Kamis, 14 April 2011

SINETRON IS: OBSESI DALAM BAHASA GAMBAR YANG NARATIF

Sinetron Is:
Obsesi dalam Bahasa Gambar yang Naratif
Oleh Fahmi Syariff


Setidaknya ada empat ide yang disodorkan oleh R. Wiedjayanto (Pengarah Acara) dan Satmowi Atmowiloto (Penulis Skenario) kepada kita lewat Is. Keempat ide tersebut adalah status orang tua terhadap putera tersayang (Rina Hasyim), posisi wanita karier menghadapi pemuda frustrasi (Firdha Razak), kedirian anak wanita gelandangan menghadapi “malaikat” dan “iblis” (Oci Rizalo), dan kebinatangan seoramg aparat negara (Hari Patakaki). Keempatnya diramu dan diutuhkan menjadi satu ide dasar berbentuk obsesi yang menyerang seorang pemuda, Atok (Sandi Nayoan), tanpa ampun.
Sinopsis
Is berkisah tentang pencarian seorang manusia atas diri dan makna kehidupan ini. Pencarian dimaksud bertolak dari kedirian orang tua sebagai orang tua demi masa depan si putera tersayang. Tetapi sikapdan tindakan orang tua itu bagi si anak , justru merupakan belenggu dalam proses untuk menemukan diri. Karena itu dia memprotes dalam bentuk diam, dari kegiatan kuliah sampai menhadapi orang tua.

Protes tersebut meningkat ke dalam bentuk tindakan, setelah si anak bertemu dengan seorang anak wanita gelandangan. “Kal;au semua tzk perlu dicari jawabannya”, adalah kalimat yang mengantar dan sekaligus mempertebal obsesinya dalam pencarian. Kalimat tersebut milik Is; dan Atok berputar terus dengan kalimat itu, yang kemudian akan ditularkannya pada Ati, kenalan baru yang lantas dijadikannya pelampiasan obsesi.

Ati memang ikut, tetapi di luar lingkungan, menemani Atok yang justru mencari jawaban tentang diri, sekaligus mencari jejak Is yang tiba-tiba menghilang. Is, sebaliknya tidak mencari jawaban, tetapi dia dalam proses melakukan jawaban.

Akhirnya memang demikian. Is mewujudkan ucapan nalurinya, tidak mencari jawaban. Dia melakukan jawaban: membunuh Darkum yang memperkosanya. Atok kehilangan jejak dalam gelap disantap senyap, disaksikan oleh Ati, dari luar garis lingkaran.

Narasi di Balik Gambar
Dibanding dengan nomor-nomor sinetron tahun silam, Is sebagai salah satu Sinetron Akhir Tahun 1991 memiliki garis-garis tegas ysng cukup menonjol. Sinetron, telah disepakati, adalah karya seni yang diungkapkan melalui bahasa ujaran dan bahasa gambar di layar kaca. Kedua media tersebut dalam kenyataan-kenyataannya sebelumnya diupayakan seselaras mungkin.

Akan tetapi Is menawarkan yang lain.. Muhngkin saja porsi bahasa ujaran sama dengan porsi bahasa gambar dalam perhitungan kuantitas; namun dalam perhitungan kualitas, bahasa ujaran yang sangat naratif, tidak dialogis, sangat dominan. Dalam konteks ini, keselarasan sebagai salah satu kualitas pokok untuk menangkap pengertian keindahan, ditendang habis-habisan;  kenmudian diganti dengan kualitas pokok lainnya, yakni kontradiksi. Is menawarkan kontradiklsi antara bahasa ujaran dan bahasa gambar dalam menyuguhkan keindahannya.

Gejala-gejala narasi di balik gambar dimunculkan sejak awal lewat Atok dan Mama, meskipun dalam batas monolog. Hal tersebut dimungkin oleh eksistensi tokoh Atok yang sedang dalam proses mencari diri dan makna kehidupannya. Ini adalah kenyataan fiktif, sinetron, yang mungkin saja merupakan refleksi dari kenyataan faktual.

Jawaban-jawaban atau tepatnya reaksi-reaksi Atok terhadap berondongan nasihat Mama atas nama masa depan tidak berbentuk bahasa ujaran, tetapi hanya sekadar bunyi “hm” atau anggukan jika mengiyakan, dan gelengan sebaagai pertanda menolak. Bahkan tidak jarang hanya dengan dengusan kalau sementara in obsession. Episode awal tersebut tamoaknya disengaja dengan gaya demikian sebagai persiapan memasuki perkembangan cerita. Adegan-adegan kurang memperlihatkan hubungan dialog antartokoh, tetapi suasana dialogis tetap tercipta.

Pencapaian suasana dialogis dengan mengurangi hubungan dialog antartokoh, tampaknya berangkat dari sebuah konsep dasar yang matang. Ia bukan lagi eksperimen sebagai proses pencarian cara pengucapan gagasan, melainkan telah menjadi bahasa tersendiri. Ia tidak monoton. Ia berkembang terus seirama perkembangan cerita.

Perkembangan sebagaimana yang dimaksudkan di atas, berpangkal pada kiriman kembang kepada Ati berulang kali yang pada awalnya tidak dijelaskan pengirimnya. Pada episode-episode perkembangan cerita inilah monolog yang naratif di balik gambar dimanfaatkan semaksimal mungkin. Tak ada dialog antartokoh. Gambar-gambar yang tampil silih berganti, dan ini, tidak sinkron sama sekali dengan yang terdengar. Dengan kata lain terjadi kontradiksi antara yang visual dengan yang auditif. Hal, tersebut, barangkali realisasi atau penerapan teori estetika yang dikemukakan oleh The Liang Gie (Garis-garis Besar Estetika, hal. 35) tentang ciri-ciri umum tentang sesuatu yang dianggap indah. Konsepa kontradiksai dalam penyuguhan keindahan dalam IS, juga dsipertegtas dalam kiriman kembang ke3pada Atok yang dilakukabn oleh Is  (Atok yang tertutup pada Ati, sedangkan Is terbuka pada Atok).

Tokoh-tokoh pun saling bergantian mengisi layar; kegelisahan Atok, kesibukan Atok, kepolosan Is. Dan dari balik gambar-gambar dengan suntingan yang pas itu, menyeruak monolog Atok yang naratif dalam satu nada: obsesi.
Makna lewat Metafora
Dua buah sinetron dengan topik penggarapan yang sama tetap akan berebedea antara satu deengan lainnya. Perbedaan itu disebabkan oleh cara pengungkapannya. Is, misalnya, dengan keempat subtema sewbagaimana disebut pada awal pembicaraan ini, bukanlah topik penggarapan baru dalam sinetron. Tetapi tentu saja IS tidak sama dengan sinetron-sinetron sebelumnya.


Kalau kita merujuk pada Alan Casty (The Dramatic Art of the Film, hal 14) yang membagi gaya pengungkapan film ke dalam tiga jenis: epik, realistik, dan ekspresif; tanmpak bahwa IS diungkapkan atas dasarperepadeuan antara gaya epik dan gaya realistik. Ciri epik dapat ditangkap melalui penekanan peristiwa yang naratif dan gambaran penokohan yang lebih sederhana dibandingkan dalam kehidupan nyata. Ciri realistik bisa diamati pada cara perubahan karakterisatik realitas konkret menjadi realitas imajinatif secara literal dan akurat. Dengan cara seperti itu, ilusi yang utuh tentang realitas konkret tetap dipertahankan. Dengan kata lain, penonton yang sedang berada dalam kebenaran fiktif (menyaksikan IS) “dipaksa” berada dalam kebenaran faktual yang sesungguhynya imajinatif.

Perpaduan antara kedua gaya tersebut di atas, memanfaatkan simbol-simbol sebagai salah satu peralatan artistik. Penggunaan simbol di sini tidak hanya terbatas pada, antara lain, latar tempat (: pertemuan antara Atok dengan dengan Ati) dan latar waktu (:pencarian jejak Is dan terbunuhnya Darkum), tetapi sampai pada nama tokoh (: Darkum dan Is).

Mengapa lokasi pertemuan antara Atok dengan Is di jembatan, dan Atok dengan Ati elevator? Mengapa bukan di tempat lain? Jembatan merupakan alat komunikasi yang tegar, tak mudah goyah. Simbol ini diimplikasikan oleh hubungan Atok dengan Is yang terpatahkan oleh apapun. Pada akhir cerita, secara fisik keduanya memang tidak bersama, tetapi secara nonfisik tetap, lewat boneka yang sudah cacat (terbakar) milik Is. Dan elevator, tempat melangkah yang tak pernah habis sepanjang orang orang masih mau melangkah. Itulah yang dilakukan oleh Atok, melangklah dalam obsesinya.

Di segi latar waktu, pencarian jejak Is dan terbunuhnya Darkum adalah malam. Saat seperti itu mengimplilkasikan sesuatu yang gelap, duka cita, sepi. Amatilah akhir sinetron IS ini. Atok dalam duka, sendiri, mengecup boneka yang sudah cacat. Dan, Darkum,  satu nama yang sangat metaforis ditinjau dari konteks bahasa dalam kehidupan sosial politik di Indonesia. Mengapa Darkum, dan mengapa Is?

Dari sisi kehidupan sosial politik di Indonesia, Darkum adalah akronim dari Sadar Hukum yanh digaungkan oleh pemerintah. Tiap warga negara RI harus sadar terhadap hukum-hukum yang diberlakukan di Indonesia demi tercapainya keadilan dan kemakmuran. Dalam sinetron IS, warga negara yang diwakili oleh aparat bukan hanya sudah sadar hukum (“darkum”), melainkan telah menjadi Darkum. Dan, kesadaran hukum telah memperkosa sesuatu yang polos, murni. Dan kebejatan itu dilindungi oleh pihak yang justru harus menghakiminya, agar mereka tidak cacat di mata masyarakat. Dan akrena hukum telah menodai hukum, maka hukum itu pun harus ditiadakan. Ya, hukum ditiadakan oleh Is. Dan Is (“is”) adalah yang polos, murni.

Tulisan ini terpilih sebagai Juara II
Lomba Penulisan Kritik Sepekan Sinetron TVRI, 1991  
Diselenggarakan oleh Forum Kajian Sinetron, Yogyakarta.






Sabtu, 05 Februari 2011

DATU MUSENG & MAIPA DEAPATI


Catatan-catatan Proses Penulisan
DATU MUSENG & MAIPA DEAPATI

        
      Introduksi           
Kalau di Inggris dikenal Romeo + Juliet melalui dramawan W. Shakespeare, Laila Majnun di India melalui film, maka di Sulawesi Selatan dikenal Datu Museng dan Maipa Deapati. Ketiga legenda tersebut berinti tema cinta, dengan akhir hidup yang saling berbeda.  Romeo dan Juliet mengakhiri hidup dengan minum racun, Laila dan Majnun di tengah teriknya padang pasir, dan Datu Museng menghentikan napas  Maipa Deapati, istrinya, dengan badiknya sendiri.

***

Kampung Ponre, 3 km sebelum masuk kota Bulukumba dari Makassar. Kami yang berdiam di kampung itu sesudah santap malam pada setiap malam Rabu, berjejer di pinggir jalan raya menunggu resitasi sastra tutur diiringi gesekan rebab melalui radio. Perpaduan antara seni sastra lisan dan seni musik tersebut dikenal dengan sinrili’ yang dimainkan oleh Bapa’ Mudi’. Radio ketika itu adalah media teknologi komunikasi tercanggih. Karena canggihnya berarti mahal, dan karena mahalnya berarti tidak banyak penduduk yang memilikinya. Ini tahun 1957.

Radio yang jumlahnya tidak cukup sepulun buah ketika itu, setrumnya bersumber dari sebuah generator raksasa, ditaruh di bawah saoraja (istana) kediaman Bapak Kepala Distrik. Generator ini dipersiapkan untuk mesin produksi tapioka. Sampai generator itu tidak bisa lagi mengeluarkan setrum, program produksi tapioka tidak pernah terwujud. Entah apa penyebabnya, tapi yang pasti keamanan sangat labil ketika itu.   

Sambil menikmati sinrili’ lewat radio, terdengar monolog atau dialog antarpendengar menanggapinya. Meskipun Bapa’ Mudi’ menggunakan bahasa Makassar, kami tetap bisa menikmatinya. Hal itu disebabkan masyarakat Ponre termasuk bilingual, bahasa Makassar dan bahasa Bugis. Kedua bahasa ini masih serumpun, yaitu rumpun bahasa Austronesia. Doktor linguistik, Nurhayati, dari Fakultas Sastra (kini Fak. Ilmu Budaya) Universitas Hasanuddin, menegaskan, persamaan kosa kata bahasa Bugis dan bahasa Makassar lebih dari 60%.

Melalui sinrili’ itulah pertama kali saya ”bertemu” dengan Datu Museng. Pertemuan kedua pada awal 1960-an lewat novel karya Verdy R. Baso, yang dipinjamkan oleh seorang tetangga, pemain sepak bola bernama Racide’ (Abd. Rasyid, alm.). Pertemuan ketiga pada awal Mei 1975 di Makassar, saat Abdulkadir Sila, pimpinan Studi Teater Tambora datang di belakang layar bioskop DKM (Dewan Kesenian Makassar), tempat tinggal saya.

”Kita pentas. Fahmi tulis naskahnya. Ini...,” katanya sambil menyodorkan novel Datu Museng, persis yang telah saya baca semasih di Bulukumba. ”Fahmi sutradara, saya produser. Produksi Tambora,” katanya lagi.
”Akan saya coba. Mudah-mudahan saya bisa,” kata saya.

Sambil menulis naskah, pada kesempatan-kesempatan tertentu saya cari informasi tambahan tentang kisah cinta Datu Museng dan Maipa Deapati. Bapak Mappaseleng Daeng Maggaoe, B.A. yang tentu telah hapal legenda percintaaan antarkeduanya, berulang kali saya temui, karena beliaulah yang menggantikan Bapa’ Mudi’ sebagai pasinrili’ di RRI. Ketika itu Pak Mappaseleng pegawai Kantor Departemen Penerangan RI Provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu, saya menghubungi Bapak Kepala Kantor Pos Besar Sulawesi Selatan  yang orang Sumbawa, cari data terutama yang berkaitan dengan aspek sosial Sumbawa, yang ternyata tidak jauh beda dengan Bugis Makassar. Perbedaannya yang paling jelas pada bahasa. Begitu antusiasnya Bapak tersebut (maaf, namanya saya lupa) beliau berulang kali menyaksikan latihan di Gedung DKM Jl. Irian. Kepada beliau dan keluarganya terima kasih tak terhingga saya sampaikan.

Entah untuk apa, tetapi suatu hari Ahad, saya dengan beberapa teman ziarah ke makam Datu Museng dan Maipa Deapati. Di makam itu, di satu makam, dua nisan kayu berdiri bersanding kukuh, mengkilap kehitaman, terletak di ujung barat Jl. Datu Museng, seberang-utara RS Stella Maris.

Menyusun kisah Datu Museng untuk dipertunjukkan, ternyata sebuah kerja berat. ”Berat” kata saya, karena, pertama, saya sudah menempatkan diri sebagai sutradara, dalam pengertian, yang ada di imaji harus ditulis dan harus mampu di-audiovisual-kan. Kedua, kisah Datu Museng dengan kekasihnya Maipa Deapati telah memasyarakat. Karena belum pernah membaca teori penulisan drama, maka ”teori” yang mendasari penulisan justru naskah-naskah drama di mana saya pernah ikut main.

Sebagai sastra drama, kisah Datu Museng dan Maipa Deapati saya selesaikan tanggal 5 Juni 1975, terbagi atas 4 babak dengan struktur: Babak I di rumah kakek Datu Museng, Babak II di istana Maggauka Datu Taliwang (keduanya di Sumbawa). Babak III di kantor Belanda Tumalompowa, dan Babak IV di rumah Datu Museng (keduanya di Makassar).

Judulnya? Belum ada, tapi ”kasih sayang antarkekasih mengatasi segala-galanya,” hal utama dan pertama tak boleh lepas. Saya teringat drama Romeo-Juliet (1595) yang diselesaikan dengan racun oleh penulisnya, William Shakespeare, film India Laila Majenun diakhiri sutradaranya di bawah terik matahari di atas padang pasir. Lalu, Maipa Deapati, menyerahkan lehernya kepada Datu Museng, suaminya, dengan keris matatarampanna. Ketiga tragedi cinta tersebut berpangkal pada konflik sendiri-sendiri dan dengan penyelesaian sendiri-sendiri. Jadi judulnya Kisah Cinta Bersimbah Darah?, atau Bunuhlah Aku Kalau Engkau Mengasihiku?,  atau Kita Jemput Maut Atas Nama Kasih?, atau...?

Datu Museng & Maipa Deapati, itulah judulnya. Hanya itu. Jatuhnya pilihan pada nama tokoh protagonisnya, Datu Museng dan Maipa Deapati, bukan epigon pada Romeo-Juliet atau Laila Majenun, melainkan karena perhitungan bahwa kisah ini telah memasyarakat di semua strata sejak dulu. Logikanya, karena telah memasyarakat, berarti akan banyak penonton. Karena banyak penonton, berarti banyak karcis yang terjual. Karena banyak karcis terjual, ya, modal produksi setidak-tidaknya bisa kembali.

Teknik pengungkapan Datu Museng & Maipa Deapati sebagai sastra drama berdasarkan formulasi Aristoteles, the three unities, H3K (Hukum 3 Kesatuan): kesatuan waktu, kesatuan tempat, kesatuan lakuan. Tetapi istilah itu saya ketahui lebih sepuluh tahun kemudian, atau sesudah naskah ditulis dan dipentaskan berulang kali. Dan karena Aristoteles menegaskan bahwa pendapatnya bukan harga mati, sekadar formulasi, maka dalam format ini sinrili’ saya jadikan salah satu akses pengembangan H3K. Sinrili’ di sini menjadi narasi pembuka, antarbabak, dan penutup.

Tanpa buang-buang waktu, produksi segera diawali atas nama Studi Teater Tambora melalui latihan di Gedung DKM yang open air di Jl. Irian atas izin Ketua DKM, Rahman Arge tanpa bayaran sepeser pun. Sejumlah 27 pemain (belum ditentukan peranannya) berlatih lima kali semingu dari pukul 15.00-18.00 pada latihan bulan pertama. Bulan kedua ditingkatkan, setiap hari kecuali hari Ahad. Bulan ketiga, tepatnya 3 dan 4 Agustus 1975, drama Datu Museng & Maipa Deapati dipentaskan di gedung bioskop Madya (dulu Empress Theatre, lalu Mitra). Berikutnya 9 Agustus 1975 dipentaskan khusus untuk para siswa SMA se-Makassar di panggung terbuka Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam).

Sebelum pementasan untuk murid SMA tersebut, tanggal 7 Agustus 1975 diadakan general rehearsal yang disaksikan oleh Wahyu Sihombing dan Pramana Padmadarmaya, dua tokoh teater dari Dewan Kesenian Jakarta yang kebetulan ada di Makassar, bertamu ke DKM. Siapa yang menyampaikannya bahwa ada latihan teater, entahlah, tapi yang pasti seusai latihan diadakan bincang-bincang. Dari pertemuan itu ada kesan yang tak pernah saya lupakan sampai sekarang. Begini:
”Adik-adik ini latihan berapa lama,?” tanya Pak Pram (panggilan akrab Pramana Padmadarmaya) dengan irama kebapakan.
”Dengan pementasan yang lalu, sekitar dua bulan,” jawab saya sebagai sutradara.
”Main berapa malam?” Pertanyaan ini dari pak Hombing (Wahyu Sihombing).
”Satu malam,” jawab saya.
”Satu malam?!, tanyanya lagi dengan tekanan Bataknya.
”Eh, bukan. Kami sudah main dua malam. Bulan lalu.”
”Dengan yang ini,?” Pak Hombing menjelaskan maksudnya.
”Oh, dengan yang ini, tiga malam.”
”Bah! Latihan dua bulan, main tiga malam. Rugilah kamu itu!”

Sekitar sebulan lebih kemudian (4, 5, dan 6 September 1975), Datu Museng & Maipa Deapati diproduksi oleh Poseidon Arts Group dengan produser Salam Noor Ahmad, B.A. Grup teater ini kerja sama dengan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Sulawesi Selatan. Pementasannya berlangsung di Gedung Kesenian DKM Jl. Irian 69, dan, lagi-lagi tanpa bayaran gedung dan setrum lampu.

Beberapa menit sebelum pementasan malam pertama, saya sebagai penulis sekaligus sebagai sutradara, menerima penghargaan dari Sekretaris Jenderal PWI Pusat, Sunardi DM, didampingi Rahman Arge yang Ketua PWI Sulawesi Selatan. Penghargaan yang sama, juga diberikan pada Salam Noor Ahmad, B.A. sebagai produser dan Verdy R. Baso, wartawan Hr. Pedoman Rakyat yang novelnya dijadikan salah satu sumber penulisan.

Memakai nama tokoh yang akrab dengan masyarakat sebagai judul untuk pementasan pada tahun 1970-an, merupakan publikasi, iklan utama. Hal ini terbukti dalam pementasan tersebut di atas. Saat diproduksi oleh Poseidon Arts Group di Gedung Kesenian DKM selama 3 malam berturut-turut, tiket yang Rp 150 di loket dicatut sampai Rp 500. Bahkan ada pemain yang sembunyi-sembunyi ikut mencatut. Penontonnya? Pada malam terakhir dua bus Koammas datang dari Maros khusus untuk nonton. Dari pementasan Datu Museng & Maipa Deapati tahun 1975, para pemain menerima honorarium Rp 3.500 perorang selama tiga malam pementasan.

Dari pengalaman menulis itu, beberapa pelajaran yang sangat berarti saya peroleh. Bahwa, struktur sebuah kisah yang historis atau legendaris, tidak harus menjadi struktur dalam wujud audio visual. Hal ini saya terapkan terutama dalam hal alur demi menghindarkan adegan yang sarat informasi tanpa konflik. Ini berarti tidak semua peristiwa dalam sejarah atau legenda harus terekspresi dalam adegan. Tetapi sebaliknya, jika memang prinsipal, ada saja satu dua patah kata dari data historis atau legendarisnya justru terekspresi dalam beberapa halaman.

Bertolak dari hal-hal tersebut di atas, naskah tahun 1975 sebagi naskah awal yang menjadi dasar pementasan, saya ubah dan tegaskan sebagai berikut:
◘    Sinrili’ yang saya kutip dari Makassarsche Christomathie oleh Matthes (1939), membuka, mengantarai babak, menutup peristiwa, dan adegan prosesi saat Maipa Deapati turun ke taman permandian, belum ada pada awal penulisan.
◘    Babak I menjadi Babak II, dan sebaliknya Babak II menjadi Babak I. Perubahan ini saya dasarkan atas kronologi peristiwa melalui alur.
◘    Tokoh Pangeran Manngalasa dalam naskah sebelumnya hanya tampil satu kali untuk merebut Maipa Deapati. Atas dasar perhitungan tokoh antagonis, tokoh ini kembali tampil pada babak berikutnya, bukan untuk merebut Maipa Deapati, melainkan untuk mengembalikan harga diri sebagai laki-laki yang siap mati bertarung tanpa pengawal, yaitu pertarungan dalam satu sarung melawan Datu Museng.
◘    Pada naskah awal, tidak ada tokoh Datu Jarewe’. Dalam pengembangan, tokoh ini dihadirkan berdasarkan alasan bahwa dialah yang justru penyebab ditugaskannya Datu Museng melawan Tumalompowa.
◘    Nebentext-nya dilakukan seminim mungkin dengan tujuan memberi kebebasan pada sutradara dan pemeran mengembangkan imajinasi kreatifnya. Misalnya, jika ada perubahan suasana adegan atau emosi tokoh, yang tercantum hanya kata ”jeda”. Bagaimana gerak dan wajah pemeran serta irama vokalnya, sepenuhnya diserahkan pada pemeran dan sutradara.

Pementasan demi pementasan berlangsung di berbagai kota, desa, dan panggung. Selain Studi Teater Tambora yang pertama kali memproduksinya, juga Poseidon Arts Group Makassar dari 1975-1977, Pola Artistik menjadikannya materi teater-keliling di desanya dalam Kecamatan Gangking Kabupaten Bulukumba (1977-1978). Tanggal 4 dan 5 Juli 1987 Datu Museng & Maipa Deapati kembali dipentaskan oleh Studi Teater Tambora di Auditorium RRI, Makassar, dengan sutradara Udhin Palisuri, seorang poetry reader Indonesia.

Para teaterawan yang berperan dalam pementasan tersebut di atas (yang masih teringat): Abdulkadir Sila, M. Amir Sinrang, Makhfud Ramly, Ina Librawaty, Wiwiek Sumaryo, Marhani S, Hasan Kuba, Sandy Karim (alm.), Udhin Palaguna (alm.), Hasan Mintaraga (alm.), A. Tajuddin Manda (alm), M. Nurdin Padde, Jufri Fattah, Azikin Soulthan, Amir Arfah, Dahlan, Yusri Syarifuddin, M. Saleh Baso, Jufri Suaib, Jufri Fattah, Yusuf HM Noor, Nirawaty, Nimra, M. Alwy Gazali, Nasaruddin, Arifin, Abd. Kahar, Agus Adil, Syafri Em Saleh, Firman B, M. Akil, Ilham (alm.), A. La Pariusi (alm.). Mereka dari: Study Teater Tambora, Poseidon Arts Group, dan Pola Artistik, Gantarang, Bulukumba.  Terima kasih tak terhingga saya sampaikan, karena tanpa mereka pementasan tak mungkin terwujud.

***


Selasa, 25 Januari 2011

ZAMAN KUSUT, ZAMAN PENUH KHIANAT


Pementasan Manusia-manusia Perbatasan karya Fahmi Syariff
Oleh Junaedi

Sastrawan dan salah seorang pentolan DKM, Fahmi Syariff kembali menggelar karyanya di Gedung Kesenian Makassar (Sicieteit de Harmonie). Pertunjukan teater berjudul ‘Manusia-Manusia Perbatasan’. Ini kali diproduksi KOSASTER, FIB UNHAS. Sebuah naskah lama, namun masih terasa pas dengan realitas kehidupan kita hari ini. Penuh dengan konflik kepentingan dan kritik sosial terhadap mapannya kekuasaan.
Sosok ibunda tua yang tengah menenun, menjadi adegan pembuka dari pertunjukan itu.  Tak lama berselang, dua orang anaknya, laki-laki dan perempuan, datang duduk menemaninya. Dialog pun tergerai di antara mereka. Dalam dialog itu, ibunda tua mengeluhkan kondisi benang tenunannya yang senantiasa kusut walau sudah berulang-ulang kali diurai. Sang anak, Laki-laki, pun iba. Dia lalu meminta izin kepada ibunda untuk pergi ke Lili ri Tengnga (wilayah Tengah) untuk mencarikan benang yang baru buat sang bunda. Lebih dari itu, kepergiannya ini, juga untuk menemui saudaranya yang kini telah menjadi Pampawa (pejabat) di Lili ri Ase (wilayah atas). Perempuan pun rupanya ingin turut serta dengan saudaranya ke Lili ri Tengnga. Maka dia pun turut memohon. Semula sang bunda berat untuk mengizinkan. Namun, setelah mengemukakan beberapa alasan, izin pun diberikan oleh sang Bunda. Maka berangkatlah mereka berdua ke Lili ri Tengnga
Cerita pun kemudian bergerak ke Lili ri Tengnga yang saat itu sedang bergolak. Para penghuninya, Tumaradeka, tengah menggelar aksi protes dan perlawanan terhadap para pampawa di Lili ri Ase. Mereka kecewa dengan para pampawa karena dianggap sudah tidak lagi peduli kepada rakyat banyak. Mereka berteriak, mereka berontak. Namun, aksi protes mereka ini kemudian diwarnai dengan silang pendapat di antara mereka sendiri, tentang bagaimana cara yang efektif untuk menyampaikan pendapat. Ada yang ingin meneruskan aksi protes, dengan cara turun ke jalan. Namun, sebagian lagi dari mereka menganggap bahwa protes dengan cara-cara lama seperti itu, sudah tidak berguna lagi. Selama ini, hal seperti itu selalu mereka lakukan. Tapi toh, hasilnya sama saja. Suara mereka dianggap angin lalu oleh Pampawa. Namun sayang mereka juga tidak memiliki solusi cara lain selain turun ke jalan. Konflik di antara mereka ini kemudian diperparah dengan penyusupan yang dilakukan oleh pak Beo. Pak Beo ini juga merupakan salah seorang Pampawa yang ikut-ikutan dalam aksi protes tumaradeka ini. Dia berupaya memanas-manasi keadaan agar para Tumaradeka ini terpecah-pecah.
Sementara itu di Lili ri Ase, Pampawa 1, yang merupakan pemimpin tertingginya tengah mengalami kegalauan yang luar biasa. Dia mulai merasa tertekan dengan aksi protes yang terus-menerus dilakukan oleh para tumaradeka di Lili ri Tengnga. Kekuasaannya seperti mulai tersudutkan. Para Pampawa lain dan sekretaris mencoba menenangkan. Mereka mengatakan bahwa aksi-aksi protes ini adalah hal yang lumrah dan biasa saja sehingga tidak perlu ditanggapi berlebihan. “Ini hanyalah bagian dari dinamika hidup. Ada antagonis dan ada protagonis”. Begitu anggapan mereka. Tapi Pampawa 1 tidak lantas tenang. Hatinya tetap gundah. Dia pun  terus berpikir, mencari jalan bagaimana agar para Tumaradeka ini menghentikan aksinya.
Solusi untuk menghentikan aksi protes para Tumaradeka pun ditemukan. Yaitu, memecah belah mereka dengan jalan menarik mereka ke dalam jejaring kekuasaan. Uang kemudian menjadi alat umpan jitu untuk menarik sebagian Tumaradeka yang tengah riuh oleh konflik. Siasat ini terbukti berhasil. Beberapa Tumaradeka pun sukses dipegang. Mereka yang lemah, kemudian masuk ke dalam lingkaran kekuasaan dengan bujukan dan rayuan materi. Berada dalam lingkaran kekuasan membuat mereka kehilangan keberanian untuk melawan kesewenang-wenangan penguasa. Tidak ada lagi teriakan lantang protes mereka. Mereka sudah dibuai oleh gemerlap kekuasaan dan kemewahan hidup di Lili ri Ase.  
Tindak-tanduk sebagian tumaredeka yang bergabung dengan pampawa ini, semakin memperparah kondisi di Lili ri Tengnga. Mereka kemudian saling tuduh dan saling fitnah satu sama lain. Kondisi menjadi semakin sulit. Dan saat kekacauan hendak mencapai puncaknya, muncullah sang Bunda. Dia terpaksa datang dari Lili ri Awa untuk menenangkan situasi. Dengan bijaknya sang Bunda memberikan petuah bagi para Tumaradeka yang tengah berkonflik, dan para Pampawa yang juga hadir di situ.
Konflik kemudian berlanjut ke wilayah atas, di mana para Pampawa tinggal. Salah satu Pampawa, Pak Beo, ternyata berkonspirasi dengan Pampawa lainnya (komandan robot) untuk merebut kekuasaan dari Pampawa 1.  Memanfaatkan kekalutan Pampawa 1 yang merasa gagal dalam menenteramkan situasi di Lili ri Tengnga, mereka kemudian berhasil merebut dan menduduki kursi kekuasaan. Namun, kolaborasi dua penghianat ini tidak berlangsung lama. Sama-sama haus kekuasaan dan sama-sama ingin berkuasa. Tanpa diduga komandan robot yang menginginkan kekuasaan tunggal berada penuh di tangannya, menikam Pak Beo dari belakang hingga tewas.  Komandan robot pun menjadi penguasa kursi kekuasaan di Lili ri Awa. Tapi, saat kekuasaan sudah berada di tangan komandan robot, semua meninggalkannya. Dia pun sendiri, tanpa arti apa-apa lagi.
Secara keseluruhan, penampilan KOSASTER (Kelompok Studi Seni Sastra dan Teater) dalam membawakan naskah berjudul Manusia-Manusia Perbatasan ini cukup baik. Latihan yang mengambil waktu kurang lebih tiga bulan, membuat dialog terjalin lancar sepanjang pertunjukan. Di antara semua karakter yang ada, sosok Pak Beo yang diperankan oleh Muhammad Iqbal Iskandar adalah yang paling banyak mencuri perhatian. Sifat oportunisnya jelas sekali. Dia berupaya memanfaatkan setiap keadaan untuk memenuhi kepentingannya. Ini tergambar jelas dengan kehadirannya nyaris di setiap adegan. Dia adalah bagian dari kekuasaan para Pampawa di Lili ri Ase, namun turut pula dalam aksi mahasiswa di Lili ri Tengnga yang menentang para Pampawa. Keterlibatannya dalam aksi protes para Tumaradeka adalah selain sebagai penyusup yang bermaksud memecah-belah para Tumaradeka, juga menjadi alat politiknya untuk menggoyang kekuasaan. Sifat oportunisnya itulah yang membuatnya tidak memiliki kejelasan dalam bersikap. Dalam perdebatan ia selalu memposisikan diri dalam kelompok atau suara dominan. Mengafirmasi setiap suara yang dianggapnya paling banyak, membuatnya cocok dinamakan Pak Beo.
Sosok Bunda yang diperankan oleh Asinta, juga cukup menyita perhatian. Bunda ini, memang cuma hadir dalam dua adegan, yaitu pada saat adegan bersama dua orang anaknya dan pada saat dia naik ke Lili ri Tengnga untuk meredam konflik yang tengah berada pada puncak-puncaknya. Tapi sepanjang pertunjukan ini dia juga seolah menjadi pemandu alur konflik. Pada setiap konflik para Tumaradeka, dia menggambarkan itu melalui aktivitas menenunnya. Jika konflik mulai terjadi, benang tenunan sang Bunda biasanya akan menjadi kusut. Semakin kuat konflik yang terjadi, maka semakin kusut pula benang sang Bunda.
Karakter komandan robot (Pampawa 4) dalam pertunjukan ini juga menarik. Sebagaimana robot, dia hanyalah alat kekuasaan yang menjalankan apa saja yang diperintahkan oleh atasannya. Dia juga adalah alat represif para Pampawa untuk menekan para penentang.  Sosoknya yang kaku dan tanpa kompromi menjadikan dia sempurna sebagai pengawal kemapanan. Tapi belakangan siapa sangka kalau ternyata dia juga menyimpan ambisi kekuasaan. Dia —yang berkomplot dengan Pak Beo— sukses menjungkalkan Pampawa 1. Kalau kolaborasinya dengan Pak Beo itu kemudian berakhir, itu mudah diduga. Keduanya jelas memiliki sifat yang saling bertolak belakang. Komandan robot adalah sosok yang kaku dan berpikiran simetris, sedangkan Pak Beo adalah sosok yang plin-plan dan tidak jelas ketetapannya. 
Menyaksikan pertunjukan teater ‘Manusia-Manusia Perbatasan’, kita seolah ditunjukkan model kehidupan kita hari ini. Sesuatu yang sangat dekat. Walaupun lakon ini ditulis tahun 1995 silam, beberapa peristiwa dan konflik yang ditampilkan masih sangat pas dengan konteks kekinian. Lihat saja saat digambarkan para Tumaradeka berbeda pendapat tentang cara menyampaikan pendapat. Bukankah itu juga yang terjadi hari ini? saat para mahasiswa tidak memiliki kesamaan visi dan misi dalam menyampaikan pendapatnya. Perpecahaan pun terjadi. Tidak ada lagi kesatuan dalam melakukan aksi. Akibatnya, saat ini berbagai gerakan mahasiswa pun kemudian seolah mati suri. Tiada lagi satu gerakan besar yang berpadu. Dalam perkembangannya hari ini, beberapa gerakan mahasiswa justru menjadi duri dalam daging rakyat yang diperjuangkannya. Aksi menutup jalan yang berbuntut kemacetan dan anarkisme di lingkup kampus membuat gerakan mahasiswa nyaris kehilangan legitimasinya.  
Begitu pula dengan adegan saat beberapa anggota Tumaradeka berhasil ditarik masuk ke dalam jejaring kekuasaan, yang membuat mereka kehilangan daya kritisnya terhadap penguasa. Hal tersebut pas kiranya kalau kita  melihat bahwa hari-hari ini. Begitu banyak aktifis mahasiswa yang begitu mudahnya menjadi alat atau perpanjangan tangan kekuasaan. Mereka tidak lagi bergerak atas nama hati nurani dan keinginan untuk memperjuangkan rakyat. Mereka lebih menjadi antek-antek penguasa untuk memapankan kekuasaan. Dengan iming-iming uang dan jabatan banyak diantara mereka yang kemudian melacurkan idealismenya. Secara makro, ini kemudian bukan saja ditujukan kepada mahasiswa, tetapi juga merupakan fenonema di tengah masyarakat
Pertunjukan itu sendiri berlangsung relatif lancar, namun beberapa kritikan dan saran juga tak urung mengalir dari beberapa tokoh, saat sebuah diskusi ringan yang dipandu Mardi Adi Armin (DKM) digelar usai pertunjukan ini. Asdar Muis misalnya, tokoh teater sekaligus wartawan senior mengkritisi para pemain yang dianggap kurang menjiwai perannya masing-masing. Menurutnya para pemain dalam pertunjukan itu lebih terlihat sebagai para penghapal dialog yang baik, bukan sebagai pemeran karakter yang baik. Namun dia juga mengakui tingkat kesulitan untuk membawakan karakter-karakter dalam cerita ini cukup tinggi. Menurutnya, naskah dan dialog dalam cerita ini memang cukup sulit jika dimainkan oleh para pemain teater pemula.
Pada kesempatan itu, Asdar Muis juga menyoroti peran KOSASTER yang menurutnya tidak lagi benar-benar menjadi sebuah lembaga studi sebagaimana dahulu. Untuk itu, ia meminta agar KOSASTER bisa memainkan peran lebih dari sekedar mengadakan pertunjukan teater, tetapi juga aktif menghidupkan diskusi-diskusi tentang karya sastra.
Sedangkan pembicara lainnya, Alwi Rahman, menyoroti penggunaan bahasa ajektif oleh sang Bunda. Jenis bahasa ini, menurut Alwi, sudah mulai terkikis dalam kehidupan kita sehari-hari. Saat ini, lanjut beliau, bahasa-bahasa yang digunakan—terutama mereka dari kalangan elit kekuasaan—adalah bahasa yang banyak mengandung tutur ganda atau bahasa  konteks tinggi.
Kedua pembicara tersebut juga memuji keberanian Fahmi Syarif yang menulis karya ini saat kekuasaan Orde Baru masih kuat berkuasa. Padahal pertunjukan drama ini penuh dengan satir dan sindiran terhadap mapannya kekuasaan.(*)

Sabtu, 22 Januari 2011

PUISI-PUISI oleh Mappidemmang


Amma Toa

Amma Toa
dalam pengembaraan zaman
menapak dunia bayang

Tana Toa yang purba
sebuah dunia yang tak lekang
ajaran pasang*) yang luhur
Adat Kajang yang kukuh
tempatmu berpijak
Amma Toa yang bijak

Tana Toa yang perawan
yang kerap dipinang zaman
jatuh cinta
memuji-muji
kadang mengiba-iba
adakah zaman sayang padanya?

Menukik ke sebuah pusat dunia
di sini di butta embayya**)  
berdiri berhadap-hadapan saling lirik dengan keangkuhan
masing-masing:
Amma Toa dan dunia bayang

Amma Toa
dalam pengembaraan zaman
dan memandang dunia bayang

Keperawanan Tana Toa
kegairahan zaman
telah menyatu di ranjang angan 
kita tunggu yang bakal lahir

_________________________

Bulukumba, 1991.

*) ajaran hidup, patokan moral, dan sumber perilaku adat.
**) kawasan (berlakunya) adat.






Seniman

Seniman adalah
dewa sepi yang mukim
di angin

anehkah?

Seniman
memenjarakan diri
dalam kesepian abadi

anehnya
Seniman
tebarkan wangi sorga
dalam penjara sepi umumkan perang
dalam lelap dunia

Seniman adalah
dewasepi yang semedi
di keriuhan dunia

anehkah?

Seniman adalah
pengembara sejati
sekali lahir tak pernah mati
tegar ide setia dan sejati
habis pun ia mengabdi pada nurani
lancang pun ia meneror cela nurani

Seniman adalah
pejuang paling tangguh
tak terkalahkan

anehnya
begitu hadir telah akrab dengan sepi
karena Seniman
kesepian itu sendiri

________________________

Bulukumba, 1992



Bicara Soal Politisi dan Seniman

Politisi menartik simpati massa
untuk kuasai aspirasi massa

Seniman menarik perhatian masyarakat
untuk kukuhkan apresiasi masyarakat

                massa sebukit pasir
                masyarakat selubuk hati

Politisi kawani massa
perkawanan ala politisi

Seniman akrabi masyarakat
keakraban manusiawai

Pilitisi hindari tantangan
                dan menaklukkan

Seniman hadiekian
                tantangan dan menjinakkan

Politisi amat menakuti
                ketakstabilan ideologi

Seniman amat menakuti
                 ketakbebasan kreatif

Politisi gandrungi kemenangan
Seniman renungi kekalahan

Politisi dan Seniman adalah
pemenang-pemenang sekalian pecundang-pecundang
terhormat dunia
yang dimaklumi


________________________

Bulukumba, 1992