Kamis, 13 Januari 2011

BUKU TRILOGI DRAMA TEROPONG DAN MERIAM

DR. MOCHTAR PABOTTINGI (LIPI)

Dengan karya trilogi dramanya ini, Teropong dan Meriam, Fahmi Syariff telah memantapkan diri sebagai seorang sastrawan yang piawai, cerdas, dan bijak. Tiga butir pengamatan mendasari penilaian tersebut. Pertama, Fahmi bukan hanya mampu memberi kita dialog-dialog yang membuat kita tergeli, melainkan juga dialog-dialog yang mampu membuat kita terpaksa tercenung menyimak makna yang dalam dan visi yang jauh. Kejenakaan dan kecerdasan itu juga tercermin pada ketangkasannya bolak balik dari masa lampau ke masa kini, terutama kala protagonis memperbincangkan “benteng” dan  “parit pertahanan” -model ratusan tahun silam- dengan “proyek” dan rekayasa “pimpro” korup Daeng Materru, model jutaan turunannya dewasa ini, yang jumlahnya menonjol di Sulawesi Selatan sendiri.

Kedua, tersambung dengan butir pertama, Fahmi menunjukkan pemahamannya akan tema dan teknik drama klasik dan kontemporer, di mana yang lucu dan komikal bersambung langsung dengan yang patetis dan tragis, serta di mana yang gamblang duniawi berbaur langsung dengan pertanyaan-pertanyaan terdalam manusia, pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang yang  ada dan yang tiada serta yang benar dan yang salah.

Semua ini tetap lengket erat sejak dari Isocrates, Socrates, Plato, dan Aristoteles dalam pergulatan filosofis manusia yang tak kunjung terjawab tuntas hingga kini. Seperti Shakespeare dalam Hamlet, Othello, maupun King Lear, tokoh-tokoh besar dalam warisan sejarah leluhur kita, khususnya I La Tenritatta Arung Palakka ditampilkannya tanpa semangat pendewaan, melainkan dengan semangat realitas yang tinggi. Keberanian dan ketegaran sang tokoh legendaris yang memang sulit dicari tandingannya ini ditampilkannya sebagai manusia biasa dengan saat-saat dirundung gamang dan bimbang.

Tema-teknik demikian merupakan trade mark Shakespeare. Akan tetapi itu juga dapat ditemukan pada Aeschylus dan Sophocles jauh sebelumnya. Tema-teknik ini juga tetap laku hingga ke masa kita, pada Beckett dan Ionesco, misalnya, dan sangat menonjol pada karya-karya Arifin C. Noer maupun Putu Wijaya. Dengan kata lain, Fahmi menangkap esensi drama klasik dan modern dan menerapkannya ke dalam paradigma kultural dan pengalaman sejarah “Bosara” (Bone-Mangkasara, Bugis-Makassar). Fahmi bahkan tampil orisinal ketika dia mendobrak batas klise tradisional antara yang banci dan yang jantan pada tokoh Tunipattolo Daeng Rompa. Tidak mustahil jika dalam waktu dekat ini “Daeng Rompa” akan menjadi idiom sastra mengunokan tembok jender dan keangkuhan kaum lelaki, dan lagi-lagi sangat relevan dalam konteks kultural Bugis-Makassar.

Ketiga, dan mungkin terpenting (bukan hanya sehubungan dengan paradigma kultural dan sejarah Bugis-Makassar-Mandar-Toraja, dst., melainkan juga dalam konteks paradigma politik) adalah momen sejarah dan/tokoh-tokoh yang disebut oleh playwright kita. Fahmi tidak mengangkat I Sawerigading atau I La Galigo. Dia mengangkat I Mallombasi, Daeng Serang, dan raja-mahaguru (philosopher king) Karaeng Pattingalloang. Dia juga mengangkat tokoh-tokoh pemikir politik Bugis, yaitu dari rangkaian nama seperti Kajao La Liddo, Tociung, dan Tomaddauleng -tokoh-tokoh sentral seperti dalam karya klasik Profesor Mattulada- yang kemudian diakui oleh Antony Reid sebagai pemula pemikiran politik modern dalam sejarah umat manusia. Bagi Reid, mereka hanya terbandingkan (comparable) dengan para pemikir serta pelaku politik legendaris di abad yang sama (abad ke-17). Rangkaian tema-teknik seperti itu jelas belum tergarap dalam karya-karya drama Aspar Paturusi maupun Rahman Arge sebelumnya - dua penulis drama terkemuka di Sulawesi Selatan.

Pada kesempatan ini perkenankan saya menyatakan kesepakatan penuh dengan pilihan momen dan rangkaian tokoh Fahmi. Ini perlu ditandaskan sebab dalam satu dua tahun terakhir ini, kita terseret dalam hipnosis Sawerigading dan/atau La Galigo, yang sangat kental paradigma feodal dan mitologisnya. Kita jangan terjebak ke dalam puji-sanjung para ahli luar negeri pada ribuan lembar naskah warisan leluhur kita, sebab selain kita lebih tahu tentang apa yang kita butuhkan, kita juga mesti menyadari bahwa tak terhitung puji-sanjung sesungguhnya berakibat dan/atau bertujuan menghancurkan. Dan Kompaniya serta para turunannya sekarang yang berkongsi dengan para turunan Daeng Materru sangat ahli dalam muslihat demikian. Kita wajib menghargai warisan leluhur kita, namun To Ugi’ sibawa To Mangkasa’e jangan sampai bernasib sebagai suku-suku Indian atau Polinesia di Amerika Serikat - suku-suku Tunipattolo - yang sudah ditolak oleh tokoh “Daeng Rompa” sendiri. Nasib, kualitas SDM, dan kiprah menyongsong masa depan masyarakat Sulawesi Selatan sudah tertinggal puluhan, mungkin ratusan tahun. Itu semua hanya bisa terangkat, justru jika mereka tidak terus berkubang mengipas-ngipas ego kolektif kuno dalam alam feodal mitologis, atau apa yang pernah disebut oleh Rendra untuk Mataram “kebudayaan kasur tua”, jika kita sanggup tegar dan cerdas menyambung serta meneruskan kepeloporan kreativitas politik – dalam esensi siri’ sebagai perwujudan prinsip-prinsip acca, lempu’, warani, getteng (cerdas, jujur, berani, konstan) milik suku Bugis-Mandar- Makassar dari abad ke-17 itu.

Selamat kita ucapkan kepada Fahmi Syariff untuk karyanya yang penting ini!

Jakarta, Juni 2004


Tidak ada komentar:

Posting Komentar