Kamis, 13 Januari 2011

KARAENG PATTINGALLOANG








Bagian I Trilogi Drama Teropong dan Meriam
KARAENG PATTINGALLOANG
(Diilhami oleh cerpen Menghadap Karaeng Pattingalloang karya Sinansari Ecip).
Pementasan I    : Pertemuan Sastrawan Nusantara, Auditorium RRI, Makassar, 1992.
Pementasan II   : Festival Teater Indonesia, Taman Budaya, Solo, 1993.
Pementasan III : Festival Istiqlal II, TIM, Jakarta, 1995.
Naskah: Fahmi Syariff.
Sutradara: Jacob Marala.
Produksi: Teater Makassar, Dewan Kesenian Makassar, Sulawesi Selatan.
Produser: Arsal Alhabsi.

Sinopsis
Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo pada awalnya terlibat dalam kancah peperangan. Tetapi setelah perdamaian terjadi, keduanya menjadi kerajaan kembar, Gowa-Tallo, dengan kesepakatan: setiap Raja Tallo harus menjadi Mangkubumi Kerajaan Gowa. Dari kesepakatan itulah lahir idiom se’re ata ruwa karaeng (satu abdi dua raja).

Raja Tallo, Karaeng Pattingalloang (Agustus 1600-15 September 1654) bernama asli I Manngada’cinna Daeng Sitaba, menjadi Mangkubumi Kerajaan Gowa pada masa pemerintahan Raja Gowa XV. Kepopulerannya sebagai seorang cendekiawan dan negarawan yang cerdas bukan saja di Gowa dan di Tallo, melainkan juga sampai di luar kerajaan. Beliau menulis beberapa buku tentang ketatanegaraan, soal-soal perseroan, dan hukum-hukum pelayaran. Selain itu, dia juga menguasai astronomi dan mahir dalam beberapa bahasa asing yaitu bahasa Arab, Portugis, Spanyol, Denmark, dan Latin.

Keluarbiasaan Karaeng Pattingalloang tersebut menyebabkan Bendaharawan Kerajaan Tallo, Daeng Materru’ (Sang Pemberani), bermaksud menganugerahkan nama sandang Cikal Kemakmuran dan mengucapkan Sumpah Setia Kebulatan Tekad para takyat kepada pemerintahnya. Dia pun menentukan waktu untuk melaksanakannya, yaitu pada malam Lebaran Idul Fithri.

Atas dasar Surah Al-Ashr, surah yang menegaskan bahwa manusia yang tidak menggunakan masanya (waktunya) dengan sebaik mungkin termasuk manusia yang merugi, malam lebaran kali itu dimuati dengan sekian banyak kegiatan seusai takbir keliling.

Ternyata segala sesuatunya telah dipersiapkan (direkayasa) dengan matang oleh Sang Bendahara Kerajaan dengan langkah-langkah yang matang pula. Pertama, dia merangkul anggota Angkatan Muda yang wakilnya sudah ada di Dewan Bate Salapang (semacam DPR sekarang). Kedua, dalam acara  tersebut Tukajannannganga, Anrong Ta’bala’, dan Tumailalang Lolo sengaja tidak diundang. Yang diundang hanya Penasihat Kerajaan yang bijak serta Tumailalang Towa yang tua-renta. Ketiga, dan ini yang paling diandalkannya, kerjasama dengan Karaeng Tunipattolo Daeng Marompa (kemanakan Karaeng Pattingalloang) yang bencong, melalui Daeng Talekang (istrinya) yang bendaharawan PERSIWAKARUNG (Persatuan  Istri Punggawa, Istri Karaeng, dan istri Arung) untuk memengaruhi Daeng Ngani (istri Karaeng Pattingalloang) yang Ketua PERSIWAKARUNG. Program yang telah diproposalkan dan akan diserahkan menjelang acara itu, ialah penambahan lapangan sholat Ied, lapangan perburuan rusa, serta akan meminta katabelece buat menyebarkan tikar sholat Ied yang akan dilengkapi dengan stiker sebagai tikar standar bagi seluruh penduduk.

Akan tetapi semua taktik itu secara perlahan diketahui oleh Karaeng Pattingalloang, termasuk rahasia Anrong Ta’bala’, yang sesungguhnya juga punya maksud serupa tapi tak sama, tapi tak seberani Daeng Materru’.

Benturan pun terjadi antara satu dengan yang lainnya, karena para pembesar kerajaan yang sengaja tidak diundang, ternyata hadir semua atas “jasa” bisik-bisik Suro Kerajaan. Terakhir, simbol penghargaan yang dipersiapkan oleh Daeng Materru, dikalungkan di leher Daeng Materru’ sendiri oleh Karaeng Pattingalloang, sementara Angkatan Muda yang baru sadar bahwa mereka ditunggangi, mempersembahkan tari Pakkape (tari Kipas) bagi Daeng Materru’, sekaligus bagi DM-DM MK atau Daeng Materru’- Daeng Materru’ Masa Kini.*

Catatan:
Drama ini telah diterbitkan bersama drama Arung Palakka
dan Para Karaeng di bawah judul Trilogi Drama TEROPONG DAN MERIAM
oleh Hasanuddin University Press atas bantuan Prof. Dr. Ir. Radi A. Gany.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar