks ini, dua senior yang memang berdiam di Bulukumba tidak tinggal diam sebagai asisten, M. Arman Yunus dan Andi Syafruddin Gani.
Hal-hal tersebut di atas sekadar contoh puluhan tahun sebelumnya. Contoh yang menyimpulkan bahwa antara tiga aspek, yaitu seniman, pemerintah, dan masyarakat, berada di bawah satu pemahaman: kebudayaan, dhi. kesenian adalah media penemuan pengalaman (fisik dan batin) yang memiliki nilai dasar: estetik dan edukatif.
Akan tetapi, masih mungkinkah contoh-contoh puluhan tahun tersebut di atas dijadikan bahan acuan untuk berbuat pada awal abad ke-21 ini? Jawabannya tentu pada kita, tapi setidak-tidaknya ada tiga hal pokok yang harus terhunjam-dalam di dalam hati masing-masing.
1) Seniman harus mampu dan mau berbuat dengan menomorsatukan fungsi intrinsik (keberhargaan, keunggulan) yang ada di dalam seni itu sendiri. Fungsi ekstrinsik bisa dinomorduakan atau dinomorenambelaskan.
2) Hubungan pemerintah dan seniman tidak bersifat simpati tapi empati. Empati ini melahirkan rasa saling menghargai, bukan antarpersonal, melainkan profesi masing-masing.
3) Masyarakat harus dilihat dari dua sikap, yaitu apresiatif dan hedonistis. Dengan memahami hal ini, hubungan antara seniman dengan pemerintah, seni dengan masyarakat, dapat ditakar.
Bulukumba sebagai salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan, amat sangat kaya dengan aset kesenian, terutama dari aspek manusianya. Sekali lagi, dalam membicarakan kebudayaan, dhi. kesenian, tiga aspek yang tidak-bisa-tidak wajib kerja sama, yaitu seniman, penikmat, dan pemerintah, yang ketiga-tiganya terikat dalam simpul: rasa memiliki. Sebagai catatan, beberapa manusia Bulukumba telah menerima Penghargaan Seni dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Mereka itu, Aspar Paturusi pada 1990-an, disusul 4 tahun berturut-turut diberikan kepada Fahmi Syariff (2002), Syam Asrib (2003), Andi Mahrus Andis (2004), dan Dharsyaf Pabottingi (2005).
Akan tetapi apakah dengan kreativitas yang kemudian melahirkan penghargaan membuat senimannya tepuk dada? TIDAK! Mengapa? Kesenian harus terus ditelusuri, dilayari dalam proses menemukan persinggahan baru untuk sementara, kemudian terus melayarinya, karena kesenian adalah samudra tak bertepi, tasi’ temmakkéwiring yang harus terus dilayari. Bukankah Bulukumba panrita lopi? *)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar