Sabtu, 15 Januari 2011

MEMOTRET REALITAS KELOMPOK MARGINAL

Dari Pementasan ‘Manusia-Manusia Perbatasan’ (MMP):

Oleh Mukhlis Amans Hady

Lampu seketika padam. Sang sutradara/penulis, Fahmi Syariff, tampil bersuara, “Inilah Manusia-Manusia Perbatasan, sebuah karya sederhana yang terlahir dari diskusi kecil. Semoga hadirin dapat menikmatinya.” Lalu bergulirlah cerita yang dipentaskan oleh Kelompok Studi Sastra dan Teater (KOSASTER) Fakultas Sastra Unhas, melibatkan sekitar 30 pemain, berlangsung (2/11) di aula Kanwil Depdikbud Sulawesi Selatan.

Panggung terkuak habis menjadi hamparan di mana peran-peran sedang berlangsung. Dan sesuatu yang indah tidak selalu kasat mata. Ketika bunyi orang menenun dijelmakan dalam bunyi-bunyi ‘onomatopeia’ tet… te…tet…te’… Menyenangkan, menghanyutkan, mengharukan. Seperangkat alat tenun hadir dalam interpretasi yang khusyuk. Lewat tingkah perlambangan seorang ibu… ibu pertiwi dalam lakon Manusia-manusia Perbatasan, berlakon pada setting di depan panggung, level paling bawah. Sementara di atas panggung, level tengah, sekelompok pemain dan paling banyak jumlahnya sedang berdebat tanpa suara. Di lain pihak, level paling tinggi, panggung modifikasi di pojok kiri atas panggung, empat orang berpakaian parlente pun sibuk dengan lakonnya masing-masing.

Ibu yang merangkai benang, memainkan walida, menelusuri helai demi helai, ibarat maujud dalam ibu pertiwi pada konteks budaya Bugis-Makassar. Di sinilah metafora di mana lakon dimulai. Seketika sepasang anak pertiwi merangkak, menari, menelusuri benang ibunya yang panjang terurai. Yang wanita tidak mesti lagi di rumah, di dapur menunggu nasib. Mesti terus berpacu melanjutkan pesan-pesan ibu pertiwi lewat dimensi mimetik: tet… te… tet… te’. Dua anak pertiwi terus menelusuri kehidupan, mencerap warna-warna kehidupan yang semakin rumit. Tentang orang-orang merdeka mencari  kebebasan, nilai-nilai kebenaran. Terus berjuang, sambil meneriakkan kualleanna tallanga na toalia.

Tingkat interaksi Manusia-Manusia Perbatasan dipresentasi lewat parodi anak negeri, ganrang bulo. Semua peran individu ditampilkan secara cepat dengan efek cahaya yang memikat. Lewat sentakan-sentakan kaki, dentuman gendang, goyangan pinggul, menyimpulkan pola-pola peran  merebak dalam interaksi sosial. Ada peran banci yang sangat sarkastis terhadap peran sosial yang dikebiri oleh kekuasaan.

Efek instruktif MMP disimbolkan dengan jaring laba-laba sebagai garis demarkasi antara pihak-pihak pengendali kekuasaan dan kelompok orang-orang yang dikuasai. Semuanya dianggap berjalan normal dan biasa-biasa saja. Di sini kebebasan berserikat dan berkumpul  di antara manusia-manusia yang disapa ‘orang-orang merdeka’. Pihak penguasa menganggapnya suatu dinamika yang lancar. Bahkan boleh menggugat kekuasaan  menjadi antagonis yang piawai terhadap sistem kekuasaan itu sendiri. Toh penguasa-penguasa tersebut melihatnya wajar, tidak ada peran protagonis tanpa antagonis. Ketika penguasa melihat peran antagonis semakin laten dan hampir berbahaya, mereka ditaktis dengan strategi kekuasaan, diulur seperti layangan, sekali waktu ditarik dan pantas mereka dibancikan dengan fasilitas-fasilitas kekuasaan.

Sekali lagi, MMP adalah grand naratif yang merefleksikan diskusi-diskusi anak-anak kampus. Sebuah wacana sosial tentang kecerdasan nilai-nilai lokal yang menjadi medium penyampaian pesan, yang -sekali lagi- tidak sarat dengan informasi-informasi pembangunan.
Demikian pula dengan dimensi waktu. MMP bukan sebuah sequeunsi linear, tetapi sebuah close up yang utuh, berkelok membentuk areal zaman yang dinilai aktual. Hidup adalah perjuangan yang tak pernah finish, ibu pertiwi adalah titipan yang luhur atas nilai-nilai kebenaran.

Sebenarnya membincang MMP yang digarap Fahmi Syariff, memerlukan banyak penafsiran. Interpretasi dari segi semiotik saja telah menimbulkan berbagai perdebatan. Seperti ketika kelompok Mahasiswa Pencinta Ilmu-ilmu Sastra (MPIS) menyelenggarakan diskusi terhadap pementasan Manusia-Manusia Perbatasan, dilangsungkan (11/11) di Gedung Pertemuan Alumni Kampus Unhas Tamalanrea.

Taufik AAS P. pemakalah tunggal yang mendapat banyak sorotan dan tanggapan, baik dari kalangan mahasiswa maupun dari kalangan dosen. Tanfik sendiri pada kesempatan itu menjelaskan bahwa adalah hal yang menantang dalam MMP, tempat di mana simbol-simbol kekuasaan ditaransfarasi dengan tempat paling bawah, di mana Bunda Tua menjalankan aktivitas kebundaan, kepertiwian. Keduanya selalu disorot dengan tingkat cahaya yang sama (sepanjang) lakon, memperoleh pencahayaan yang seimbang. Bunda Tua diterangi cahaya violet pucat, menyiratkan kesucian yang gelisah, sementara yang di atas, tempat peran-peran penguasa, selalu diterangi dengan cahaya merah serupa mentari sore. Sebuah indikasi bahwa kekuasaan itu sudah lama bercokol di sana, sore hari terus bersinar, bersinar terus.

Manusia-Manusia Perbatasan adalah pikiran kita yang terparkir para realitas kelompok marginal, suatu relitas kehidupan yang paling aktual dewasa ini, sering menjadi tema-tema perbincangan di emper-emper kampus, masuk diskusi-diskusi formal, bahkan paling banyak mengganggu struktur kesadaran  kita sebagai makhluk yang ingin bebas berfikir.

Akhirnya lakon MMP menjelma menjadi interupsi dan bahan berita kepada kawan, kepada lawan, kepada kita semua, kepada diri sendiri, tentang sebuah sketsa kehidupan dewasa ini. Suatu sketsa terhadap pemberdayaan kesadaran kita saat ini.

Sebagai catatan, bahwa Dekan Fakultas Sastra Unhas, Prof. Dr. Nadjamuddin, M.Sc.  seusai menyaksikan pementasan ini mengatakan, apa yang digelar ini sungguh-sungguh sangat memuaskan dan menurutnya, bahwa memang teater  wajar kalau memerlukan banyak dana. Nadjamuddin pun heran ketika disampaikan kepadanya bahwa dana yang digunakan sangat minim. Selanjutnya, ada tawaran menarik dari Rektor Unhas, Prof. Dr. H. Basri Hasanuddin, M.A., mengharapkan kepada KOSASTER agar Manusia-Manusia Perbatasan dipentaskan ulang di kampus. Dalam hal ini, menurut Basri Hasanuddin, pihak universitas akan menanggung fasilitasnya.*.

____________________________
SK Identitas Unhas, 15 Nov. 1994







Tidak ada komentar:

Posting Komentar