Selasa, 25 Januari 2011

ZAMAN KUSUT, ZAMAN PENUH KHIANAT


Pementasan Manusia-manusia Perbatasan karya Fahmi Syariff
Oleh Junaedi

Sastrawan dan salah seorang pentolan DKM, Fahmi Syariff kembali menggelar karyanya di Gedung Kesenian Makassar (Sicieteit de Harmonie). Pertunjukan teater berjudul ‘Manusia-Manusia Perbatasan’. Ini kali diproduksi KOSASTER, FIB UNHAS. Sebuah naskah lama, namun masih terasa pas dengan realitas kehidupan kita hari ini. Penuh dengan konflik kepentingan dan kritik sosial terhadap mapannya kekuasaan.
Sosok ibunda tua yang tengah menenun, menjadi adegan pembuka dari pertunjukan itu.  Tak lama berselang, dua orang anaknya, laki-laki dan perempuan, datang duduk menemaninya. Dialog pun tergerai di antara mereka. Dalam dialog itu, ibunda tua mengeluhkan kondisi benang tenunannya yang senantiasa kusut walau sudah berulang-ulang kali diurai. Sang anak, Laki-laki, pun iba. Dia lalu meminta izin kepada ibunda untuk pergi ke Lili ri Tengnga (wilayah Tengah) untuk mencarikan benang yang baru buat sang bunda. Lebih dari itu, kepergiannya ini, juga untuk menemui saudaranya yang kini telah menjadi Pampawa (pejabat) di Lili ri Ase (wilayah atas). Perempuan pun rupanya ingin turut serta dengan saudaranya ke Lili ri Tengnga. Maka dia pun turut memohon. Semula sang bunda berat untuk mengizinkan. Namun, setelah mengemukakan beberapa alasan, izin pun diberikan oleh sang Bunda. Maka berangkatlah mereka berdua ke Lili ri Tengnga
Cerita pun kemudian bergerak ke Lili ri Tengnga yang saat itu sedang bergolak. Para penghuninya, Tumaradeka, tengah menggelar aksi protes dan perlawanan terhadap para pampawa di Lili ri Ase. Mereka kecewa dengan para pampawa karena dianggap sudah tidak lagi peduli kepada rakyat banyak. Mereka berteriak, mereka berontak. Namun, aksi protes mereka ini kemudian diwarnai dengan silang pendapat di antara mereka sendiri, tentang bagaimana cara yang efektif untuk menyampaikan pendapat. Ada yang ingin meneruskan aksi protes, dengan cara turun ke jalan. Namun, sebagian lagi dari mereka menganggap bahwa protes dengan cara-cara lama seperti itu, sudah tidak berguna lagi. Selama ini, hal seperti itu selalu mereka lakukan. Tapi toh, hasilnya sama saja. Suara mereka dianggap angin lalu oleh Pampawa. Namun sayang mereka juga tidak memiliki solusi cara lain selain turun ke jalan. Konflik di antara mereka ini kemudian diperparah dengan penyusupan yang dilakukan oleh pak Beo. Pak Beo ini juga merupakan salah seorang Pampawa yang ikut-ikutan dalam aksi protes tumaradeka ini. Dia berupaya memanas-manasi keadaan agar para Tumaradeka ini terpecah-pecah.
Sementara itu di Lili ri Ase, Pampawa 1, yang merupakan pemimpin tertingginya tengah mengalami kegalauan yang luar biasa. Dia mulai merasa tertekan dengan aksi protes yang terus-menerus dilakukan oleh para tumaradeka di Lili ri Tengnga. Kekuasaannya seperti mulai tersudutkan. Para Pampawa lain dan sekretaris mencoba menenangkan. Mereka mengatakan bahwa aksi-aksi protes ini adalah hal yang lumrah dan biasa saja sehingga tidak perlu ditanggapi berlebihan. “Ini hanyalah bagian dari dinamika hidup. Ada antagonis dan ada protagonis”. Begitu anggapan mereka. Tapi Pampawa 1 tidak lantas tenang. Hatinya tetap gundah. Dia pun  terus berpikir, mencari jalan bagaimana agar para Tumaradeka ini menghentikan aksinya.
Solusi untuk menghentikan aksi protes para Tumaradeka pun ditemukan. Yaitu, memecah belah mereka dengan jalan menarik mereka ke dalam jejaring kekuasaan. Uang kemudian menjadi alat umpan jitu untuk menarik sebagian Tumaradeka yang tengah riuh oleh konflik. Siasat ini terbukti berhasil. Beberapa Tumaradeka pun sukses dipegang. Mereka yang lemah, kemudian masuk ke dalam lingkaran kekuasaan dengan bujukan dan rayuan materi. Berada dalam lingkaran kekuasan membuat mereka kehilangan keberanian untuk melawan kesewenang-wenangan penguasa. Tidak ada lagi teriakan lantang protes mereka. Mereka sudah dibuai oleh gemerlap kekuasaan dan kemewahan hidup di Lili ri Ase.  
Tindak-tanduk sebagian tumaredeka yang bergabung dengan pampawa ini, semakin memperparah kondisi di Lili ri Tengnga. Mereka kemudian saling tuduh dan saling fitnah satu sama lain. Kondisi menjadi semakin sulit. Dan saat kekacauan hendak mencapai puncaknya, muncullah sang Bunda. Dia terpaksa datang dari Lili ri Awa untuk menenangkan situasi. Dengan bijaknya sang Bunda memberikan petuah bagi para Tumaradeka yang tengah berkonflik, dan para Pampawa yang juga hadir di situ.
Konflik kemudian berlanjut ke wilayah atas, di mana para Pampawa tinggal. Salah satu Pampawa, Pak Beo, ternyata berkonspirasi dengan Pampawa lainnya (komandan robot) untuk merebut kekuasaan dari Pampawa 1.  Memanfaatkan kekalutan Pampawa 1 yang merasa gagal dalam menenteramkan situasi di Lili ri Tengnga, mereka kemudian berhasil merebut dan menduduki kursi kekuasaan. Namun, kolaborasi dua penghianat ini tidak berlangsung lama. Sama-sama haus kekuasaan dan sama-sama ingin berkuasa. Tanpa diduga komandan robot yang menginginkan kekuasaan tunggal berada penuh di tangannya, menikam Pak Beo dari belakang hingga tewas.  Komandan robot pun menjadi penguasa kursi kekuasaan di Lili ri Awa. Tapi, saat kekuasaan sudah berada di tangan komandan robot, semua meninggalkannya. Dia pun sendiri, tanpa arti apa-apa lagi.
Secara keseluruhan, penampilan KOSASTER (Kelompok Studi Seni Sastra dan Teater) dalam membawakan naskah berjudul Manusia-Manusia Perbatasan ini cukup baik. Latihan yang mengambil waktu kurang lebih tiga bulan, membuat dialog terjalin lancar sepanjang pertunjukan. Di antara semua karakter yang ada, sosok Pak Beo yang diperankan oleh Muhammad Iqbal Iskandar adalah yang paling banyak mencuri perhatian. Sifat oportunisnya jelas sekali. Dia berupaya memanfaatkan setiap keadaan untuk memenuhi kepentingannya. Ini tergambar jelas dengan kehadirannya nyaris di setiap adegan. Dia adalah bagian dari kekuasaan para Pampawa di Lili ri Ase, namun turut pula dalam aksi mahasiswa di Lili ri Tengnga yang menentang para Pampawa. Keterlibatannya dalam aksi protes para Tumaradeka adalah selain sebagai penyusup yang bermaksud memecah-belah para Tumaradeka, juga menjadi alat politiknya untuk menggoyang kekuasaan. Sifat oportunisnya itulah yang membuatnya tidak memiliki kejelasan dalam bersikap. Dalam perdebatan ia selalu memposisikan diri dalam kelompok atau suara dominan. Mengafirmasi setiap suara yang dianggapnya paling banyak, membuatnya cocok dinamakan Pak Beo.
Sosok Bunda yang diperankan oleh Asinta, juga cukup menyita perhatian. Bunda ini, memang cuma hadir dalam dua adegan, yaitu pada saat adegan bersama dua orang anaknya dan pada saat dia naik ke Lili ri Tengnga untuk meredam konflik yang tengah berada pada puncak-puncaknya. Tapi sepanjang pertunjukan ini dia juga seolah menjadi pemandu alur konflik. Pada setiap konflik para Tumaradeka, dia menggambarkan itu melalui aktivitas menenunnya. Jika konflik mulai terjadi, benang tenunan sang Bunda biasanya akan menjadi kusut. Semakin kuat konflik yang terjadi, maka semakin kusut pula benang sang Bunda.
Karakter komandan robot (Pampawa 4) dalam pertunjukan ini juga menarik. Sebagaimana robot, dia hanyalah alat kekuasaan yang menjalankan apa saja yang diperintahkan oleh atasannya. Dia juga adalah alat represif para Pampawa untuk menekan para penentang.  Sosoknya yang kaku dan tanpa kompromi menjadikan dia sempurna sebagai pengawal kemapanan. Tapi belakangan siapa sangka kalau ternyata dia juga menyimpan ambisi kekuasaan. Dia —yang berkomplot dengan Pak Beo— sukses menjungkalkan Pampawa 1. Kalau kolaborasinya dengan Pak Beo itu kemudian berakhir, itu mudah diduga. Keduanya jelas memiliki sifat yang saling bertolak belakang. Komandan robot adalah sosok yang kaku dan berpikiran simetris, sedangkan Pak Beo adalah sosok yang plin-plan dan tidak jelas ketetapannya. 
Menyaksikan pertunjukan teater ‘Manusia-Manusia Perbatasan’, kita seolah ditunjukkan model kehidupan kita hari ini. Sesuatu yang sangat dekat. Walaupun lakon ini ditulis tahun 1995 silam, beberapa peristiwa dan konflik yang ditampilkan masih sangat pas dengan konteks kekinian. Lihat saja saat digambarkan para Tumaradeka berbeda pendapat tentang cara menyampaikan pendapat. Bukankah itu juga yang terjadi hari ini? saat para mahasiswa tidak memiliki kesamaan visi dan misi dalam menyampaikan pendapatnya. Perpecahaan pun terjadi. Tidak ada lagi kesatuan dalam melakukan aksi. Akibatnya, saat ini berbagai gerakan mahasiswa pun kemudian seolah mati suri. Tiada lagi satu gerakan besar yang berpadu. Dalam perkembangannya hari ini, beberapa gerakan mahasiswa justru menjadi duri dalam daging rakyat yang diperjuangkannya. Aksi menutup jalan yang berbuntut kemacetan dan anarkisme di lingkup kampus membuat gerakan mahasiswa nyaris kehilangan legitimasinya.  
Begitu pula dengan adegan saat beberapa anggota Tumaradeka berhasil ditarik masuk ke dalam jejaring kekuasaan, yang membuat mereka kehilangan daya kritisnya terhadap penguasa. Hal tersebut pas kiranya kalau kita  melihat bahwa hari-hari ini. Begitu banyak aktifis mahasiswa yang begitu mudahnya menjadi alat atau perpanjangan tangan kekuasaan. Mereka tidak lagi bergerak atas nama hati nurani dan keinginan untuk memperjuangkan rakyat. Mereka lebih menjadi antek-antek penguasa untuk memapankan kekuasaan. Dengan iming-iming uang dan jabatan banyak diantara mereka yang kemudian melacurkan idealismenya. Secara makro, ini kemudian bukan saja ditujukan kepada mahasiswa, tetapi juga merupakan fenonema di tengah masyarakat
Pertunjukan itu sendiri berlangsung relatif lancar, namun beberapa kritikan dan saran juga tak urung mengalir dari beberapa tokoh, saat sebuah diskusi ringan yang dipandu Mardi Adi Armin (DKM) digelar usai pertunjukan ini. Asdar Muis misalnya, tokoh teater sekaligus wartawan senior mengkritisi para pemain yang dianggap kurang menjiwai perannya masing-masing. Menurutnya para pemain dalam pertunjukan itu lebih terlihat sebagai para penghapal dialog yang baik, bukan sebagai pemeran karakter yang baik. Namun dia juga mengakui tingkat kesulitan untuk membawakan karakter-karakter dalam cerita ini cukup tinggi. Menurutnya, naskah dan dialog dalam cerita ini memang cukup sulit jika dimainkan oleh para pemain teater pemula.
Pada kesempatan itu, Asdar Muis juga menyoroti peran KOSASTER yang menurutnya tidak lagi benar-benar menjadi sebuah lembaga studi sebagaimana dahulu. Untuk itu, ia meminta agar KOSASTER bisa memainkan peran lebih dari sekedar mengadakan pertunjukan teater, tetapi juga aktif menghidupkan diskusi-diskusi tentang karya sastra.
Sedangkan pembicara lainnya, Alwi Rahman, menyoroti penggunaan bahasa ajektif oleh sang Bunda. Jenis bahasa ini, menurut Alwi, sudah mulai terkikis dalam kehidupan kita sehari-hari. Saat ini, lanjut beliau, bahasa-bahasa yang digunakan—terutama mereka dari kalangan elit kekuasaan—adalah bahasa yang banyak mengandung tutur ganda atau bahasa  konteks tinggi.
Kedua pembicara tersebut juga memuji keberanian Fahmi Syarif yang menulis karya ini saat kekuasaan Orde Baru masih kuat berkuasa. Padahal pertunjukan drama ini penuh dengan satir dan sindiran terhadap mapannya kekuasaan.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar