Senin, 10 Januari 2011

...ZAT, MONOLOG, dan TEATER MANDIRI

   
I. Di atas tanah tak berumput, beberapa orang, laki-laki dan perempuan, dalam remang-remang melakukan sesuatu. Ada yang berdiri, jongkok, baring, dan semacamnya. Singkatnya, mereka bergerak terus, tanpa bunyi. Beberapa meter dari lokasi itu, juga di atas tanah, seorang laki-laki berbaring miring sambil menopang kepala dengan tangan kanan. Dia terus menatap kelompok yang sedang bergerak itu, juga tanpa bunyi. Dia Putu Wijaya, di salah satu lokasi terbuka di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 1976.
II. Kurang lebih 20 orang, dalam style pakaian yang tak pernah saya temukan dalam kehidupan rutin, terus bergerak di atas lantai dalam berkas-berkas cahaya berbagai warna. Ada bunyi, ada suara, yang mereka timbulkan. Bunyi itu kadang-kadang kacau, kadang-kadang ritmis. Menjelang akhir peristiwa, dari atas belakang kiri-kanan, melorot dua kerangkeng terbuat dari bambu berukuran (kurang lebih)  1 X 1 X 1 meter. Kedua kerangkeng itu kemudian merapat di lantai, masing-masing berisi satu manusia. Ini Zat-nya Putu Wijaya di Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1982.
III. Dia laki-laki, satu orang, dengan pici dan dalam bungkus pakaian serba hitam. Dia bergerak dan bicara tanpa henti tentang kemerdekaan. Gerak dan bicara sendiri itu dibantu oleh bambu panjang, sangkar burung, kain, dll. yang tampaknya dipersiapkan sebelumnya. Dia kadang jalan biasa, loncat, mengitari ruangan, bahkan berlari-lari sampai ke bagian belakang yang sarat dengan reruntuhan tembok. Dia, Putu Wijaya menampilkan monolog di pelataran Gedung Societeit de Harmonie, Makassar, 2010.

***

Peristiwa I, II, dan III di atas, bagi saya, merupakan 3 titik yang cukup menarik untuk mendekati Putu Wijaya sebagai teaterawan, lantaran ketiganya mengedepankan perbedaan yang sangat menonjol. Makna yang paling jelas yang dapat saya sebutkan, adalah: pencarian identitas (I), permainan kelompok (II), permainan individual (III).
“Pencarian identitas” saya istilahkan untuk peristiwa I timbul setelah mengetahui pergaulannya dengan Rendra dengan Bengkel Teater-nya, Arifin C. Noer dengan Teater Kecil-nya, dan lain-lain. Putu sebagai teaterawan tak mungkin tampil dengan identitas Rendra dan Arifin, atau identitas teaterawan lainnya. Apa yang saya saksikan di TIM tahun 1976 itu, dalam karya-karya Teater Mandiri berikutnya tak pernah terulang, baik yang masih dalam bentuk tulisan (naskah, buku) maupun pertunjukan teater. Cirinya yang paling menonjol adalah nirkata.
Tidak banyak sastra drama karya Putu Wijaya dan pertunjukan Teater Mandiri saya saksikan. Akan tetapi satu-dua di antara yang tidak banyak itu menegaskan loncatan-loncatannya yang berarti, dan cenderung menjadi “tiruan” teater remaja tahun 1970-an, Zat, misalnya.
Pada Zat, peristiwa II, yang saya saksikan tahun 1982 di Teater Tertutup TIM, misalnya, adalah kontradiksi yang paling tegas dengan peristiwa I. Di dalam Zat cenderung tak ada permainan individual. Kalau toch ada, cuma satu, Renny Jayusman. Akan tetapi permainan individual ini justru sangat tidak konvensional. Dalam beberapa adegan, pemeran “menyadarkan” penonton bahwa saat itu mereka sedang berada di dalam gedung teater menyaksikan pertunjukan. Pemeran, Renny Jayusman, “melarang” penonton untuk terlibat di dalam pementasan, dengan teknik kembali pada dirinya: minta maaf pada penonton kemudian menghirup udara dari dalam tabung O2 yang berdiri di belakangnya untuk mengatur pernafasan, lantaran kekurangan nafas dalam melontarkan dialog.
Saya tidak mau mengatakan bahwa Putu Wijaya perintis monolog di Indonesia karena saya belum pernah melakukan penelitian tentangnya, tetapi pertunjukan monolog pertama yang saya saksikan ialah dalam acara pembukaan Festival Teater Indonesia 1993 di Solo ini, justru oleh Putu Wijaya. Apakah Putu Wijaya yang menjadi perintis monolog atau bukan, tidak penting dipersoalkan, tetapi: mengapa Teater Mandiri yang cukup produktif dan kreatif selama 3 dasa warsa terakhir abad ke-20, menjadi pasif pada dasa warsa pertama abad ke-21?, saya kira itulah yang penting dipersoalkan. Mengapa?
Peritiwa III, monolog di pelataran Gedung Kesenian Makassar Societeit de Harmoni, Makassar, merupakan aktivitas lain Putu Wijaya yang (pernah) memimpin Teater Mandiri. Kalau ciri peristiwa II (Zat) adalah permainan kelompok, yang tampak selanjutnya justru permainan individual. Sebagian besar materi monolog adalah cerpen yang dipertunjukkan. Artinya, ia adalah karya sastra yang tujuan utamanya adalah dibaca. Ini sangat berbeda dengan sastra drama yang tujuan penulisannya adalah untuk dipertunjukkan, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Putu Wijaya, bahkan berulang kali terpilih sebagai pemenang.
Oleh karena itu, bagi saya, monolog justru loncatan ke belakang bagi Putu Wijaya. Saya katakan demikian karena menurut saya, pertunjukan monolog bukan one man play, atau sandiwara alit menurut penamaan Arifin C. Noer tentang cerita yang ditulisnya berjudul Kasir Kita. Bagi saya monolog yang sering ditampilkan akhir-akhir ini tak lebih dari salah satu sosialisasi karya sastra. Ini memang tidak salah, tapi mencampuradukkan dua persoalan yang memiliki persoalan sendiri-sendiri justru akan memperkeruh persoalan masing-masing. Sastra memiliki persoalan sendiri. Sama halnya dengan teater, punya persoalan sendiri.
Menangani satu orang, apalagi menangani diri sendiri tak seberat menangani beberapa orang. Atau, menyutradarai diri sendiri, jauh lebih mudah menyutradarai sekian puluh anggota Teater Mandiri. Bagaimana dengan penonton sebagai bagian yang mengutuhkan sebuah pertunjukan? Tak ada persoalan. Putu Wijaya sudah punya nama, bahkan sampai ke tingkat internasional. Akan tetapi menyaksikan Teater Mandiri, yang meskipun disutradarai oleh Putu Wijaya, membutuhkan pemikiran, apalagi tahun-tahun terakhir ini sudah hilang dari permukaan. Dengan demikian, Mimbar Teater Indonesia perlu membicarakan teater, dan bukan mencari-cari persoalan untuk dimimbarkan. *


Catatan:
-Ditampilkan dalam Mimbar Teater Indonesia,
4 – 10 Oktober 2010 di Surakarta, Jawa Tengah.
-Penulis: Ketua I DKM dan dosen tetap Fak. Sastra
Universitas Hasanuddin.
  








Tidak ada komentar:

Posting Komentar