Selasa, 11 Januari 2011

URBAN EGGS

Komposisi Bunyi Urban Eggs Moment:
Tonggak Baru Musisi di Makassar

Fahmi Syariff



Backdrop teater prosenium Gedung Kesenian Societeit de Harmonie, Makassar, yang sangat sederhana itu berwarna hitam, sedangkan lantai pentasnya berwarna debu. Di atas lantai itu teratur berbagai macam jenis instrumen musik. Sesaat berikutnya muncul 8 anak muda, laki-laki, dalam baju kaos dan celana jeans didominasi warna hitam, langsung duduk di belakang tiap instrumen. Kurang dari semenit berikutnya dijeridoo, salah satu instrumen musik tiup suku Aborigin, menggaung rendah. Siklus karya Gardian Nusantara (SMKI jurusan musik) dan Muh. Unshar mengawali pementasan, 10 Agustus 2008. Penonton menikmati perpaduan indah dari bunyi instrumen musik gesek, tiup, petik, tabuh, berbagai jenis dalam acara MainMineMind yang dipersembahkan oleh Urban Eggs Moment sebagai poroduksi perdananya.

Komposisi bunyi yang masing-masing berjudul: ...G... (Anwar Amri), Sebuah Negeri di Timur (Irwandi Thayf), Passion dan Independendut (Arfan Rahim), serta ABM atawa 356 Fantasia (Aristofani) menyusul Siklus. Enam komposisi bunyi yang berdurasi lebih dari satu setengah jam itu, tampaknya melalui proses persiapan yang profesional. Profesionalisme ini a.l. tampak pada kepastian main yang terekspresi melalui gerak dan wajah para musisi, pengaturan instrumen, musisi yang kadang-kadang tidak hanya memainkan lebih dari satu instrumen.

Komposisi ketiga, Sebuah Negeri di Timur, satu-satunya komposisi bunyi yang tidak menggunakan satu pun instrumen musik. Komposisi ini diciptakan oleh Irwandi Thayf, alumnus UMI, yang menurut Aristofani, koordinatornya, “diproses di laboratorium komputer dengan menggunakan software khusus audio.” Pada awalnya memang ada bunyi natural seperti hujan, burung, dan bunyi natural lainnya beberapa detik, tapi secepat itu terjadi distorsi. Dan, yang sampai ke penonton kemudian, minimal saya, adalah chaos. Apakah bunyi itu merupakan penafsiran Irwan Thayf atas Indonesia yang semakin semrawut ini, entahlah. Yang pasti Urban Eggs Moment mencipta komposisi bunyi, yang menurut saya, tonggak baru musik di Makassar mulai (telah?) berproses.

Komposisi bunyi tsb. ditutup oleh ABM atawa 356 Fantasia karya Aristofani, mahasiswa Etnomusikologi Semester akhir ISI Solo, merupakan klimaks jika dilihat dari alur pertunjukan dengan menggunakan semua instrumen sebelumnya serta bunyi-bunyi yang dihasilkannya. Tampak instrumen musik etnis Bugis, Makassar, Toraja, Eropa serta Timur Tengah. Bunyi-bunyi yang ditimbulkan jika didengarkan selintas, memang kacau, tapi pada saat tertentu lainnya, terpadu dan menciptakan irama ganas diselang-selingi irama keharuan. Komposisi bunyi ini dilanjutkan dengan diskusi musik.

Dipandu oleh Azhari, 2 pembicara tampil mengantar diskusi: Tamar, S-1 musik STSI Bandung serta Djohan Tinungki, S-2 musik ISI Yogyakarta. Ada apa atau bagaimana sesungguhnya musik di Makassar? Jawabannya memang sangat sulit, karena aktivitas musik dalam konteks seni pertunjukan di Makassar sebagaimana yang ditampilkan Urban Eggs Moment, tidak ada 5 tahun ke belakang. Karena tidak ada, berarti tidak ada masalah. Yang jadi masalah karena tidak ada itulah. “Itulah sesungguhnya yang jadi masalah,” Tamar menyimpulkan.

Sependek ingatan penulis, di Societeit de Harmonie, Makassar, memang pernah ada aktivitas pertunjukan musik. Satu dalam Nada Merdeka, topiknya, sebuah konser langgam oleh I Lologading pimpinan Giok Sukarman yang dipelopori oleh Aliem Prasasti. Yang menarik dalam aktivitas itu adalah pertunjukan 4 lagu dalam 4 bahasa, masing-masing: Ada Apa Denganmu (Indonesia), Ye Lai Siang (Mandarin), Amor (Latin), dan Have Yoe Ever Seen the Rain? (Inggris) dalam irama langgam. Aktivitas ini berlangsung 13 Agustus 2005, tepat 3 tahun silam. Dan, tahun 2004 di gedung teater ini ada Independent Dangdut. Ya, kesemuanya itu indah memang, keindahan yang repetitif.

Musik dalam scope aktivitas tidak sedikit. Itu pasti. Tapi kreativitas melalui perpaduan berbagai jenis instrumen serta bunyi yang sampai sebagaimana yang dilakukan Urban Eggs Moment, masih bisa dihitung jari. Dan ini pasti pula. Suatu keberanian memadukan sekian banyak instrumen musik yang tentu saja menciptakan bunyi yang bukan repetitif, belum pernah ada sebelumnya. Magister musik, Djohan Tinungki, menyebutnya eksperimen.

Berbagai hal bisa dituding sebagai penyebab sehingga kreativitas (bukan aktivitas) musik sangat langka di Makassar. Penyebab itu antara lain kemampuan, instrumen, visi, wawasan, dan itu, dana. Dana yang tidak ada serta instrumen yang minim dapat diatasi melalui manajemen nonartistik. Yang sangat memprihatinkan apabila visi dan wawasan yang terbatas. Tapi bagaimana mungkin visi dan wawasan yang terbatas itu dapat diperluas apabila tak ada aktivitas? Lingkaran setan. Lantas? Pada akhirnya masalah kesenian terpulang pada 2 pilar: seniman yang sudah siap dan pemerintah yang wajib siap. Tanpa motif melupakan musisi lain, setidak-tidaknya seniman (musik) yang sudah siap: Aristofani, Gardian Nusantara, Muh. Unshar, Irwandi Thayf, Reski Ramdhan, Yanuar Ramdhana, Anwar Amri, Arfan Rahim, Ilham Mappa, Benda, dan Rambo, harus kreatif dan tahan banting dalam keterbatasan nonartistik. Mereka, anak muda yang berusia 20-an ini menunggu penanganan yang non artistik.

Apabila kita sampai pada titik tsb. di atas muncul dilema. Kontribusi apa yang bisa diberikan oleh kesenian (kreatif), sementara Indonesia kini dalam proses pembangunan material? Tulisan pendek ini akan saya tutup dengan mengutip ucapan Sekwilda Provinsi Sulawesi Selatan saat penulis mengikuti Loka Karya PWI Angkatan I tahun 1971 di Balai Wartawan, Makassar. “Para seniman di Sulawesi Selatan harus memahami skala prioritas pembangunan.”

Mungkin kini kita perlu perdebatkan: idealisme atau realitas?

Makassar, 13 Agustus 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar