Sabtu, 15 Januari 2011

PARA KARAENG

Bagian III Trilogi Drama
TEROPONG DAN MERIAM

Naskah: Fahmi Syariff.
Sutradara: Jacob Marala.
Produser: Arsal Alhabsi.
Produksi: Teater Makassar DKM, Sulawesi Selatan.
Pementasan I: 17 dan 18 Agustus 1988
Teater Arena, Taman Ismail Marzuki, Jakarta
____________________________________________________
Drama ini mengungkapkan pertemuan antara Sultan Hasanuddin,
Karaeng Karunrung, dan Arung Palakka
dengan  landasan pemikiran masing-masing
____________________________________________________ 


Tokoh:
I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin (Raja Gowa)
Karaeng Karunrung (Perdana Menteri Kerajaan Gowa)
La Tenritatta' Toappatunru' Daeng Serang Arung Palakka
We Tenrisui' (ibunda Arung Palakka)
I Mangkawani (istri Arung Palakka)
Daeng Materru (kontraktor proyek peternakan buaya)
Daeng Marompa (banci jantan)
Kasu'mang
La Bosara'
Tubarani 1-8
Seseorang 1-8

Sinopsis

Drama Para Karaeng bukan refleksi sejarah, melainkan lebih merupakan pengembangan imajinatif dari salah satu episode dalam sejarah Kerajaan Kembar Gowa-Tallo. Episode dimaksud adalah saat-saat sebelum jatuhnya Benteng Somba Opu, atau setelah jatuhnya Benteng Panakkukang.

Dalam drama Para Karaeng ini dipertemukan  tiga tokoh: I Mallombasi Daeng Mattawang, Karaeng Karunrung, dan La Tatta Toappatunru Daeng Serang atau lebih dikenal dengan Arung Palakka. Kepada ketiga tokoh ini diwariskan sebuah teropong oleh Karaeng Pattingalloang, gurunya. Akan tetapi suatu saat kedudukan teropong itu diganti dengan meriam atas prakarsa Karaeng Karunrung. Alasannya, saat itu bukan lagi saat meneropong sambil menggeser badik ke belakang, melainkan saat menghunus badik dan menggantikan teropong dengan meriam.

Tindakan itu sebenarnya tidak disetujui oleh I Mallombasi, tetapi Karaeng Karunrung mengingatkan bahwa situasi dalam keadaan darurat perang. Semua kekuatan harus dikerahkan, cepat dan tepat, dan harus diwujudkan dalam bentuk penyerangan, bukan sekadar menandatangani perjanjian-perjanjian yang pada akhirnya menguntungkan Belanda, si penjajah. Selain itu, Karaeng Karunrung akan memperkuat pertahanan dengan membuat kanal di sekeliling Benteng Panakkukang dengan menggunakan tenaga manusia.

Rencana penggalian itu terbaca oleh Daeng Materru’, seorang kontraktor yang sangat cerdik. Dia segera membuat proposal untuk menjadikan galian yang akan jadi kanal itu nanti sebagai lahan komoditas khusus peternakan buaya. Akan tetapi rencana itu ditantang oleh Karaeng Tunipattolo Daeng Marompa, seorang banci jantan yang didukung oleh para Tubarani atas dasar bahwa saat itu kerajaan dalam situasi kritis.

Di sisi lain, Arung Palakka menanggapi rencana pembuatan kanal itu sebagai penghinaan terhadap harkat kemanusiaa. Namun, dia tidak mampu berbuat banyak karena dia menyadari bahwa sebab-sebab kehadirannya di Gowa, adalah sebagai anak dari lingkungan Kerajaan Bone yang kalah sejak pemerintahan Sultan Malikussaid, ayahanda I Mallombasi.

Hal-hal tersebut di atas menciptakan konflik dalam diri Arung Palakka, dan memuncak ketika para penggali yang berjumlah 10.000 orang itu bekerja. Berbagai suara  saling bertentangan muncul terus dalam dirinya. Pada akhirnya, karena sudah terlanjur “meng-ada” dalam gelanggang, dia bangkit menantang. Dan, karena radius tindakan mendahului radius pandangan, karena meriam tidak diselaraskan dengan teropong, langit pun runtuh. Prinsip: “bukan Bugis tanpa kemakassaran, bukan Makassar tanpa kebugisan” menjelma, tapi sesaat sebelum I Mallombasi mengundurkan diri ke Kalegowa, atau setelah Benteng Somba Opu rata dengan bumi.

______________________________________________
Drama Para Karaeng telah diterbitkan bersama drama
Karaeng Pattingalloang dan Arung Palakka  di bawah
judul Trilogi Teropong dan Meriam oleh Hasanuddin
University Press atas bantuan Prof. Dr. Ir. Radi A. Gany.
                  



1 komentar: