Sabtu, 15 Januari 2011

ARUNG PALAKKA

Bagian II Trilogi Drama Teropong dan Meriam
Naskah: Fahmi Syariff
Sutradara: Jacob Marala.
Produser: Ajeip Padindang.
Pementasan I: Teater Latamaosandi, Makassar, Sulawesi Selatan.
Gedung Kesenian DKM, 7-10 Agustus 1988.

Sinopsis

Tiga laki-laki sedang membuat kubu pertahanan dengan cara membuat galian di pesisir pantai. Mendadak dari satu arah terdengar letusan. Seperti biasa, jika ada letusan, berarti ada nyawa melayang. Dan benar, di gundukan pasir galian, lewat dua laki-laki menggotong mayat dengan menggunakan sarung dan bambu. Di belakangnya, seorang mandor menyusul sambil meniup asap dari lubang senapannya.

Demikian gambaran peristiwa keseharian di sepanjang wilayah penggalian, peristiwa-peristiwa yang menyimpan gumpalan pedih di balik dada para pekerja. Untuk melawan hanya kesia-siaan, sebagaimana yang terjadi sebelumnya.

Turunnya Arung Palakka ke penggalian atas perintah Karaeng Karunrung, Mangkubumi Kerajaan Gowa, dianggap oleh para pekerja sebagai tindakan yang sudah sangat melampaui batas. Betapa tidak, Arung Palakka adalah turunan langsung Raja Bone, dibesarkan bersama I Mallombasi, Raja Gowa, dan Karaeng Karunrung oleh Karaeng Pattingalloang. Akan tetapi bagi  Arung Palakka, hal itu justru merupakan jalan utama dan pertama untuk merebut kembali harkat manusia sebagai manusia.

Puncak kepedihan yang dirasakan oleh Arung Palakka adalah saat ayahandanya, Arung Tana Tennga, meninggal; langsung dimakamkan tanpa sepengetahuannya. Peristiwa itu menciptakan dendam, dan akan ditebusnya bukan dengan menyerang, melainkan dengan membebaskan semua pekerja parit yang jumlahnya sekitar 10.000 orang.

Sambil bekerja di penggalian, strategi pun dia susun bersama 7 pekerja lainnya. Waktu yang mereka pilih untuk membebaskan diri dari perbudakan itu adalah saat berlangsungnya pesta panen di Tallo. Pilihan pada hari pesta itu didasarkan atas pertimbangan, bahwa sebagian besar tubarani akan hadir pada pesta panen itu, selain rakyat tentu saja akan ikut dalam pesta yang sangat langka dilakukan itu. Ini berarti bahwa daerah penggalian akan kosong dari kekuatan. Malam hari sebelum pembebasan itu mereka lakukan esoknya, kedelapan laki-laki itu bertemu di penggalian mengikat janji dengan mengitari sebuah batu dan menghancurkannya.

Hari yang mereka nantikan itu pun tiba. Kurang lebih 10.000 pekerja secara serempak meninggalkan daerah penggalian. Konflik yang tak bisa tidak terjadi, adalah antara mereka dengan mandor yang memang tidak seberapa jumlahnya. Setelah kesemua mandor itu mereka lumpuhkan, mereka kemudian berkumpul di tempat yang telah mereka tentukan untuk selanjutnya meninggalkan Gowa.

Di satu ketinggian berdiri Arung Palakka. Di ketinggian lain berdiri Karaeng Karunrung. Di dekat mereka berkibar bendera masing-masing. Keduanya bertarung dalam diam, lalu keduanya ditelan kegelapan. Yang tersisa hanyalah bendera yang berkibar angkuh. Terakhir, Arung Palakka muncul dari kegelapan dengan sebuah senandika: “Tidak salahkah aku jika aku minta bantuan bangsa lain untuk melepaskan bangsaku dari perbudakan yang dilakukan oleh bangsa yang kebetulan lebih kuat daripada bangsaku?”*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar