Kamis, 13 Januari 2011

PROSES KREATIF


PROSES PENULISAN DRAMA
Datu Museng & Maipa Deapati

Kalau di Inggris dikenal Romeo + Juliet melalui dramawan W. Shakespeare, Laila Majnun di India melalui film, maka di Sulawesi Selatan dikenal Datu Museng dan Maipa Deapati. Ketiga legenda tersebut berinti tema cinta, dengan akhir hidup yang saling berbeda.  Romeo + Juliet mengakhiri hidup dengan minum racun, Laila dan Majnun di tengah teriknya padang pasir, dan Datu Museng menghentikan napas  Maipa Deapati, istrinya, dengan badiknya sendiri.

***

Kami yang berdiam di kampung Ponre, 3 km sebelum masuk kota Bulukumba dari Makassar, sesudah santap malam pada setiap malam Rabu, berjejer di pinggir jalan raya menunggu resitasi sastra tutur diiringi gesekan rebab melalui radio. Perpaduan antara seni sastra lisan dan seni musik tersebut dikenal dengan sinrili’, dimainkan oleh Bapa’ Mudi’. Radio ketika itu adalah media teknologi komunikasi tercanggih. Karena canggihnya berarti mahal, dan karena mahalnya berarti tidak banyak penduduk yang memilikinya. Ini tahun 1957.


Radio di kampung Ponre yang berpenduduk k.l. 100 orang itu, jumlahnya tidak cukup sepulun buah ketika itu. Setrumnya bersumber dari sebuah generator raksasa, ditaruh di bawah saoraja (istana) kediaman Bapak Kepala Distrik. Generator itu dipersiapkan untuk mesin produksi tapioka. Sampai generator itu tidak bisa lagi mengeluarkan setrum, program produksi tapioka tidak pernah terwujud. Entah apa penyebabnya, tapi yang pasti keamanan sangat labil ketika itu.  

Sambil menikmati sinrili’ lewat radio, terdengar monolog atau dialog antarpendengar menanggapinya. Meskipun Bapa’ Mudi’ menggunakan bahasa Makassar, kami tetap bisa menikmatinya. Hal itu disebabkan masyarakat Ponre termasuk masyarakata yang bilingual, bahasa Makassar dan bahasa Bugis. Kedua bahasa ini masih serumpun, yaitu rumpun bahasa Austronesia. Doktor Nurhayati, dari Fakultas Sastra (kini Fak. Ilmu Budaya) Universitas Hasanuddin, menegaskan, persamaan kosa kata bahasa Bugis dan bahasa Makassar lebih dari 60%.

Melalui sinrili’ itulah saya ”bertemu” dengan Datu Museng untuk pertama kalinya. Pertemuan kedua pada awal 1960-an lewat novel karya Verdy R. Baso, yang dipinjamkan oleh seorang tetangga, pemain sepak bola bernama Racide’ (Abd. Rasyid, alm.). Pertemuan ketiga pada awal Mei 1975 di Makassar, saat Abdulkadir Sila, pimpinan Studi Teater Tambora datang di belakang layar bioskop DKM (Dewan Kesenian Makassar), tempat tinggal saya dengan istri dan seorang anak saya, Yuyun (meninggal pada usia 6 bulan 1 minggu).

”Kita pentas. Fahmi tulis naskahnya. Ini...,” kata Kadir Sila ketika itu sambil menyodorkan novel Datu Museng, persis yang telah saya baca semasih di Bulukumba. ”Fahmi sutradara, saya produser. Produksi Tambora,” katanya lagi.
”Akan saya coba. Mudah-mudahan saya bisa,” kata saya.

Sambil menulis naskah, pada kesempatan-kesempatan tertentu saya cari informasi tambahan tentang kisah cinta Datu Museng dan Maipa Deapati. Bapak Mappaseleng Daeng Maggaoe, B.A. yang tentu telah hapal legenda percintaaan antara Datu Museng dengan Maipa Deapati, berulang kali saya temui, karena beliaulah yang menggantikan Bapa’ Mudi’ sebagai pasinrili’ di RRI. Ketika itu Pak Mappaseleng pegawai Kantor Departemen Penerangan RI Provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu, saya menghubungi Bapak Kepala Kantor Pos Besar Sulawesi Selatan yang orang Sumbawa, cari data terutama yang berkaitan dengan aspek sosial Sumbawa, yang ternyata tidak jauh beda dengan Bugis Makassar. Perbedaannya yang paling jelas pada bahasa. Begitu antusiasnya Bapak tersebut (maaf, namanya saya lupa) beliau berulang kali menyaksikan latihan di Gedung DKM Jl. Irian No. 69. Kepada beliau dan keluarganya terima kasih tak terhingga saya sampaikan.

Entah untuk apa, tetapi suatu hari Ahad, saya dengan beberapa teman ziarah ke makam Datu Museng dan Maipa Deapati. Di makam itu, di satu makam, dua nisan kayu berdiri bersanding kukuh, mengkilap kehitaman, terletak di ujung barat Jl. Datu Museng, seberang-utara RS Stella Maris.

Menyusun kisah Datu Museng untuk dipertunjukkan, ternyata sebuah kerja berat. ”Berat” kata saya, karena, pertama, saya sudah menempatkan diri sebagai sutradara, dalam pengertian, yang ada di imaji harus ditulis dan harus mampu diaudiovisualkan. Kedua, kisah Datu Museng dengan kekasihnya Maipa Deapati telah memasyarakat. Karena saya belum pernah membaca teori penulisan drama, maka ”teori” yang mendasari penulisan justru naskah-naskah drama di mana saya pernah ikut main.

Sebagai sastra drama, kisah Datu Museng dan Maipa Deapati saya selesaikan tanggal 5 Juni 1975, terbagi atas 4 babak dengan struktur: Babak I di rumah kakek Datu Museng, Babak II di istana Maggauka Datu Taliwang (keduanya di Sumbawa). Babak III dan IV di Makassar, masing-masing di kantor Belanda Tumalompowa dan di rumah Datu Museng.

Judulnya? Belum ada, tapi ”kasih sayang antarkekasih mengatasi segala-galanya,” hal utama dan pertama tak boleh lepas. Saya teringat drama Romeo+Juliet (1595) yang diselesaikan dengan racun oleh penulisnya, William Shakespeare, film India Laila Majenun diakhiri sutradaranya di bawah terik matahari di atas padang pasir. Lalu, Maipa Deapati, menyerahkan lehernya kepada Datu Museng, suaminya, dengan keris matatarampanna. Ketiga tragedi cinta tersebut berpangkal pada konflik sendiri-sendiri dan dengan penyelesaian sendiri-sendiri. Jadi judulnya Kisah Cinta Bersimbah Darah?, atau Bunuhlah Aku Kalau Engkau Mengasihiku?,  atau Kita Jemput Maut Atas Nama Kasih?, atau...?

Datu Museng & Maipa Deapati, itulah judulnya. Hanya itu. Jatuhnya pilihan pada nama tokoh protagonisnya, Datu Museng dan Maipa Deapati, bukan epigon pada Romeo-Juliet atau Laila Majenun, melainkan karena perhitungan bahwa kisah ini telah memasyarakat di semua strata sejak dulu di Sulawesi Selatan pada umumnya. Logikanya, karena telah memasyarakat, berarti akan banyak penonton. Karena banyak penonton, berarti banyak karcis yang terjual. Karena banyak karcis terjual, ya, modal produksi setidak-tidaknya bisa kembali.

Teknik pengungkapan Datu Museng & Maipa Deapati sebagai sastra drama berdasarkan formulasi Aristoteles, the three unities, H3K (Hukum 3 Kesatuan): kesatuan waktu, kesatuan tempat, kesatuan lakuan. Tetapi istilah itu saya ketahui lebih sepuluh tahun kemudian, atau sesudah naskah ditulis dan dipentaskan berulang kali. Dan karena Aristoteles menegaskan bahwa pendapatnya bukan harga mati, sekadar formulasi, maka dalam format tersebut, sinrili’ saya jadikan salah satu akses pengembangan H3K. Sinrili’ di sini menjadi narasi pembuka, antarbabak, dan penutup.

Tanpa buang-buang waktu, produksi segera diawali atas nama Studi Teater Tambora melalui latihan di Gedung DKM yang open air di Jl. Irian No 60 atas izin Ketua DKM, Rahman Arge tanpa bayaran sepeser pun. Sejumlah 27 pemain (belum ditentukan peranannya) berlatih lima kali semingu dari pukul 15.00-18.00 pada latihan bulan pertama. Bulan kedua ditingkatkan, setiap hari kecuali hari Ahad. Bulan ketiga, tepatnya 3 dan 4 Agustus 1975, drama Datu Museng & Maipa Deapati dipentaskan di gedung bioskop Madya (dulu Empress Theatre, lalu Mitra). Berikutnya 9 Agustus 1975 dipentaskan khusus untuk para siswa SMA se-Makassar di panggung terbuka Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam).

Sebelum pementasan untuk murid SMA pada tanggal 7 Agustus 1975, diadakan general rehearsal yang disaksikan oleh Wahyu Sihombing dan Pramana Padmadarmaya. Kedua tokoh teater dari Dewan Kesenian Jakarta yang kebetulan ada di Makassar itu bertamu ke DKM. Siapa yang menyampaikannya bahwa ada latihan teater, entahlah, tapi yang pasti seusai latihan diadakan bincang-bincang. Dari pertemuan itu ada kesan yang tak pernah saya lupakan sampai sekarang. Begini:
”Adik-adik ini latihan berapa lama,?” tanya Pak Pram (panggilan akrab Pramana Padmadarmaya) dengan irama kebapakan.
”Dengan pementasan yang lalu, sekitar dua bulan,” jawab saya sebagai sutradara.
”Main berapa malam?” Pertanyaan ini dari pak Hombing (Wahyu Sihombing).
”Satu malam,” jawab saya.
”Satu malam?!, tanyanya lagi dengan tekanan Bataknya.
”Eh, bukan. Kami sudah main dua malam. Bulan lalu, di Gedung Nioskop Mitra.
”Dengan yang ini,?” Pak Hombing menjelaskan maksudnya.
”Oh, dengan yang ini, tiga malam.”
”Bah! Latihan dua bulan, main tiga malam. Rugilah kamu itu. Main banyak-banyak.”
“Caranya?,” salah seorang teman nyeletuk.
“Bah! Bilang pada itu, gubernurmu,! Sahut Wahyu Sihombing lagi.

Kami hanya saling berpandangan menanggapi ucapan seniman Indonesia itu. Mungkin dia lupa bahwa Makassar bukan di bawah Ali Sadikin yang dengan naluri kenegarawanannya membuat Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Sekitar sebulan lebih kemudian (4, 5, dan 6 September 1975), Datu Museng & Maipa Deapati diproduksi oleh Poseidon Arts Group dengan produser Salam Noor Ahmad, B.A. Grup teater ini kerja sama dengan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Sulawesi Selatan. Pementasannya berlangsung di Gedung Kesenian DKM Jl. Irian 69, dan, lagi-lagi tanpa bayaran gedung dan setrum lampu.

Beberapa menit sebelum pementasan malam pertama, saya sebagai penulis sekaligus sebagai sutradara, menerima penghargaan dari Sekretaris Jenderal PWI Pusat, Sunardi DM, didampingi Rahman Arge yang Ketua PWI Sulawesi Selatan. Penghargaan yang sama, juga diberikan pada Salam Noor Ahmad, B.A. sebagai produser dan Verdy R. Baso, wartawan Hr. Pedoman Rakyat yang novelnya dijadikan salah satu sumber penulisan.

Memakai nama tokoh yang akrab dengan masyarakat sebagai judul untuk pementasan pada tahun 1970-an, merupakan iklan utama. Hal ini terbukti dalam pementasan tersebut di atas. Saat diproduksi oleh Poseidon Arts Group di Gedung Kesenian DKM selama 3 malam berturut-turut, tiket yang Rp 150 di loket dicatut sampai Rp 500. Bahkan ada pemain yang sembunyi-sembunyi ikut mencatut. Penontonnya? Pada malam terakhir dua bus Koammas datang dari Maros khusus untuk nonton. Dari pementasan Datu Museng & Maipa Deapati tahun 1975, para pemain menerima honorarium Rp 3.500 perorang selama tiga malam pementasan.

Dari pengalaman menulis itu, beberapa pelajaran yang sangat berarti saya peroleh. Bahwa, struktur sebuah kisah yang historis atau legendaris, tidak harus menjadi struktur dalam wujud audio visual. Hal ini saya terapkan terutama dalam hal alur demi menghindarkan adegan yang sarat informasi tanpa konflik. Ini berarti tidak semua peristiwa dalam sejarah atau legenda harus terekspresi dalam adegan. Tetapi sebaliknya, jika memang prinsipal, ada saja satu dua patah kata dari data historis atau legendarisnya justru terekspresi dalam beberapa halaman.

Bertolak dari hal-hal tersebut di atas, naskah tahun 1975 sebagi naskah awal yang menjadi dasar pementasan, saya ubah dan tegaskan sebagai berikut:
    Sinrili’ yang saya kutip dari Makassarsche Christomathie oleh Matthes (1939) yang membuka, mengantarai babak, menutup peristiwa, serta adegan prosesi saat Maipa Deapati turun ke taman permandian, dalam naskah awal belum ada.
    Babak I pada naskah awal menjadi Babak II, dan sebaliknya Babak II menjadi Babak I. Perubahan ini saya dasarkan atas kronologi peristiwa melalui alur.
    Tokoh Pangeran Manngalasa dalam naskah awal hanya tampil satu kali untuk merebut Maipa Deapati. Atas dasar perhitungan tokoh antagonis yang termasuk tokoh sentral, tokoh ini kembali tampil pada babak berikutnya, bukan untuk merebut Maipa Deapati, melainkan untuk mengembalikan harga diri sebagai laki-laki yang siap mati bertarung tanpa pengawal, yaitu pertarungan dalam satu sarung melawan Datu Museng.
    Pada naskah awal, tidak ada tokoh Datu Jarewe’. Dalam pengembangan, tokoh ini dihadirkan berdasarkan alasan bahwa dialah yang justru penyebab ditugaskannya Datu Museng melawan Tumalompowa.
    nebentext-nya dilakukan seminim mungkin dengan tujuan memberi kebebasan pada sutradara dan pemeran mengembangkan imajinasi kreatifnya. Misalnya, jika ada perubahan suasana adegan atau emosi tokoh, yang tercantum hanya kata ”jeda”. Bagaimana gerak dan wajah pemeran serta irama vokalnya, sepenuhnya diserahkan pada pemeran dan sutradara.

Pementasan demi pementasan berlangsung di berbagai kota, desa, dan panggung. Selain Studi Teater Tambora yang pertama kali memproduksinya, juga diproduksi oleh Poseidon Arts Group Makassar dari 1975-1977, dan Pola Artistik menjadikannya materi teater-keliling di Kabupaten Bulukumba (1977-1978). Tanggal 4 dan 5 Juli 1987 Datu Museng & Maipa Deapati kembali dipentaskan oleh Studi Teater Tambora di Auditorium RRI, Makassar, dengan sutradara Udhin Palisuri, seorang poetry reader Indonesia.

Para teaterawan yang berperan dalam semua pementasan tersebut di atas dan dari berbagai grup teater (yang masih teringat): Abdulkadir Sila, M. Amir Sinrang, Makhfud Ramly, Ina Librawaty, Wiwiek Sumaryo, Marhani S, Hasan Kuba, Sandy Karim (alm.), Udhin Palaguna (alm.), Hasan Mintaraga (alm.), A. Tajuddin Manda (alm), M. Nurdin Padde, Jufri Fattah, Azikin Solthan, Amir Arfah, Dahlan, Yusri Syarifuddin, M. Saleh Baso, Jufri Suaib, Jufri Fattah, Yusuf HM Noor, Nirawaty, Nimra, M. Alwy Gazali, Nasaruddin, Arifin, Abd. Kahar, Agus Adil, Syafri Em Saleh, Firman B, M. Akil, Ilham (alm.), A. La Pariusi (alm.). Mereka ini dari: Study Teater Tambora, Poseidon Arts Group, dan Pola Artistik, Gantarang, Bulukumba.  Terima kasih tak terhingga saya sampaikan, karena tanpa mereka pementasan tak mungkin terwujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar