Rabu, 12 Januari 2011

BUKU TRILOGI DRAMA TEROPONG DAN MERIAM

Mempertemukan I Mallombasi, Karaeng Karunrung,
dan Arung Palakka

oleh Basri (Hr. Fajar, Minggu 31 juli 2005).

Judul : Trilogi Drama Teropong dan Meriam.
Cetakan : I, 2005.
Penulis : Fahmi Syariff.
Pengantar: Dr. Mochtar Pabottingi.
Tebal : 220 halaman.
Penerbit: Hasanuddin University Press.

ADA sesuatu yang menuntun keinginan-kemauan untuk terus membaca Teropong dan Meriam. Buku trilogi drama karya Fahmi Syariff ini lebih awal membuka “mata interpretasi” pembaca dengan menyajikan sampul depan yang ilustrasinya sangat satiris.

Ilustrasi sampul yang didesain teaterawan Yacob Marala ini menampakkan semacam siluet meriam dan teropong. Menariknya, meriam tempo doeloe itu diposisikan berlawanan arah dengan peneropong. Meriam mengarah ke depan (boleh jadi ke arah musuh), tetapi, teropong diarahkan sebaliknya (ke belakang). Terjadilah perlawanan antara sasaran dengan bidikan.

Tentu saja siluet ini menjadi ruh terhadap muatan tiga judul drama yang disajikan Fahmi Syariff dalam buku setebal 220 halaman itu. Tak salah jika Dr. Mochtar Pabottingi (hal. xi) mengawali kata pengantarnya dengan menilai bahwa Fahmi Syariff telah mengukuhkan diri sebagai seorang sastrawan yang piawai, cerdas, dan bijak.

Tanpa kepiawaian itu, Fahmi sulit mempertemukan tiga tokoh sejarah yang kontroversial: I Mallombasi, Karaeng Karunrung, dan Arung Palakka dalam salah satu triloginya: Para Karaeng (hal 132-218). Tanpa kecerdasan, Fahmi sulit menyusun dialog-dialog yang membuat pembaca tercenung dalam visi jauh ke depan, tapi juga ditarik dari perjalanan jauh ke belakang bernama masa silam.

Tanpa kebijakan, Fahmi juga sulit memberi sudut pandang yang arif tentang tema yang disajikan. Tema itu menyentuh gagasan besar yang membolak-balik masa silam, lalu dijadikannya tumpangan untuk membangun tema universal tentang manusia masa kini. Mungkin juga sebuah “rekonstruksi nilai” untuk manusia masa datang.

Kearifan demi kearifan dibangun melalui karakter tokoh yang patut menjadi anutan. Tentu saja dengan tidak mengabaikan tokoh antagonis yang makin memperjelas tokoh protagonis dan karakter-karakter lainnya. Nilai-nilai kearifan lokal yang mengalir dari dialog ke dialog ini, membuat Trilogi Drama Teropong dan Meriam patut dipertimbangkan untuk diajarkan di sekolah-sekolah sebagai bidang studi muatan lokal. Setidaknya menjadi buku penunjang pendidikan sebagai pengayaan batin anak didik.

Dialog dengan pilihan kata yang sederhana dan pendek-pendek, membuka peluang untuk muatan lokal bagi siswa SMP dan SMU itu. Terutama pula karena banyak dialog yang dilengkapi tulisan aksara Lontara Bugis dan Makassar. Namun, dalam kesederhanaan pilihan kata itu, sesungguhnya mengandung nilai filosofis dan semiotis yang cukup dahsyat sehingga sangat membuka peluang untuk dikaji dan diajarkan di Perguruan Tinggi.

Secara teknis, Mochtar Pabottingi bahkan memuji bahwa Fahmi menunjukkan pemahamannya terhadap tema dan teknik drama klasik dan kontemporer: “… di mana yang lucu dan komikal bersambung langsung dengan yang patetis dan tragis, serta di mana yang gamblang duniawi berbaur langsung dengan pertanyaan-pertanyaan terdalam manusia, pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang ‘yang ada’ dan ‘yang tiada’ serta ‘yang benar’ dan ‘yang salah’.” Kiranya inilah salah satu muatan tematik yang disampaikan Fahmi melalui tiga dramanya itu; Karaeng Pattingaloang (Malam Lebaran di Mangara’bombang), Arung Palakka, dan Para Karaeng. Bahkan, tanpa ragu-ragu Mochtar Pabottingi menegaskan (hal xiii): “… Rangkaian tema-teknik seperti ini jelas belum tergarap dalam karya-karya drama Aspar Paturusi maupun Rahman Arge sebelumnya – dua penulis drama terkemuka di Sulawesi Selatan.”

Nuansa-nuansa filosofis menyangkut “ada” dan “ketiadaan” yang dimaksud Mochtar tadi dapat dilihat pada dialog I Mallombasi dalam Para Karaeng. Tokoh ini berujar: “… Satu sore, maha- guru kita bertanya begini: Ae, Mallombasi, bagaimana pendapatmu tentang ada dan tiada? Setelah jawaban pertanyaan ini tidak didapatkan dari Karaeng Karunrung, maka I Mallombasi pun menjawab sendiri: “Kujawab, ada dan tiada, adalah hakikat perbandingan.” (hal 140).

Boleh jadi hakikat perbandingan ini pula yang mempertautkan tema ketiga drama itu. Betapa tidak, Fahmi sesungguhnya masih punya drama yang lain yang nilai sastranya bisa dikaji lebih dalam. Manusia-manusia Perbatasan, misalnya. Namun, karena Fahmi (mungkin) ingin menghadirkan sebuah perbandingan, sehingga tiga judul drama dalam trilogi inilah yang dipilih.

Selain perbandingan tiga drama, juga tokoh, suasana, muatan (isi), dan unsur drama lainnya sarat dengan perbandingan. Fahmi bahkan amat berani mempertemukan tiga tokoh besar dalam peradan Bugis-Makassar, yaitu Arung Palakka, I Mallombassi, dan Karaeng Karunrung. Atas keberanian ini, Fahmi bisa saja mendapat berbagai tanggapan dari sejarawan. Namun ia bisa berkelit bahwa ketiga drama ini bukan refleksi sejarah, melainkan pengembangan imajinatif dari salah satu episode dalam sejarah kerajaan yang ada di Sulsel.

Dari pengembangan imajinatif inilah, pembaca dapat menikmati suguhan perbandingan-perbandingan karakter manusia. Pada hakikatnya manusia hidup dalam perbandingan-perbandingan. Dan perbandingan inilah sesungguhnya universalitas kesamaan hakikat manusia itu ditemukan.

Filosofi perbandingan ini bisa saja dicermati dalam sampul tadi, ketika teropong dibidikkan ke belakang, sementara moncong meriam diarahkan ke depan. Ini suatu perbandingan untuk mengetahui “dunia luar” yang mengitari musuh yang sesungguhnya menjadi “sasaran tembak”. Sebab tanpa mengetahui maujud yang lain selain “sasaran”, maka sulit memahami hakikat ”sasaran” yang sesungguhnya. Perkataan lain pula, “yang ada” di depan sasaran moncong meriam itu, perlu diperkaya dengan bahan lain, berupa sesuatu “yang tiada” di belakang meriam. Dalam hal ini, bagian lain yang dibidik oleh teropong tadi.

Atau boleh jadi Fahmi ingin menawarkan suatu fenomena kekinian ketika berbagai kasus sosial telah gagal diselesaikan dalam perspektif kepuasan dan rasa keadilan masyarakat, lantaran moncong meriam (sasaran tembak) tidak pernah bertemu dengan hal-hal yang diteropong. Yang menjadi sasaran tembak teropong berada di depan, sedangkan teropong diarahkan ke belakang.

Itu juga sebuah perbandingan, dan Fahmi telah menampakkan kepiawaian serta kecerdasannya menumpahkan semua itu secara filosofis melalui trilogi ini. Pembaca pun dapat menggali berbagai muatan itu seraya memperoleh pengayaan batin dan kearifan-kearifan. Sebab menurut Mochtar Pahbottingi (hal. xi)., karya ini lahir dari tangan seorang sastrawan yang tidak saja piawai dan cerdas, tapi juga arif.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar