Rabu, 06 Oktober 2010

MANUSIA-MANUSIA PERBATASAN

oleh Fahmi Syariff

Tokoh:
Bunda.
Laki-laki
Perempuan.
I Calaba.
Tumaradeka 1.
Tumaradeka 2.
Tumaradeka 3.
Tumaradeka 4 (Bung Ampa’).
Tumaradeka 5.
Tumaradeka 6.
Tumaradeka 7.
Tumaradeka lainnya.
Pampawa 1.
Pampawa 2 (Pak Beo).
Pampawa 3 (Ibu Sekretaris).
Pampawa 4 (Pak Robot).

Lokasi terdiri atas tiga tingkat: Lili’ Riawa, Lili’ Ritennga, dan Lili’ Riase’. Penghuni Lili’ Riase’ dan Lili’ Ritennga sedang terlibat dalam diskusi yang alot karena keduanya diantarai oleh sarang labah-labah raksasa. Pada saat yang bersamaan, Bunda di Lili’ Riawa sedang tekun menenun. Di sampingnya bersimpuh kedua anaknya: Laki-laki dan Perempuan.

Bunyi-bunyi dan suara-suara yang ditimbulkan oleh ketiga penghuni wilayah itu pada satu saat tertentu terdengar kacau, tetapi pada saat tertentu lainnya berpadu dan menciptakan irama ganas diselang-selingi irama mengharukan. Demikian berlangsung beberapa lama.

Segalanya itu kemudian tertelan oleh ledakan satu kali karena selembar benang tenun Bunda putus. Akibatnya, diskusi itu bubar lantaran penghuni Lili’ Ritennga terbongkar, sedangkan penghuni Lili’ Riase’ meninggalkan tempat. Sepi.

Selanjutnya, yang terdengar hanya bunyi tet te tet te’, detakan-detakan walida Bunda setelah benang yang terputus tadi disambungnya.

BUNDA: 
Satu demi satu... (Tet te tet te’). Satu demi satu... (Tet te tet te’). Satu demi satu... (Tet te tet ...). Ah, putus lagi.

LAKI-LAKI: 
Bunda.

BUNDA: 
Ya, putus lagi. Selalu. Selalu begitu

LAKI-LAKI:
Haruskah selalu?

BUNDA: 
Seharusnya tidak.

LAKI-LAKI: 
Bunda.

BUNDA: Ya?!

LAKI-LAKI: 
Pamit, Bunda.

BUNDA: 
Akan ke mana anak laki-laki Bunda?

LAKI-LAKI: 
Ke Lili’ Ritennga.

BUNDA: 
Untuk?

LAKI-LAKI: 
Mencari alat tenun yang bagus.

BUNDA: 
Alat tenun?

LAKI-LAKI: 
Ya, yang bagus, seperti yang pernah dijanjikan kakakku yang sampai sekarang belum ada.

BUNDA: 
Anakku, bagus-tidaknya hasil tenunan tidak selalu ditentukan oleh bagus-tidaknya alat tenun, tapi oleh cara seseorang menenun, cara seseorang menyatukan benang yang membujur dan 
benang yang melintang. Tapi kalau anak laki-lakiku memang bertekad untuk pergi, 
Bunda tak akan melarang. Dan ingat, laki-laki harus tetap laki-aki.

LAKI-LAKI: Terima kasih, Bunda.

PEREMPUAN: Kalau anak perempuan Bunda mau ikut mencari alat tenun yang bagus itu, Bunda tak akan melarang, bukan?

BUNDA: Paccenre tenun ini akan kehilangan fungsi kalau Bundamu melarang. Tapi, mengapa harus di Lili’ Ritennga, dan bukannya di Lili’ Riase’? Di wilayah atas? Kakakmu ‘kan sudah jadi pampawa?

LAKI-LAKI: Bunda, Lili’ Ritennga adalah wilayah pertemuan semua peghuni lili’. Lagi pula seorang pampawa yang benar-benar pampawa, tidak akan selalu di atas. Pasti. Anakda yakin, kakakku lebih banyak di Lili’ Ritennga.

BUNDA: Oh, begitu? Baiklah, selamat jalan anak laki-lakiku.

LAKI-LAKI: Terima kasih atas keikhlasan Bunda.

BUNDA: Dan anak wanitaku, selamat jalan.

PEREMPUAN: Maaf, saya, anak Bunda, bukan wanita.

BUNDA: Jadi?

PEREMPUAN: Perempuan

BUNDA: Benar. Tapi ingat, seorang perempuan yang benar-benar perempuan, tidak akan memaksa diri jadi laki-laki meski sudah di luar rumah. (Keluar dari alat tenunnya, menjangkau dua lembar sarung lalu dikenakannya pada kedua anaknya).

LAKI-LAKI: Terima kasih. Doa Bunda...

BUNDA: Doa seorang Bunda tak pernah lekang buat anak-anaknya. (Masuk ke peralatan tenunnya). Anak-anakku, sekali lagi, ingat, seorang laki-laki di mana pun berada harus tetap laki-laki. Juga perempuan, walaupun sebaiknya di dalam rumah, tapi setelah di luar rumah, dia harus tetap perempuan. Per-empu-an. Ingat itu. (Lanjut menenun). Selamat.

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN MENGAWALI PERJALANAN DARI LILI’ RIAWA MENUJU LILI' RI TENNGA. SUSAH PAYAH KEDUANYA DALAM PERJALANAN ITU. SEMENTARA ITU DI LILI’ RIASE’ PAMPAWA 1, 2, 3 MELANGKAH DARI LUAR SEPERTI BIASA, SEDANGKAN PAMPAWA 4 MEROBOT.

PAMPAWA 1: Tanda-tanda zaman. Semua, siapa pun harus mampu membaca tanda-tanda zaman. Sebab kalau tidak, pasti buta zaman.

PAMPAWA 3 : Betul. Buta zaman. Pasti buta zaman. Karena itu kita harus pintar-pintar baca zaman.

PARA PAMPAWA SAMPAI DI WILAYAHNYA DI  LILI’ RITENNGA, LANGSUNG DUDUK MENGITARI MEJA SETENGAH BUNDAR, KECUALI PAMPAWA 4 YANG BERDIRI DI PINTU. PAMPAWA 1 DUDUK DI KURSI YANG BERBEDA DENGAN KURSI LAINNYA.

PAMPAWA 2: Nah, kalau buta zaman, pasti tak bisa melihat zaman. Karena tak bisa melihat zaman, berarti buta zaman.

PAMPAWA 4: (Tetap berdiri di pintu, merobot). Ya, kalau buta zaman, pasti tidak bisa baca zaman, pasti kekacauan timbul lagi. Itu artinya aku pasti sibuk lagi.

PAMPAWA 1: Nah, agar kekacauan tidak timbul dan bacaan kalian tentang zaman tambah lancar, kalian harus rajin-rajin buka mata. Sebab, rajin pangkal...

PAMPAWA 2: Pandai...!

PAMPAWA 1: Cerdik... Sekarang waktu belajar sudah sampai. Persiapanmu, ingat.

PAMPAWA 2: Siap

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN MASIH DALAM PERJALANAN DARI LILI’ RIAWA KE LILI’ RITENNGA. PEREMPUAN KEWALAHAN TAPI LAKI-LAKI TERUS MEMBANTU.

PAMPAWA 4: (Masih merobot, sambil memegang baju Pampawa 2 yang model safari). Lupa?

PAMPAWA 2: Pak...

PAMPAWA 1: Tak apa. Yang penting jangan dipakai saat belajar. Ingat itu.

PAMPAWA 2: Iya, Pak. Pasti saya ingat. Jadi saya pergi, Pak?

PAMPAWA 3: Gong pelajaran hampir ditabuh.

PAMPAWA 2: Masih ada satu.

PAMPAWA 3:  Apa lagi?
PAMPAWA 2: (Memberi isyarat bertanda tangan). Tanda tangan

PAMPAWA 3:  O, iya. Tanda tangan. (Membuka map). Ini presensi studi banding hari ini, besok, dan lusa. Yang  ini kunjungan kerja di berbagai kecamatan selama seminggu termasuk hari ini. Yang ini, nah ini, meskipun hanya satu hari, tapi amat sangat penting, rapat. Tanda tangani semua.

PAMPAWA 2 BERTANDA TANGAN BERULANG KALI LALU PERGI.

PAMPAWA 4: Tindakan selanjutnya?

PAMPAWA 1: Program hari ini?

PAMPAWA 3: (Membuka agenda lalu membaca)
. Gejolak di sektor tengah makin mengganas. Untuk menghindarkan jatuhnya korban, kita harus segera mencari jalan keluar.

PAMPAWA 1: Ubah.

PAMPAWA 3: Apanya?

PAMPAWA 1: Diksinya.

PAMPAWA 3: Yang mana?

PAMPAWA 1: Kata: mencari. Sejak dulu kita mencari. Sekarang bukan lagi saat mencari, melainkan menemukan. Menemukan jalan keluar.

PAMPAWA 3: (Mencoret, menulis, membaca). Me-ne-mu-kan. Jadi bunyinya: gejolak di wilayah tengah makin mengganas. Untuk menghindarkan jatuhnya korban, kita harus segera menemukan jalan keluar. Bagaimana?

PAMPAWA 1: Okay.

PAMPAWA 4: Cara menemukan?

PAMPAWA 1: Seperti biasa.

PAMPAWA 3, 4:(Bersamaan). Apa itu?

PAMPAWA 1: Rapat. Ayo!

PAMPAWA 4:(Hormat sambil mendetakkan sepatunya). Siap, Pak!

DI LILI’ RIASE PAMPAWA 1, 3, 4 MENINGGALKAN WILAYAHNYA, SEDANGKAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI LILI' RI AWA MASIH DALAM PERJALANAN.

PEREMPUAN: (Terjerembab). Aduh...

LAKI-LAKI: Ayo, terus! Terus! Sudah hampir sampai. Ayo, bangkit. Benang Bunda tidak harus selalu putus. (Menangkap tangan Perempuan, ditariknya, tapi dia sendiri terjungkal. Dia lalu berusaha bangkit, dan berhasil). Ayo, bangkit. Alat tenun yang bagus, agar benang tidak harus selalu putus. Tidak harus selalu. Tidak harus. Tidddak! (Laki-laki sampai di puncak tangga, lalu membantu Perempuan sampai berhasil).

PAMPAWA 2 DARI LILI’ RIASE’ SAMPAI KE LILI’ RI TENGGA BERSAMAAN DENGAN TIBANYA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DARI LILI’ RIAWA. PAMPAWA 2 BUKA BAJU DAN MENYEMBUNYIKANNYA DI SALAH SATU TEMPAT. LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN MEMERHATIKANNYA.

PAMPAWA 2: Apa lihat-lihat?! Ada utang?

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN MENYINGKIR LALU LEBUR KE DALAM KELOMPOK TUMARADEKA.

TUMARADEKA 1: Nah, Saudara-saudaraku, para Tumaradeka yang saya muliakan. Minggu lalu telah kita bicarakan materi-materi yang akan kita bawa. Dan semuanya telah kita sepakati bersama. Dengan demikian, agenda kita dalam pertemuan kali ini hanya satu, yaitu cara yang harus kita pakai untuk menyampaikan materi itu. Keputusan yang disepakati dalam pertemuan ini nanti, tidak menutup kemungkinan diubah sesuai perkembangan. Bagaimana?

PARA TUMARADEKA: Okay... okay... okay...

TUMARADEKA: Baik, Saudara-saudara. Sebelum kita masuk pada inti pertemuan kali ini, marilah kita pekikkan semboyan klasik kita: kualleanna tallanga natowaliya... mali’ siparappe.

PARA TUMARADEKA: (Kacau).Kualleanna tallanga natowaliya... mali’ siparappe. Kupilih tenggelam daripada surut... sama hanyut sama terdampar.

TUMARADEKA 1: Terima kasih, terima kasih. Sekarang...

TUMARADEKA 2: Interupsi, Daeng.

TUMARADEKA 1: Ya?!

TUMARADEKA 2:  Kacau, tidak serempak, dan cuma satu kali. Itu pencerminan bahwa motivasi kita yang terlibat di sini masih kacau, belum utuh, dan setengah-setengah.

TUMARADEKA 1:Seharusnya?

TUMARADEKA 2: Tertib, serempak, dan tiga kali.

TUMARADEKA 1: Alasan?

TUMARADEKA 2: Agar lebih bersemangat.

TUMARADEKA 1: Hanya itu?

TUMARADEKA 2: Untuk sementara.

TUMARADEKA 1: Bagaimana, Saudara-saudara?

PARA TUMARADEKA: (Masih kacau). Ya... Benar... setuju...

TUMARADEKA 2: Adddoh, kacau lagi. Kor seperti pemain teater. Nah, tiga, dua, satu, nol!

PARA TUMARADEKA: (Terpecah menjadi tiga kelompok). Ya! Benar! Setuju!

TUMARADEKA 2: Adddoh! Tidak sama. Masa ada ya, ada benar, ada setuju. Satu saja.

I CALABA: Ah, sama saja. Iyo toch? Toch? Sama toch?

PAMPAWA 2: Iya. Memang. Sama.

TUMARADEKA 2: Siapa bilang?

PAMPAWA 2: Saya... Eh... (Cuci tangan dengan menunjuk I Calaba). Dia..... Dia.....! (Kepada I Calaba). Iya, tokh? Kamu, tokh?

I CALABA: Ya, aku! Tujuannya sama.

TUMARADEKA 2: Iya, tujuannya sama, tapi caranya yang tidak sama. Suku kata tidak sama. Ada satu, ada dua, ada tiga. Apalagi hurufnya. Ada dua, ada lima, ada enam. Sama dengan kredit. Makin tinggi suku bunganya, makin banyak yang harus dibayar. Modal perusahaan akan botak. Satukan!

PAMPAWA 2: (Tampil berkobar-kobar). Ya, benar itu! Kita harus, bahkan wajib bersatu. Apa sebab Saudara-saudara? Ya, kita wajib bersatu. Sebab kalau tidak bersatu, berarti kita terpecah-pecah. Dan kalau kita terpecah-pecah, berarti kita tidak bersatu. Makanya Saudara-saudara, kita harus...

I CALABA: Diaaam...!!!

PAMPAWA 2: Ya, diam, Saudara-saudara. Kita harus diam!

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN TERTAWA CEKIKIKAN.

TUMARADEKA 1: Siapa itu?

TUMARADEKA 2: (Kepada Laki-laki dan Perempuan). Kalian?

LAKI-LAKI, PEREMPUAN:  Ya.

I CALABA:  Oh, orang baru rupanya.

TUMARADEKA 1:  Iya?

LAKI-LAKI, PEREMPUAN:  Ya!

TUMARADEKA 2: Siapa kalian dan dari mana kalian? Jelaskan! Singkat!

LAKI-LAKI: Nama saya Laki-laki, dan ini, adik saya, namanya Perempuan. Saya dan adik saya ini baru saja tiba.

TUMARADEKA 1:  Dari?

LAKI-LAKI, PEREMPUAN: Lili’ Riawa.

TUMARADEKA 1: Tujuan?

LAKI-LAKI: Cari kakak.

TUMARADEKA 1: Di mana?

PEREMPUAN: Belum tahu.

I CALABA:  Ha? Tapi... ya, akan kami bantu. (Kepada Tumaradeka 1, lalu semua). Pak, boleh? Boleh ‘kan, teman-teman?

PARA TUMARDEKA: Okay... okay...

I CALABA: Ayo gabung. Kenal, nama saya I Calaba.

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN JABAT TANGAN DENGAN I CALABA, SELANJUTNYA DENGAN YANG LAINNYA.

TUMARADEKA 1: Ya, lanjutkan.

TUMARADEKA 2: Kita kembali pada pokok soal. Aduh, sampai di mana kita tadi?

TUMARADEKA 3: Pilihan, apa ‘ya’, atau ‘benar’, atau ‘setuju’.

TUMARADEKA 1: Jadi, yang mana? ‘Ya’, atau ‘benar’, atau ‘setuju’?

TUMARADEKA 2: Yang ringkas dan tepat, yaitu: ‘ya’. Bagaimana? Okay?

PARA TUMARADEKA: Okay!

TUMARADEKA 2: (Kepada Tumaradeka 1). Silakan.

TUMARADEKA 1: Terima kasih. (Mengajak Tumaradeka 2 ke satu sudut).

PAMPAWA 2:  (Menghadang Tumaradeka 1 dan 2 yang mengarah ke tempatnya menyembunyikan baju).

TUMARADEKA 1: Apa?!

PAMPAWA 2:  Tidak... Tidak apa-apa...

TUMARADEKA 2: Tidak apa-apa tidak apa-apa! Sana!

PAMPAWA 2: (Tidak beranjak).

TUMARADEKA 1 MENARIK TUMARADEKA 2 KE TEMPAT LAIN.

TUMARADEKA 1:  (Membiskkan sesuatu di telinga Tumaradeka 2).

TUMARADEKA 2: Oho, biasa. (Menahan Tumaradeka 1). He, tunggu, bilang apa tadi?

TUMARADEKA 1: Tambah hebat kamu!

TUMARADEKA 2: Oho, biasa... He, bilang apa lagi?

TUMARADEKA 1: Tambah hebbbat ... dan ....

TUMARADEKA 2: Oho, biasss... dan apa?

I CALABA: Tambah congek kamu!

SUASANA JADI KACAU.

TUMARADEKA 1: (Menenangkan para Tumaradeka yang tertawa ramai). Okay, okay tenang, Saudara-saudara... tenang. Kita ulangi. Ya, pertemuan lanjutan ini kita awali dengan pekik semboyan klasik kita tiga kali berturut-turut.

PAMPAWA 2: (Meloncat dengan maksud mengambil alih komando). Satu... dua...

TUMARADEKA 1 MENEPISKAN PAMPAWA 2 SAMPAI TERJAJAR. LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN  TERBAHAK, TAPI CEPAT DIAM OLEH TATAPAN PARA TUMARADEKA.

TUMARADEKA 1: Siapa itu? Oh, yang baru rupanya. Memang. Kalian berdua harus tahu, di wilayah ini bagi orang baru banyak hal yang aneh memang. Tak apa. Ayo, kita ulangi. Tiga, dua, satu, nol.

PARA TUMARADEKA: (Melengkingkan semboyan 3 kali berturut-turut). Kupilih tenggelam daripada surut.... sama hanyut sama terdampar ... Kupilih tenggelam daripada surut.... sama hanyut sama terdampar ... Kupilih tenggelam daripada surut.... sama hanyut sama terdampar.

GONG MENGGEMA TIGA KALI. GENDANG MENGENTAK BERTALU-TALU MENGIRINGI PARA TUMARADEKA MENYANYI SAMBIL MENARI DENGAN SUARA DAN GERAK GEGAP-GEMPITA.

Battu ratema’ ri bulang
('Ku telah bertandang ke bulan)
Makkuta’nang ri bintoweng
(Kutanya bintang-gemintang)
Apa kananna...
(Apa jawabnya?)

NYANYIAN DAN TARIAN BERHENTI SPONTAN KARENA TERIAKAN  PAMPAWA 4.

TUMARADEKA 4: Apa tak ada konsep lain kecuali turun ke jalan?

TUMARADEKA 3: Apa tak ada cara lain kecuali teriak? Ini bukan lapangan sepak bola. Hargai diri anda. Pemandu tidak tidur.

TUMARADEKA 4: Oya, maaf. (Kepada Tumaradeka 1). Daeng...

TUMARADEKA 1: Silakan.

TUMARADEKA 4: Terima kasih. Begini. Aku tidak menolak konsep turun ke jalan. Aku hanya mau mengingatkan, apabila konsep itu lagi yang kita terapkan, naga-naganya kita kembali ke titik nol.

PAMPAWA 2: Ya, ya. Benar, benar itu.

TUMARADEKA 2: Interupsi.

TUMARADEKA 1: Silakan.

TUMARADEKA 2: Agak lucu rasanya Bung Ampa’ ini. Sedetik yang lalu dia ikut teriak ‘kupilih tenggelam daripada surut, sama hanyut sama terdampar’. Kini, belum mengembangkan layar sudah surut, sudah tenggelam.

TUMARADEKA 4: Siapa bilang kita belum berlayar?! Kita malah sudah lewat tengah pelayaran! Kita sudah berulang kali menerapkan konsep seperti ini, tapi hasilnya apa? Apa? Apa hasilnya...? (Jeda).Aku hanya mengingatkan, bahwa pengalaman mengajarkan, jawaban yang kita peroleh jika konsep yang demikian itu lagi yang diterapkan, tak lebih dari satu kata, ditampung. Di-tam-pung. Mendengar jawaban itu, kita pun puas, pulang dengan hati dan wajah berbunga, dan merasa telah jadi pahlawan. Padahal...

PAMPAWA 2: Ya, betul. Betul sekali. Padahal...

TUMARADEKA 4: Ha, diam kamu, Beo...! (Sambil membekap mulut Pampawa 2). Padahal diam-diam mereka menertawakan kita. Ya, syukur-syukur kalau mereka menangis sambil mengangkat kita pahlawan kesiangan. Tapi bagaimana kalau mereka menertawakan kita sebagai pahlawan somputtinro?, pahlawan yang mampus karena tidur nyenyak? (Melepaskan Pampawa 2). Ya, hal ini lantaran ide kita telah ditampung. Ide ditampung sama dengan dipenjarakan. Dan, ya, lagi-lagi kita perlu bersyukur kalau kata ‘tampung’ itu mereka maksudkan dalam bahasa Indonesia. Kalau bukan? Dalam bahasa Bugis misalnya? Anda-anda tentu sudah tahu arti tampung dalam bahasa Bugis?!

I CALABA : Tidak. Saya tidak tahu bahasa Bugis.

TUMARADEKA 4: Mau tahu?

I CALABA: Iya dong.

TUMARADEKA 4: Kuburan.

I CALABAL: Ih, jangan, ah!

TUMARADEKA 4: Makanya! Sekian!

TUMARADEKA 3: He? Mengapa sekian? Bagaimana konsep anda?

PAMPAWA 2: Ya, mengapa sekian? Bagaimana konsep anda?

TUMARADEKA 5: Ya, lanjutkan! Bagaimana cara atau konsep yang saudara anggap tepat selain turun ke jalan? Kemukakan! Ayo, bilang!

PAMPAWA 2: Ya, kemukakan, bilang!

TUMARADEKA 3: Ya, bilang. Masa hanya tahu bongkar tak tahu pasang!

PARA TUMARADEKA: Ya, bilang... jelaskan... katakan... kemukakan...

TUMARADEKA 4: Tunggu. Tunggu dulu. Hargai diri anda lewat forum. (Mendekati Tumaradeka 2). Interupsi, interupsi...

TUMARADEKA 2:. Ya, silakan. Ayo, ayo, bicara...

TUMARADEKA 4: (Terpojok). Apa, ya...?

TUMARADEKA 3: Nah, ini. Ini dia. Saudara-saudara tahu perbedaan paling mendasar antara orang goblok dengan orang cerdas?

PARA TUMARADEKA: Apa? Bagaimana? Apa...?

TUMARADEKA 3: Begini, orang goblok selalu mengucapkan semua yang diketahuinya.

I CALABA: Orang cerdas?

TUMARADEKA 3: Mengetahui semua yang diucapkannya.

SEPI BEBERAPA LAMA, LALU MEREKA RAMAI TEPUK TANGAN KECUALI TUMARADEKA 6.

TUMARADEKA 6: Mentah. Mentah kembali. Saya pikir begini, Saudara-saudara. Yang diucapkan Bung Ampa’ tadi, ada juga benarnya. Yang saya pikirkan sekarang, adalah karena konsep gerakan Bung kita ini tidak bisa diakemukakan. Artinya masih dalam kepala. Artinya lagi, masih berbentuk pikiran. Saya pikir ini alternatif yang risikonya menjadi tanggungan bersama. Ini pikiran saya. (Jeda). Bagaimana pikiran Saudara-saudara?

TUMARADEKA 1: Bagaimana tanggapan Saudara-saudara atas ucapan Saudara kita tadi?

TUMARADEKA 7: Maaf! Saya sulit mengerti, apalagi menyetujui hal-hal yang sarat dengan kata: pikir.

TUMARADEKA 1: Maksudmu?

TUMARADEKA 7: Ya, yang konkret. Apa yang dia inginkan sesungguhnya?

TUMARADEKA 1: Okay, begini, anda inginkan apa sebenarnya?

TUMARADEKA 6: Saya pikir... eeh, sorry, maksud saya, bagaimana kalau kita cobakan sekali lagi konsep Bung Ampa?

TUMARADEKA 8: (Kepada Tumaradeka 6). Maaf, konsep yang mana?

TUMARADEKA 6: Turun ke jalan.

TUMARADEKA 8: Ooo... itu...?! (Kepada Tumaradeka 1). Bagaimana?

PARA TUMARADEKA SALING BERPANDANGAN.

TUMARADEKA 1: Mari kita manfaatkan waktu sebaik-baiknya. Bagaimana?

PARA TUMARADEKA: (Setelah saling berpandangan). Okay... turun ke jalan...!

TUMARADEKA : Terima kasih, Saudara-saudara. Jadi, sebagai kesimpulan pertemuan kita kali ini, kita harus mendatangi lagi mereka sebagaimana yang telah kita lakukan pada hari-hari sebelumnya, dengan konsep yang sama seperti dulu. Turun ke jalan! Nah, setelah kita diberi kesempatan bertemu langsung dengan mereka, kita sampaikan misi kita. (Jeda).
Ya, kita terpaksa, Saudara-saudara. Saya ulangi, ter-pak-sa, karena kita memang dipaksa untuk melakukan hal itu. Semua jalan atau cara yang kita usulkan untuk ketemu langsung dengan mereka sekian lama ini, ternyata hanya ditampung, tak ada tindak lanjut. Akibatnya, persoalan yang akan kita sampaikan tak pernah sampai, karena untuk bertemu saja sangat sulit. Karena itu, sekali lagi, kita terpaksa turun kejalan. (Jeda lagi). Bagaimana, Saudara-saudara? Setuju?

PARA TUMARADEKA: Setuju...!

TUMARADEKA 1: Ayo, kita bersiap-siap.

PARA TUMARADEKA MEMPERSIAPKAN DIRI.

PAMPAWA 4: (Tetap merobot). Untuk apa lagi menerima mereka?

PAMPAWA 3: Ya, macam-macam saja mau mereka. Yang mereka ocehkan hanya pengulangan. Tak punya tempatlah, penggusuranlah, kemiskinanlah, korupsilah... ach, macam-macam. Bosan!

PAMPAWA 1: Saya kira, kita terima saja. Bagaimana perkembangan selanjutnya, kita sesuaikan situasi dan kondisi. Tapi sebelumnya, kita pantau mereka lewat monitor kita. Ayo, semua ke sini.

DI LILI’ RIASE’. PARA PAMPAWA MEMANTAU AKTIVITAS PARA TUMARADEKA LEWAT MONITOR, SEMENTARA ITU PARA TUMARADEKA MENYIAPKAN SEGALANYA UNTUK TURUN KE JALAN, SEPERTI SPANDUK, SOUND SYSTEM, DLL

PAMPAWA 3: Sulit. Dengan cara seperti itu, seperti yang mereka lakukan sebelumnya, waktu dan energi terbuang percuma. Saya tidak setuju menerima mereka.

TUMARADEKA 1: Kita mulai!

PARA TUMARADEKA MENARI DAN MENYANYI.

Gunturu’nuji malompo.
Ma'rencong-rencong... Ma'rencong...
Killa’nu malla’bang lino
Bosi sarronu.
Tammaliyang tompo’
Oe ddendanga da'ddumba'...
Oe paramata bengko'na...

NYANYIAN MAKIN LAMA MAKIN GEGAP GEMPITA, TAPI SELANJUTNYA BERIRAMA RAPP.

PARA TRUMARADEKA: (Rapp) Gunturu’nuji malompo.

I CALABA: (Rapp). Yang dahsyat cuma gunturmu.

PARA TUMARADEKA: (Rapp). Killa’nu malla’bang lino.

I CALABA: (Rapp). Kilatmu menyungkup bumi.

PARA TUMARADEKA: (Rapp). Bosi sarronu.

I CALABA: (Rapp) Hujan lebatmu.

PARA TUMARADEKA: (Rapp). Tammaliyang tompo’ bangkeng.

I CALABA: (Rapp). Tak menyentuh punggung kaki.

PARA TUMARADEKA : (Rapp). Bisanya cuma pidato... Kampanye di mana-mana...Tanda tangan banyak-banyak... Buktinya... Buktinya... Buktinya...

GERAKAN DAN SUARA PARA TUMARADEKA YANG PADA AWALNYA BERIRAMA, BERUBAH MENJADI GERAK DAN SUARA LIAR. SARANG LABAH-LABAH MULAI DISENTUH, LALU BERUBAH JADI SENTAKAN-SENTAKAN. BEBERAPA JARING TERPUTUS. PAMPAWA 2 (PAK BEO) MENGHALANGI TAPI TIDAK MAMPU. DIA MENGAMBIL HP-NYA, MENINDIS ANGKA-ANGKA. NAMUN, BELUM SEMPAT BICARA, SEORANG TUMARADEKA MELONCATINYA. AKHIRNYA DIA LARI LINTANG-PUKANG KARENA DIKEJAR.

PARA TUMARADEKA YANG SEJAK TADI BERTERIAK, BERGERAK, MEMAKI, MENGHARDIK TANPA TANGGAPAN DARI LILI' RI ASE', PADA AKHIRNYA CAPEK SENDIRI, LOYO, LONGSOR SATU DEMI SATU. DIAM.

MENYAKSIKAN HAL ITU, PAMPAWA 4 (KOMANDAN ROBOT) MENGAMBIL TALI YANG TELAH DISIAPKAN, MELEMPARKAN UJUNGNYA YANG DIGANTUNGI SELEMBAR UANG KERTAS RAKSASA SEPERTI ORANG MEMANCING. LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN TERJAGA OLEH LIUKAN-LIUKAN TALI DI TUBUH MEREKA. KEDUANYA LANGSUNG MEMERHATIKAN SITUASI DI LILI' RI ASE'.

DI LILI’ RIAWA, BENANG TENUN BUNDA TUA LAGI-LAGI KUSUT.

BUNDA TUA: Kusut lagi... kusut lagi... (Diuraikannya dengan tenang dan sangat sabar sambil bersenandung).

BUNDA TUA: (Senandika). Bagaimana jadinya kalau kusut tiap saat... Bagaimana jadinya tenunan ini...

PAMPAWA 2 SAMPAI DI LILI' RI ASE'

PAMPAWA 1: Bagaimana? Pelajaran sudah selesai?

PAMPAWA 2: Iya... iya...

PAMPAWA 3: Begitu cepat?

PAMPAWA 2: Eh, belum. Anu. Tambah kurang ajar mereka. Aku dikejar.

PAMPAWA 3: Menantang barangkali?

PAMPAWA 2: Menghalangi. Tapi awalnya saya membenarkan, mengiyakan semua yang mereka bilang.

PAMPAWA 3: Oh, bagus itu. Bagus, tapi tunggu... (Memegang bajunya sendiri). Baju kerajaan? Simpan di mana? Dipakai ‘kan saat turun tadi?!

PAMPAWA 2: O iya... aduh...

PAMPAWA 4: Bagaimana kamu ini?

PAMPAWA 3: Ya. Kamu kira untuk memperoleh baju semacam itu sama gampangnya di pasar? Kamu kira baju itu bisa saja dipakai setiap orang? Kamu kira orang kaya atau sarjana, atau orang kaya yang sarjana bisa saja memakai baju seperti itu seenaknya?

PAMPAWA 2: Aduuuh... maaf... maaf, Bu.

PAMPAWA 4: Ya, bagaimana kamu ini?! Kamu merusak citra para Pampawa. Bisa-bisa kamu ini di-recall.

PAMPAWA 2: Maaf... maaf, Pak...

PAMPAWA 3: Permintaan maaf saja tak mampu mengembalikan baju. Tak tahu diri!

PAMPAWA 2: (Menangis, meraung). Aduh, Bu... ampun. Ampun, Bu... Takkan terulang lagi... tolong...

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI LILI’ RITENNGA YANG SUDAH TERJAGA OLEH SAMBARAN TALI DARI LILI’ RIASE’, MEMERHATIKAN SITUASI LILI’ RIASE’. KEDUANYA LALU MENCARI BAJU PAMPAWA 2.

PAMPAWA 3: Tidak! Tidak ada ampunan. Cari dan temukan secepat mungkin! Itu yang penting!

PAMPAWA 2: Iya... iya... (Kepada Pampawa 1). Bagaimana, Pak? Saya turun, Pak?

PAMPAWA 1: Kamu sudah dapat pelajaran Bab Pertanggungjawaban, ‘kan?

PAMPAWA 2: Iya, sudah... sudah, Pak!

PAMPAWA 1: Nah, praktikkan. Teori dipelajari untuk dicobakan lewat praktik.

PAMPAWA 2: Baik... baik. (Pergi).

PAMPAWA 3: Sekadar les tambahan.

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN YANG SUDAH MENEMUKAN BAJU PAMPAWA 2, MENGHILANG DI SALAH SATU SISI BERSAMAAN MASUKNYA PAMPAWA 2 DARI SISI LAIN DI LILI’ RITENNGA. DIA LANGSUNG MENCARI BAJU SAFARINYA DI BERBAGAI TEMPAT TAPI TAK DITEMUKANNYA.

PAMPAWA 2: (Sambil terus mencari di antara para Tumaradeka yang masih tergeletak kecapekan). Ach, jangan-jangan kedua anak ingusan itu tadi. Cuma mereka yang melihat saya menyembunyikannya di sini. Di sini ini saya simpan... Di sini... Mana, ya? Ach, pasti. Pasti. Siapa lagi kalau bukan kedua anak ingusan itu?! Kurang ajar! Awas kalian... (Pergi).

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN SAMPAI DI LILI’ RIASE’. KEDUANYA TERHENYAK SAAT BERTEMU PANDANG DENGAN PAMPAWA 1. PAMPAWA 2 KE LILI’ RIASE.

LAKI-LAKI: Baju ini kami temukan di bawah.

PEREMPUAN: Sengaja kami ambil lalu bawa ke sini. Kami tidak...

PAMPAWA 2: (Muncul di Lili' Riase'). Ya. Tidak salah duga aku, bukan? Kalian rupanya. Kalian kira untuk memperoleh baju semacam itu sama gampangnya di pasar? Kalian kira baju itu bisa saja dipakai setiap orang? Kalian kira orang kaya atau sarjana, atau orang kaya yang sarjana bisa saja memakai baju seperti itu seenaknya? Apalagi seperti kalian yang tidak punya apa-apa?

PEREMPUAN: Tunggu!

PAMPAWA 2: (Menghabiskan marahnya). Apalagi seperti kalian... Bukan sarjana, tidak kaya lagi! Ttempat tinggal saja tidak ada. Orang macam kalian sangat tidak pantas untuk baju seperti ini. Tahu...?!

PEREMPUAN: Hoe! Dengar! Kami ambil ini bukan karena kami mau pakai! Kami sengaja bawa ke sini untuk mengembalikannya pada kamu! Tak tahu diri! Tak tahu bersyukur! Dibantu malah menuduh! (Mengambil baju itu dari tangan Laki-Laki, lalu dilemparkannya ke wajah Pampawa 2). Ambil, Beo! Ayo!

LAKI-LAKI: Sebentar.

PEREMPUAN: Apa lagi? Mau tinggal di tempat sampah sini?

PAMPAWA 4: (Tetap merobot). He, mulut kamu! Jaga!

LAKI-LAKI: Maaf. (Mendekati Perempuan). Begini. Aku ingin menyampaikan sesuatu. Sudah lama kurindukan pertemuan seperti ini. Mumpung di sini.

PEREMPUAN: Tapi, Kak...

LAKI-LAKI: Sebentar saja.

PEREMPUAN: Tapi ingat pesan Bunda. Laki-laki Lili’ Riawa di mana saja dan kapan saja harus tetap laki-laki.

LAKI-LAKI: Jangan khawatir. Pesan Bunda sejak kecil tak pernah aku lupa. (Kepada Pampawa 1). Boleh kami bicara?

PAMPAWA 3: Mewakili siapa?

PEREMPUAN: Aduh, haruskah mewakili sesuatu kalau seseorang hadir di sini?

PAMPAWA 3: Bukan lagi harus, tapi wajib. Itu persyaratan utama. Mutlak.

PAMPAWA 4: (Tetap merobot). Kalau tidak, itu dosa. Ini kantor para wakil...

LAKI-LAKI: (Memotong karena lamban). Waduh, bagaimana, ya? (Jeda). Kalau begitu, kami mewakili para Tumaradeka.

PAMPAWA 3: Rekomendasi?

LAKI-LAKI: Apa itu rekomendasi?

PAMPAWA 4: Surat! Mana?

LAKI-LAKI: Apa itu perlu?
PAMPAWA: Tanpa rekomendasi, tak mungkin.

LAKI-LAKI: Kalau begitu, kami mewakili diri sendiri.

PAMPAWA 3, PAMPAWA 4:  Tidak boleh.

PEREMPUAN: Mengapa tidak?!

LAKI-LAKI: Kalian ‘kan wakil kami! Jadi...

PAMPAWA 3: Itu... dulu...

PEREMPUAN: Sekarang?

PAMPAWA 4: Ach, tidak boleh!

LAKI-LAKI: Mengapa tidak boleh?

PAMPAWA 3: Tidak boleh!

LAKI-LAKI: Iya, tapi mengapa tidak boleh?

PAMPAWA 3: Pokoknya, tidak! Tidak boleh! Titik!

PAMPAWA 4: Tahu arti tidak?!

PAMPAWA 1: Aku mau bicara 6 mata dengan mereka.

PAMPAWA 2, 3, DAN 4 MENGERTI. KETIGANYA LALU PERGI TAPI BERSUNGUT-SUNGUT.

PEREMPUAN: (Melorot di kaki Pampawa 1). Kakak!

PAMPAWA 1: Ikut ganrang bulo di Lili’ Ritennga tadi?

PEREMPUAN: Ikut. Mengapa?

PAMPAWA 1: Mengapa ikut? Ganrang bulo itu permainan kanak-kanak. Permainan kita semasih kecil.

LAKI-LAKI: Tapi mencerminkan persatuan dan sarat dengan kasih sayang.

PAMPAWA 1: Apa persatuan bisa tercermin dari maki-maki?

PEREMPUAN: Kak, itu bukan maki-maki. Itu kritik, dan, kritik adalah peringatan.

PAMPAWA 1: Maksud kamu?

LAKI-LAKI: Kritik adalah peringatan dalam bentuk lain.

PEREMPUAN: Kakak tak mau diingatkan? Tak mau dikritik?

PAMPAWA 1: Kalian anggap kami di sini anti kritik?

PEREMKPUAN: Kami tidak bilang demikian. Tapi kenyataan mengatakan ya. Kenyataan membuktikan bahwa kakak dan kawan-kawan kakak anti kritik.

PAMPAWA 1: Kalian ingin apa sebenarnya?

AKI-LAKI: Mengambil alat tenun yang baru sebagaimana janji kakak pada Bunda.

PEREMPUAN : Kakak, kami sesungguhnya tidak bermaksud ke sini, karena yakin, kakak yang sudah jadi pampawa akan selalu hadir di tengah. Tapi ternyata kakak terlena di tudangeng salakae, singgasana perak yang berhasil kakak duduki.

LAKI-LAKI : Kakak ingat janji kakak ketika pamit pada Bunda di Lili’ Riawa? Kakak berjanji mencari alat tenun yang bagus untuk Bunda, ‘kan? Mana? Mana alat tenun yang bagus itu? Mana?

PAMPAWA 2, 3, DAN 4 MUNCUL. PAMPAWA 3 LANGSUNG BERBISIK PADA PAMPAWA 1. PAMPAWA 1 TIDAK BEREAKSI SEDIKIT PUN. PAMPAWA 3 BERBISIK PADA PAMPAWA 4, PAMPAWA 4 PADA PAMPAWA 2.

PAMPAWA 2 : Masih. Masih ada.

PAMPAWA 1: Begini, bagaimana kalau kalian... Eh, tidak... maksud saya...

PAMPAWA 2 MUNCUL MEMBAWA SEBUAH BUNGKUSAN, LANGSUNG DISERAHKANNYA KEPADA PAMPAWA 4, PAMPAWA 4 KE PAMPAWA 3, PAMPAWA 3 KE PAMPAWA 1.

PAMPAWA 1: (Menyodorkan bungkusan). Sekadar oleh-oleh. Dua pasang pakaian seperti yang kami pakai ini.

PEREMPUAN:Terima kasih, tapi kata Bapak itu... (Menunjuk Pampawa 2), orang seperti kami ini tidak pantas memakainya. Maaf, kami pergi.

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN PERGI.

PAMPAWA 4:  Penghinaan. Pertama kalinya terjadi. Padahal ada saja, bahkan banyak orang yang membeli baju seperti ini di atas harga pasar.

PAMPAWA 3:  Arang... Arang... Mereka arang yang mencoreng kening kita.

PAMPAWA 2: Ya, arang... arang...

PAMPAWA 4: Bagaimana? Perlu saya bertindak?

PAMPAWA 1: Jangan.

PAMPAWA 4:  Mengapa jangan?

PAMPAWA 3: Ya, mengapa jangan? Mengapa?

PAMPAWA 2: Ya, ya. Mengapa jangan, Pak?

PAMPAWA 3: Mereka menghina Bapak, menghina pimpinan pampawa. Menghina Bapak berarti menghina...

PAMPAWA 2: Ya, menghina..

PAMPAWA 4: Saya bertindak?

PAMPAWA 2, 3: Ya, tangkap!

PAMPAWA 1: Diam! Semua tetap di tempat!

PAMPAWA 3: (Jeda). Baik, tapi boleh kami deteksi yang lain?

PAMPAWA 1: Silakan, tapi ingat, jangan coba-coba lakukan sesuatu di luar kehendakku. Kalian sudah kenal siapa aku!

PAMPAWA 2 MENJUNTAIKAN LAGI TALI. DILIUKKANNYA KE BERBAGAI ARAH. TUMARADEKA 4 TERSENTUH. DITANGKAPNYA TALI ITU DAN TERPANCING NAIK KE LILI’ RIASE’. SESAMPAI DI ATAS, DIA LANGSUNG DISAMBUT, DILAYANI OLEH PAMPAWA 2. MENDADAK SUARA DAN GERAK TUMARADEKA 4 KEBANCI-BANCIAN.

TUMARADEKA 4: Enak... enak, ya, di sini...

PAMPAWA 2 KEMBALI MENJUNTAIKAN TALI. KINI I CALABA YANG TERSAMBAR. DIA TERSERET KE BERBAGAI ARAH SEBELUM TERPANCING SAMPAI KE ATAS.

TUMARADEKA 4: Lho kok lho kok! Kau bagaimana? Tidak di sini? Sama.(Merangkul I Calaba, tapi yang dirangkul bergidik).

TALI DIJUNTAIKAN OLEH PAMPAWA 3, DAN DIARAHKAN PADA TUMARADEKA 1 DAN 2. TAPI KEDUANYA SELALU MENEPISKAN TALI ITU SEPERTI ORANG TIDUR YANG TERGANGGU SEEKOR LALAT’.

PAMPAWA 3: (Menarik tali ke atas). Wajar... wajar... Ada yang mau, ada yang sangat mau, ada yang tidak mau, ada yang sangat tidak mau. Tanpa antagonis takkan ada protagonis. Itulah kehidupan. Dinamika kehidupan. Marekalah sumber segala-galanya. Sumber inspirasi. Iya, tokh? Wajar, toch?

PAMPAWA 2: Iya, iya, wajar...

PAMPAWA 3: Kehidupan ini akan monoton, tak ada ritme kalau tak ada konflik.

PAMPAWA 2: Iya, memang. Kehidupan ini akan monoton kalau tak ada konflik.

PAMPAWA 3: Mereka takkan berarti apa-apa tanpa kita. Iya, tokh?

PAMPAWA 2: Iya, mereka takkan berarti apa-apa tanpa kita.

PAMPAWA 3: (Kepada Tumaradeka 4 dan I Calaba). Silakan berkenalan dengan Bapak Pimpinan.

I CALABA JABAT TANGAN DENGAN PAMPAWA 1, SEDANGKAN TUMARADEKA 4 MENCIUM LUTUT PAMPAWA 1.

PAMPAWA 3: Selanjutnya?

PAMPAWA 1: Ya, sudahlah. Lupakan yang tadi. (Kepada Pampawa 2 dan 4). Benahi mereka. (Kepada Pampawa 3). Ayo, kita cari penyegaran.

PAMPAWA 3: Di mana?

PAMPAWA 1: Gedung kesenian.

PAMPAWA 2: Jadi, kami?

PAMPAWA 1: Penataran.

PAMPAWA 2:Boleh nyusul selesai penataran?

PAMPAWA 1: Silakan.

PAMPAWA 2: Terima kasih.

PAMPAWA 1: Persiapkan segera

PAMPAWA 2 DAN 4 PERGI.

PAMPAWA 3: Tunggu dulu. Cari penyegaran di gedung kesenian? Penyegaran bagaimana?

AMPAWA 1: Nonton pertunjukan sandiwara.

PAMPAWA 3:

PAMPAWA 1: Aduh bagimana? Takut dikritik? Memangnya pertunjukan sandiwara bisa memengaruhi program pampawa? Yang bisa memengaruhi, malah menantang program pampawa bukan pertunjukan sandiwara, melainkan permainan sandiwara. Pertunjukan sandiwara karya seni. Ingat, kritik lewat karya seni justru dukungan dalam bentuk lain. Suasana semacam itu harus tetap dipelihara, bahkan wajib diberi subsidi, sedikit, agar pandangan luar mengakui bahwa pampawa membuka pintu untuk selalu dikritik, selalu diingatkan. Apalagi subsidinya ‘kan kita yang tentukan, kita yang atur. Oh, ya. Bagaimana kavlingmu?
PAMPAWA 1: Tidak. Serius ini. Itu... kegiatan kesenian tiap tahun di... Itu kavling kamu,’kan?

PAMPAWA 3: Oh, yang di itu... ya sudah. Beres, Pak.

PAMPAWA 1: Apa lagi? Buktikan bahwa kita pejuang kesenian. Kita ‘kan yang perjuangkan anggarannya. Artinya, kita pejuang ‘kan? Ayo, go... (Pampawa 1 dan 3 pergi).

TUMARADEKA 4 DAN I CALABA MENYETUBUHI KURSI. BEBERAPA LAMA KEMUDIAN, KEDUANYA ORGASMUS. PAMPAWA 2 DAN 4 KEMBALI MUNCUL DENGAN DUA KALENG PARFUM. I CALABA DAN TUMARADEKA 4 DISEMPROT DENGAN KERAS SEHINGGA KEDUANYA BERSIN HABIS-HABISAN.

PAMPAWA 2: Tahan... Tahan. Memang begitu kalau belum biasa. Tahan...

I CALABA DAN TUMARADEKA 4 TERKEKEH SENANG DI ANTARA BERSINNYA.

I CALABA: Tunggu dulu. Bapak ‘kan yang ikut turun ke jalan di Lili’ ri Tennga tadi?

PAMPAWA 2: Iya, mengapa?

TUMARADEKA 4: Jadi, Bapak juga anggota Pampawa?

PAMPAWA 2: (Terkekeh). Kehidupan. Inilah salah satu sisinya. Salah satu sisi kehidupan. Aku di sini bersama mereka yang di sini. Aku di sana bersama mereka yang di sana. Karena apa? Karena merekalah sumber segala-galanya. Sumber inspirasi. Aku harus ada di mana-mana. Wajar... Wajar... (Kepada Pampawa 4). Iya, tokh? Wajar, tokh?

I CALABA: Wah, benalu kalau begitu.

PAMPAWA 2: Sisi kehidupan. Ingat? (Kepada Pampawa 4). Iya tokh, Pak?

PAMPAWA 4: (Menguap). Apa?

PAMPAWA 2: Harus ada di mana-mana. Wajar ‘kan? Iya, tokh?

PAMPAWA 4: Barangkali.

PAMPAWA 2: Mengapa barangkali?

PAMPAWA 4: (Menguap lebih lebar lagi). Ach, tidak tahu saya. Ach, sudah, Saya ngantuk. Kalau ada keributan jemput saya. (Mengambil pistol di salah satu tempat lalu pergi).

PAMPAWA 2: Apa itu?

PAMPAWA 4: Sekadar jaga diri. (Menunjukkan pistol itu lalu diselipkannnya di balik bajunya. Segera kontak kalau ada apa-apa.

PAMPAWA 2: HP masih nomor yang dulu 'kan?

MASIH MEROBOT PAMPAWA 4 PERGI SETELAH MENGANGGUK.

PAMPAWA 2: (Kepada Tumaradeka 4 dan I Calaba). O, ya. Saya diberi tugas menatar kalian yang baru di sini. Begini. Tanda-tanda zaman. Semua, siapa pun harus mampu membaca tanda-tanda zaman. Sebab kalau tidak, itu berarti buta zaman. Dan kalau buta zaman, pasti tidak bisa melihat zaman. Mengerti?

I CALABA DAN TUMARADEKA 4 SALING BERPANDANGAN.

PAMPAWA 2: Belum mengerti juga, ya? Bodoh amat kalian ini. Begini. Kalian, kamu berdua dan mereka, teman-temanmu yang di Lili’ Ritennga itu harus sadar terhadap zaman, kapan dan di mana saja. Sebab kalau tidak, kalian takkan berarti apa-apa. Dan kalau tidak ada arti, apa artinya? Jadi, arti kalian, adalah tak berarti. Dan agar kalian ada arti seperti aku ini, kalian harus seperti aku. Artinya, kalian dengan teman-temanmu harus bersatu di bawah kami. Ingat, di bawah kami! Itu namanya persatuan dan kesatuan, karena kita harus, bahkan wajib bersatu.
(Retorik). Saudara-saudara, kita harus bersatu. Apa sebab, Saudara-saudara? Ya, sebab kalau tidak bersatu, berarti kita terpecah-pecah. Dan kalau kita terpecah-pecah berarti kita tidak bersatu. Kita harus bersatu-padu. Makanya, Saudara-saudara, kita harus memberi arti diri kita. Bagaimana?

TUMARADEKA 4: (Kebanci-bancian). Benar. Benar itu, wajib, dan, kalau tidak, itu namanya dosa. Wajib bersatu. Saudara-saudara, kalian wajib bersatu di bawah kami.

PAMPAWA 2: (Kepada I Calaba). He, Kamu.

I CALABA: Saya? Kenapa saya?

PAMPAWA 2: Ulangi yang diucapkan temanmu tadi.

I CALABA: Kenapa?

PAMPAWA 2: Kenapa kenapa! Ini penataran. Aku penatar. Kamu peserta. Ikut!

I CALABA: Nanti.

PAMPAWA 2: Nanti kapan? Tidak lolos kamu. Awas. (Senandika). Ach, bodoh amat aku. Ini kesempatan... rezeki nomplok... Bikin dua angkatan! Dua proposal. (Kepada I Calaba). Okay?! Okay... okay... Nanti. Tapi ingat, nanti harus ikut. (Kepada Tumaradeka 4). He, kamu. Ulangi kalimat terakhir.

TUMARADEKA 4: Yang mana?

PAMPAWA 2: Itu... persatuan...

TUMARADEKA 4: Hm... Ya! Benar. Benar itu, wajib, dan, kalau tidak, itu namanya dosa. Wajib bersatu. Saudara-saudara, kalian wajib bersatu dengan kami.

PAMPAWA 2: Salah! Begini. Saudara-saudara, kita wajib bersatu di bawah mereka!
TUMARADEKA 4: Saudara-saudara, kita wajib bersatu di bawah mereka.

PAMPAWA 2: Bagus! Lanjutkan

TUMARADEKA 4:Apa lanjutannya?

PAMPAWA 2: Addduh, betul-betul... Hei, pernah ikut penataran, belum?!

TUMARADEKA 4: Belum.

PAMPAWA 2: Pantas. Lanjutannya, itu yang saya bilang tadi. Ach, begini, ikuti saya. Siap?

TUMARADEKA 4: Siap!

PAMPAWA 2: Saudara-saudara, kita wajib bersatu.

TUMARADEKA 4: Saudara-saudara, kita wajib bersatu.

PAMPAWA 2: Apa sebab, Saudara-saudara?

TUMARADEKA 4: Apa sebab, Saudara-saudara?

PAMPAWA 2: Ya, sebab kalau tidak bersatu...

TUMARADEKA 4: Ya, sebab kalau tidak bersatu...

PAMPAWA 2: ... berarti kita terpecah-pecah.

TUMARADEKA 4: ... berarti kita terpecah-pecah.

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN MUNCUL DI LILI’ RITENNGA MENDEKATI TUMARDEKA 1 DAN 2 YANG MASIH TERGOLEK.

PAMPAWA 2: Dan kalau kita terpecah-pecah berarti kita tidak bersatu.

TUMARADEKA 4: Dan kalau kita terpecah-pecah berarti kita tidak bersatu.

TUMARADEKA 1 DAN 2 DI LILI’ RITENNGA TERJAGA KARENA DIBANGUNKAN OLEH LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN. MEREKA LALU MEMERHATIKAN SITUASI DI LILI’ RIASE’.

PAMPAWA 2: Makanya, Saudara-saudara...

TUMARADEKA 4: Makanya, Saudara-saudara...

PAMPAWA 2: Kita wajib bersatu.

TUMARADEKA 4: Kita wajib bersatu.

PAMPAWA 2: Kalian takkan berarti apa-apa tanpa kami.

TUMARADEKA 4: Kalian takkan berarti apa-apa tanpa kami

TUMARADEKA 1: Sudah ketularan virus beo dia.

TUMARADEKA 2; (Berteriak). Kalian pun takkan berarti apa-apa tanpa kami. Sekarang?

TUMARADEKA 1: Ya, saatnya sudah tiba. Ayo!

LAKI-LAKI, PEREMPUAN; Tunggu!

TUMARADEKA 1: Apa?!

LAKI-LAKI: Kami baru saja dari sana.

TUMARADEKA 2: O, sudah jadi sampah juga di Lili’ Riase’?

LAKI-LAKI: Kami tak akan ada di sini andai sudah jadi sampah.

TUMARADEKA 1: Hoe, mau apa ke sana?

PEREMPUAN: Mengembalikan baju Pak Beo.

TUMARADEKA 1: Tidak diajak tinggal di sana?

LAKI-LAKI; Diajak, malah diberi pakaian. Tapi untuk apa? Ikut-ikutan jadi beo?

TUMARADEKA 1:(Tak peduli lagi pada Laki-Laki, lalu kepada Tumaradeka 2). Ayo!

LAKI-LAKI: Sebaiknya urungkan rencana ke atas. Waktunya tidak tepat.

TUMARADEKA 2: Bukan tidak tepat, tapi mendesak! Ayo!

TUMARADEKA 1 DAN 2 MENEROBOS MASUK KE SARANG LABAH-LABAH, LALU MELONCAT KE LILI’ RIASE’, SEMENTARA TUMARADEKA LAINNYA KE ARAH ALIN. PAMPAWA 2 AKAN LARI KETIKA TUMARADEKA 1 DAN 2 SUDAH DI LILI' RI ASE'.

I CALABA: Menangkap kerah belakang baju Pampawa 2). Tenang... Sisi kehidupan kata kamu!

PAMPAWA 2 BERHENTI. TUMARADEKA 4 DAN I CALABA LANGSUNG MEMELUK TUMARADEKA 1 DAN 2.

TUMARADEKA 1: Enak, ya, di sini?

TUMARADEKA 2: Tidak kepanasan... atau... tidak kedinginan?

TUMARADEKA 4: Meraung sambil memperketat pelukannya, tapi tiba-tiba raungan itu berhenti). He, Calaba, sini sebentar

I CALABA: Ya, Bung Ampa’?.

TUMARADEKA 4: Kijang jantan kita bau... (Kepada Pampawa 2). He, Beo!

PAMPAWA 2: Apa?!

TUMARADEKA 4: Parfum...

PAMPAWA 2: Maksud saya, apa yang kamu bilang barusan?

TUMARADEKA 4: Parfum...?

PAMPAWA 2: Bukan! Yang sebelumnya!

TUMARADEKA 4: Pak Beo...

PAMPAWA 2: Nah, itu. Mulai berani kamu, ya? Baru saja duduk di tudangeng gellannge, singgasana kuningan, sudah berani sebut saya beo.

TUMARADEKA 4: Maaf, maaf, Pak. Sekadar refreshing... penyegaran.

PAMPAWA 2: Refreshing... penyegaran... Ubah kata-katanya! Bukan Beo!

TUMARADEKA 4: Jadi, pakai "pak"? Pak Beo?

PAMPAWA 2: Bukan Pak Beo, apalagi kalau hanya Beo! Pampawa!. Dengar? Pam-pa-wa!

TUMARADEKA 4: Okay. (Merajuk). Pampawa, sayang. Parfum...

PAMPAWA 2: Ya, gitu dong! (Menyerahkan kaleng parfum).

TUMARADEKA 1 DAN 2 BERSIN SETENGAH MATI KARENA DISEMPROT. SEMENTARA ITU PAMPAWA 1 DAN 3 SAMPAI DI AUDITORIUM GEDUNG KESENIAN.

PAMPAWA 1: Waduh, sudah main. Terlambat kita. Bagaimana, ya?

PAMPAWA 3: Kita pulang saja.

PAMPAWA 1: Hm, begini. Kita tinggal saja, hitung-hitung sebagai saksi kalau ada apa-apa. (Kepada salah seorang penonton). He, apa judulnya?

TUMARADEKA 3: Kita.

PAMPAWA 1: Kita?!

TUMARADEKA 3: (Yang jadi penonton). Eh, Bapak. Sini, Pak.

PAMPAWA 1: Judulnya apa?

TUMARADEKA 5: (Juga jadi penonton). Orang-orang Tak Bernegara.

PAMPAWA 1: Tadi dia ini bilang Kita.

TUMARADEKA 5: Oh, maksudnya begini, Pak. Dianggapnya semua penonton pertunjukan sandiwara itu orang-orang tak bernegara, orang-orang yang tidak berterima di mana-mana. Jadi, ya, dia bilang kita-kitalah ini. Ternyata, eh, Bapak. Sini, Pak.

TUMARADEKA 3: Maaf, Pak. Saya kira tadi siapa. Maaf, rupanya pampawa senang juga pertunjukan sandiwara.

PAMPAWA 1: Konsepnya? Maksud saya, konsep teaternya?

TUMARADEKA 3: Belum tahu, Pak. Kita saksikan saja.

TUMARADEKA 1 DAN 2 MASIH BERSIN.

TUMARADEKA 4: Tahan... tahan... memang begitu kalau belum biasa. Iya, tokh, Calaba?!

I CALABA: Hm... (Ikut bersin).
MEREKA TERTAWA SAMBIL BERANGKULAN. TAPI SESAAT BERIKUTNYA TUMARADEKA 1 DAN 2 PELAN MELOROT, MENJANGKAU TALI, DAN SECEPAT KILAT MENJERAT LEHER I CALABA DAN TUMARADEKA 4.

PAMPAWA 2: Wah, gawat... Pak Robot...Pak Robot! Tugasmu, Pak Robot...! Pak... Bu...! (Meloncat pergi).

TUMARADEKA 1: Maafkan kami. Kami sangat mencintaimu, sahabatku.

TUMARADEKA 4:Dengan... dengan membunuh kami? (Mengeluh, meregang, diam).

I CALABA: (Menahan jerat di lehernya). He, apa-apaan ini...?

TUMARADEKA 2: Kami mencintaimu, Sahabatku.

I CALABA: Dengan menjerat leher? Cinta apa namanya?

TUMARADEKA 1: Kematian sebagai akhir konflik, tidak selalu karena benci, sahabatku. Itu, pencinta dari Sulawesi Selatan, Maipa Deapati, rela mati oleh keris matatarampanna milik Datu Museng, suaminya, karena cintanya pada suaminya, karena dia sangat tidak mau pada Belanda penjajah yang ingin merebutnya.

TUMARADEKA 2:Dan kau, Bung Ampa’... yang vokalis, yang suaranya sangat keras di Lili’ Ritennga, sekarang di Lili’ Riase’ ini mulai ketularan virus beo!

PAMPAWA 3: (Di auditorium). Wah... wah... tidak cocok itu. Salah itu! Wah, gawat ini. Hoe, kalian dengar, tidak betul itu. Tunggu dulu!

TUMARADEKA 2: Siapa itu?

PAMPAWA 3: (Di auditorium). Tunggu! Jangan seenaknya menjatuhkan vonis tanpa argumentasi!

TUMARADEKA 1: Siapa itu? Ikut nimbrung? Bagus. Tidak apa. Ini teater.

TUMARADEKA 3: (Di auditorium). Konsep teaternya?

TUMARADEKA 2: Singkatnya, konsep teater legislatif.

PENONTON: Bagaimana itu?

TUMARADEKA 1: Anda berteater pada saat anda lupa bahwa anda sedang berteater. Okay?

TUMARADEKA 3: Bisa lebih diperjelas?

TUMARADEKA 1: Ya, seperti yang sedang berlangsung sekarang ini. Ibu-ibu, Bapak-bapak, dan siapa pun yang ada di sini, sedang berteater, tapi bukan di panggung prosenium atau arena, melainkan di atas bumi ini. Ibu-ibu dan Bapak-bapak adalah aktor dan aktris yang sesungguhnya.

PAMPAWA 3: Tidak betul itu!

TUMARADEKA 2: Begitu getol membantah kenyataan?!

I CALABA: He, dengar, Bu. Aku juga mau bicara. Dengarkan aku. Sekarang ini aku sungguh- sungguh berteater, di bumi ini, buykan di gedung kesenian, atau di arena terbuka...

TUMARADEKA 2: Wah, meningkat kebenconganmu...

I CALABA: Benar. Kebenconganku bertambah. Dengar. Contohnya aku. Aku tidak membantah kenyataan, tapi kenyataan yang membuktikan bahwa aku bukan dia, bukan Pak Beo, yang meloncat meninggalkan wilayah Lili’ Riase’ ini saat kalian, Tumaradeka, ada di sini. Aku bukan dia, Bung Ampa’ ini, yang jadi pahlawan  somputtinro, pahlawan yang mampus karena tidur nyenyak, di atas sini. Ketika di Lili’ Ritennga suaranya lantang bukan main, tapi setelah ada di sini, dia jadi calabai, banci, lebih banci daripada aku. Bahwa aku, bukan karena aku di sini lantas gerak dan cara ngomongku begini, tapi karena keberadaanku memang begini sejak dulu, sejak dilahirkan di Lili’ Riawa.

PAMPAWA 3: Pintar mengelak kamu, ya?! Awas!

TUMARADEKA 1: He, kami tidak takut di-recall?

I CALABA: Recall? Apa arti recall bagi sebuah prinsip?

TUMARADEKA 1, 2: Prinsip?

I CALABA: Ya! Prinsip bahwa kehadiranku di sini, untuk sementara, sama dengan kamu dan kamu, untuk kepentingan mereka, orang-orang yang tak bernegara, orang-orang yang tak berterima  di mana-mana. Tapi kalian salah kaprah! Terlalu gegabah! Ceroboh! Aku baru berusaha jadi jembatan, kalian sudah bertindak. (Memberontak dan jerat putus). Pak Beo...! Ke mana dia? Pak... Pak Beo...! (Akan pergi).

TUMARADEKA: He, akan ke mana kamu?

I CALABA&: Ke Lili' Ritengga, cari Pak Beo.

TUMARADEKA 2: Tapi jangan coba bikin macam-macam lagi di sana!

I CALABA: Aku calabai, banci, tapi bukan laki-laki yang kebanci-bancian seperti anggapan kalian. Aku begini karena, ya... memang dari sononya, eeh... dari sonoku. Aku pergi. Daaag...

TUMARADEKA 1: Tunggu. Coba lihat disana. (Menunjuk ke arah para Pampawa di auditorium). Kita tunggu di sini.

PAMPAWA 2 DAN 4 DI AUDITORIUM MENEMUI PAMPAWA 1 DAN 3.

I CALABA: Eh, itu dia... Pak...! Pak Be... Eh, Pak Pampawa...!

PAMPAWA 2:(Menyahut dari auditorium). Tunggu...! (Kepada Pampawa 1). Pak... Pak... Bahaya. Bahaya!

PAMPAWA 1: Ssst! Jangan ribut. Ini gedung kesenian, bukan lapangan sepak bola.

BUNDA:(Masih dalam alat tenunnya menguraikan benang-benang yang kusut di Lili' Riawa). Ah, kusut. Kusut lagi...

PAMPAWA 3: (\Masih di auditorium). Tidak boleh! Tidak boleh dibiarkan. Bagaimana? (Kepada Pampawa 1). He, bagaimana ini? Ini harus ditangani secepatnya sebelum merambat! Harus! Ayo, sebelum terlambat!(Melihat Pampawa 1 tak berkutik). He, bagaimana Bapak ini? (Menyeret Pampawa 1. Pampawa 2 dan 4 ikut).

BUNDA: (Masih sibuk dengan benang kusutnya di Lili' Riawa).

PARA PAMPAWA MUNCUL DI LILI' RIASE'.

PAMPAWA 1: (Terhadap Tumardeka 4). Nyenyak amat tidurnya.

TUMARADEKA 1: Ya, itu akibatnya kalau terlalu banyak bicara saat di Lili’ Ritennga, tapi setelah di Lili’ Riase’ bungkem tiba-tiba. Lidahnya. Coba lihat.

PARA PAMPAWA MEMBALIKKAN TUBUH TUMARADEKA 4. LIDAHNYA TERJULUR KELUAR DAN BERCABANG.

PAMPAWA 1: Panjang, dan, bercabang...

PAMPAWA 2: (Kagum luar biasa). Pahlawan. Dia telah jadi pahlawan.

TUMARADEKA 1: Pahlawan apa?

TUMARADEKA 2: Pahlawan somputtinro, pahlawan yang mampus karena tidur nyenyak!

PAMPAWA 3: Pertanggungjawabkan!

TUMARADEKA 1, 2: Dalam hal?

PAMPAWA 3: Dalam hal segala sesuatunya.

TUMARADEKA 2: Sejak awal kami sudah siap.

TUMARADEKA 1: Tapi sebelum pertanggungjawaban kami jalani, izinkan kami memakamkannya.

PAMPAWA 3: Meski dia sudah berpaling dari kalian?

TUMARADEKA 2: Ya. Bagaimanapun, berpaling bagaimanapun, dia tetap sahabat kami meski telah mati.

PAMPAWA 1: Silakan.

TUMARADEKA 2: Kalian tidak ikut?

PAMPAWA 3: Tak ada waktu. Proses verbal tindakanmu harus segera diselesaikan. Atau...

PAMPAWA 1: (Kepada Pampawa 4). Kamu ikut, awasi mereka!

PAMPAWA 4: (Mendetakkan sepatunya). Siap!

PAMPAWA 1: (Kepada Pampawa 2). Kamu juga!

PAMPAWA 2: Tapi...

TUMARADEKA 2: Ya, sebagai saksi.

PAMPAWA 1: Bukan. Mewakili kami sebagai pernyataan belasungkawa dari Pampawa.

PAMPAWA 2: Aduh, Pak...

PAMPAWA 1: Sudah bosan di sini?

PAMPAWA 2: Maksud Bapak?

PAMPAWA 1: Ya, kalau sudah tidak mau di sini, tidak usah ikut.

PAMPAWA 2: Eh, maaf, maaf, Pak. Saya masih mau. Saya ikut. Mewakili Pampawa, ya Pak?

DIAWASI OLEH PAMPAWA 2 DAN 4, TUMARADEKA 1 DAN 2 MENGUSUNG TUMARADEKA 4 KE LILI’ RITENNGA DIIRINGI I CALABA. SELESAI PEMAKAMAN, TUMARADEKA 1 DAN 2 DIBORGOL, KEMUDIAN DIGIRING KEMBALI KE LILI’ RIASE’.

BUNDA: (Masih dalam alat tenunnya menguraikan benang). Tambah kusut saja benang ini.

TERDENGAR KETUKAN PALU DI MEJA TIGA KALI. TUMARADEKA 1 DAN 2 TERDORONG KE BAWAH, LANGSUNG MELEKAT DI SARANG LABAH-LABAH.

BUNDA: Harus diuraikan rupanya dari awal. (Keluar dari alat tenun, langsung menguraikan benang-benang kusut itu. Sesudahnya, dia masuk kembali menenun). Semoga saja benang-benang ini tidak kusut lagi.

PAMPAWA 3: Bagaimana?

PAMPAWA 4: Selesai. Mereka harus habiskan usia di balik terali. Rasakan.

PAMPAWA 3: Bagaimana, Pak? (Pampawa 1 menyilakannya). Wajar. Saudara-saudara, itulah kehidupan. Takkan ada mati tanpa hidup. Itulah risiko yang namanya hidup. Takkan ada bahagia tanpa derita. Kalau aku menderita sedangkan mereka itu berbahagia, tak lain karena adanya kecerdikan memanfaatkan faktor kebetulan. Dan kini, akan kudeteksi siapa yang akan manfaatkan faktor kebetulan itu.

PAMPAWA 3 MENJANGKAU TALI, LALU DIJUNTAIKAN KE BAWAH. TALI ITU LANGSUNG DITANGKAP OLEH LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN. LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN BERTAHAN AGAR TIDAK TERSERET KE ATAS.

PAMPAWA 3: (Merasa mulai kewalahan). He, kalian digaji bukan untuk nonton! Bantu aku!

PAMPAWA 2 DAN 4 MEMBANTU PAMPAWA 3, SEDANGKAN PARA TUMARADEKA MEMBANTU LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN. TARIK-MENARIK TERJADI BEBERAPA LAMA, TAPI KEMUDIAN PARA PAMPAWA KEWALAHAN.

PAMPAWA 3: Tahan! Tahan! Boleh kita bicara sebentar?

I CALABA: Hm... Sudah kalah baru mau bicara. Tapi bicaralah! Apa?

PAMPAWA 3: Tidak cocok dengan cara seperti ini. Kirim wakil kalian ke sini! Ini perwakilan...

TUMARADEKA 3: Wakil? Wakilnya siapa? Bosssan! Omong kosong. Perwakilan telah kami hapus dalam diri kami. Kalau mau bicara, kalian yang ke sini. Kami tunggu! Bagaimana? Okay.

PARA TUMARADEKA: Okay. (Teriak lagi). Kami tunggu!

PAMPAWA 3: (Kepada Pampawa 1). Bagaimana? Boleh?

PAMPAWA 1: (Menyilakan tanpa kata).

PAMPAWA 3: Ya, tunggu aku. (Kepada Pampawa 2 dan 4). Kalian ikut aku!

PAMPAWA 2, 3, DAN 4 KE LILI’ RI TENNGA.

BUNDA: Mudah-mudahan benang tenun ini tidak kusut lagi. (Melanjutkan tenunannya yang sudah hampir rampung).

PAMPAWA 2, 3, 4 TIBA DI LILI’ RI TENNGA.

TUMARADEKA 3: Bagaimana, Bu? Silakan.

PAMPAWA 3: Maaf, anak-anakku. Begini. Aku langsung saja ke pokok persoalan.

PARA TUMARADEKA: Silakan... Silakan... Silakan...

PAMPAWA 3: Begini. Anak-anakku, kalian, tanpa kecuali, adalah aset ketiga lili’ hunian kita, Lili’ Riawa, Lili’ Ritennga, dan Lili’ Riase’. Tak seorang pun yang akan membantahnya. Bukankah hal itu ananda selalu temukan dalam kenyataan sehari-hari? (Jeda). Sesungguhnya hal itu tak perlu kuungkapkan lagi. Ini hanya sekadar penyegaran, bahwa anak-anakku adalah calon-calon intelektual, calon penerus cita-cita semua lili’. Kalau antara kita tidak ada kesatuan, segala sesuatu yang kita cita-citakan, tipis kemungkinan dapat terwujud. (Jeda). Aku kira apa-apa yang kusampaikan ini sudah diajarkan pada anak-anakku sejak di Taman Kanak-Kanak. Alangkah bahagia orang-orang tua kita jika yang mereka ajarkan dapat kita amalkan. (Jeda). Mungkin ada yang mau bicara, silakan! Ada? Ya, aku ini orang tua kalian yang memperjuangkan nasib kalian. Silakan, tak usah sungkan-sungkan.

TUMARADEKA 7: Orang tua mengajar anak-anaknya mulai bicara.

PAMPAWA 3: Benar, anakku.

I CALABA: Orang tua mengajar anak-anaknya pintar bicara.

PAMPAWA 3: Benar sekali, sayang.

TUMARADEKA 5: Orang tua mengajar anak-anaknya bicara benar.

PAMPAWA 3: Amat sangat benar sekali, anakku sayang. (Jeda). Nah, kalau masih ada yang mau bicara, silakan!

I CALABA: Orang tua bingung kalau anak-anaknya mulai bicara.

PAMPAWA 3: Ya, memang benar, sayang.

TUMARADEKA 6: Orang tua tersinggung kalau anak-anaknya pintar bicara.

PAMPAWA 3: Ha...?

TUMARADEKA 7: Orang tua marah-marah kalau anak-anaknya bicara benar.

LAKI-LAKI: Tunggu...!

PAMPAWA 3: Hei...!

PARA TUMARADEKA: Karena itu...

TUMARADEKA 7: Orang tua menganggap anak-anak yang bicara benar, adalah anak-anak yang kurang ajar.

PARA TUMARADEKA: Akibatnya...

LAKI-LAKI: Stop... stop... berhenti... hei, berhenti...

PARA TUMARADEKA: Akibatnya...

LAKI-LAKI, PEREMPUAN: Diaaam...!

TERDIAM. I CALABA TAMPIL KE TENGAH.

I CALABA: Akibatnya orang tua menyekap anak-anak yang kurang ajar di dalam kamar yang pengap.

PAMPAWA 2, 3, DAN 4 MENYELINAP PERGI.

I CALABA: Iya, tokh, Pak-Bu? Ih, Pak-Bu sudah pigi...

BUNDA: (Menyambung benang). Ah, putus lagi! Padahal sudah hampir rampung.

LAKI-LAKI: Bagaimana anda-anda ini? Bagaimana ini? Sebaiknya bagaimana ini?

BUNDA: (Masih menyambung). Sebaiknya, ah... bukan... Bukan sebaiknya tapi seharusnya. Seharusnya benang ini tidak selalu putus. Tapi putus lagi.

LAKI-LAKI: (Kepada Perempuan). Ingin ikut nyambung?

PEREMPUAN: Ya, dengan cara lain.

LAKI-LAKI: Bagaimana?

PEREMPUAN: Menyadari waktu, menyadari ruang di mana kita mengada. Bicara dengan bahasa kita sendiri sudah sejak awal kita lakukan. Yang belum kita lakukan adalah upaya untuk saling mengerti bahasa masing-masing. Hanya dengan demikian benang-benang kusut bisa diurai dan gampang disambung. Hanya dengan demikian bicara bisa nyambung kapan dan di mana saja.

TUMARADEKA 3: Pengulangan! Akibatnya, hasil akhir tetap sama! Bahkan korban sudah berjatuhan! Bagaimana mungkin?!

TUMARADEKA 5: Ya, bagaimana bisa ada saling pengertian kalau pertemuan langsung tak pernah terjadi? Lagi pula, apakah mereka bisa mengerti bahasa kita?

LAKI-LAKI, PEREMPUAN: Pasti bisa!

TUMARADEKA 6: Pasti bisa, tapi apakah mereka mau?

LAKI-LAKI: Pasti mau!

PEREMPUAN: Ya, pasti mau.

TUMARADEKA 7: Hei, orang baru, Perempuan lagi. Sudah memihak mereka setelah nongol satu menit di atas, ya?

LAKI-LAKI:: Hei, jangan sembarang tuduh kamu!

TUMARADEKA 7: Bukan lagi menuduh, tapi membuktikan bahwa kalian bersaudara sengaja didrop oleh Lili’ Riase’ untuk mengacau Lili’ Ritennga. Iya ‘kan?

PERDEBATAN YANG AWALNYA PERORANGAN ITU BERUBAH MENJADI PERDEBATAN BERKELOMPOK. PARA TUMARADEKA TERPECAH DUA. BEBERAPA DI ANTARANYA SUDAH BERPIHAK PADA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN TERMASUK I CALABA.

BUNDA: Benang tambah kusut... mata makin rabun... Ah, padahal sedikit lagi... (Menguraikan benang kusut itu, menyambung, dan akhirnya berhasil. Dia mendetakkan walidanya). Tet te tet te’... Anak-anakku... (Mengeluarkan hasil tenunannya, keluar dari peralatan tenunnya).

PAMPAWA 1 GOYAH DILILI' RIASE'. PADA SAAT YANG BERSAMAAN DI LILI’ RIAWA, BUNDA sudah KELUAR DARI ALAT TENUNNYA LALU MENJANGKAU WALIDA. KARENA LUMPUH, DIA BERINGSUT SAMBIL MENYERET KAIN HASIL TENUNANNYA MENUJU LILI' RITENNGA.

PAMPAWA 1: (Di Lili' Riase').Jalan apa lagi yang harus kutempuh agar bisa sampai ke titik tujuan yang satu? Bisakah ada kesatuan tanpa kesefahaman?

PARA TUMARADEKA YANG TERPECAH DUA, SALING BERHADAPAN SATU& LAWAN SATU, DIANTARAI OLEH SARUNG MELINGKAR TERGELETAK DI ATAS TANAH DI DEPAN MEREKA. KEDUA KELOMPOK LALU SALING MENYILAKAN. PERTARUNGAN DALAM SATU SARUNG MULAI.

PAMPAWA 1: Hei... jalan yang bagaimana lagi yang seharusnya aku tempuh.? Katakan... katakan... katakanlah...

LENGKINGAN PAMPAWA 1 MENGHENTIKAN TANGAN PARA TUMARADEKA YANG TERACUNG KE ATAS DENGAN BADIK TERHUNUS UNTUK SALING MENIKAM. PERHATIAN MEREKA BERALIH KE LILI’ RIASE’.

PARA TUMARADEKA: Kualleanna tallanga na toalia... mali' siparappe... Kupilih tenggelam daripada surut... sama hanyut... sama terdampar...

MEREKA AKAN MENYERBU LILI' RI ASE', TAPI TERHENTI OLEH KEHADIRAN BUNDA TUA.

BUNDA: (Sampai di puncak tangga, mengetukkan pangkal walidanya). Anak-anakku...!

PAMPAWA 1 TERLONCAT TURUN DISUSUL PAMPAWA LAINNYA LEWAT SARANG LABAH-LABAH YANG MEMANG SUDAH RONTOK ITU.

BUNDA: Ya, anak-anakku. Jangan salah tafsir terhadap semboyan klasik yang agung itu. Kualleanna tallanga na towaliya, kupilih tenggelam daripada surut, bukan untuk mati, tapi untuk hidup.

PARA TUMARADEKA: Bunda...!

BUNDA: Ya, tindakan kalian, semua, kalian yang di Lili’ Ritennga dan yang di Lili’ Riase’, bukan mali’ siparappe, bukan sama hanyut sama terdampar, melainkan mali’ sitellenngang, sama hanyut saling menenggelamkan. (Jeda). Aku sengaja ke sini  mengantar tenunan ini untuk kalian. Ambillah. Aku akan kembali. Tapi sebelumnya, kusampaikan bahwa tenunan ini terjalin dari benang-benang yang selalu kusut dan tidak jarang putus. Tapi yang kusut itu berhasil kuuraikan dan kusambung saban putus. Dan inilah hasilnya. Nah, aku mau pulang.

LAKI-LAKI, PEREMPUAN: Bunda!

BUNDA: E, anak laki-lakiku dan anak perempuanku. Sudah bertemu dengan kakakmu?

PARA PAMPAWA PELAN MUNCUL DI LILI' RI TENNGA.

PEREMPUAN: (Mendekati Pampawa 1 yang mematung). Kakak..!

BUNDA: Oh, kakakmukah itu? Gagah, ya, pakai baju seperti itu. Banyak sakunya. Di sini, di sini, di sini, di sini... (Memanggil Laki-laki, membisikkan sesuatu).

LAKI-LAKI: (Menjelaskan dengan bahasa isyarat).

BUNDA: Oh, oh, begitu, ya, kalau orang sudah di Lili’ Riase’. Orang jadi begitu, ya?!

LAKI-LAK: (Menjelaskan lagi dengan bahasa isyarat).

BUNDA: Oh, jadi kecuali yang seperti kakakmu itu, ada juga yang tiba-tiba jadi calabai, banci, ada yang jadi tumbuhan benalu, ada ... hebat, ya?

LAKI-LAKI: (Bicara dengan bahasa isyarat).

BUNDA: Oh, tentu, tentu, tapi sesungguhnya banci yang memang banci masih lebih terhormat daripada laki-laki yang tiba-tiba jadi banci hanya karena duduk di atas. (Menyerahkan kain yang dibawanya). Nah, simpanlah hasil alat tenun kuno ini.

PAMPAWA 4: (Masih saja tetap merobot). Pembungkus mayat. Buang!

PEREMPUAN : Jangan!

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN MELAWAN PAMPAWA 4 MEMPEREBUTKAN KAIN ITU. PAMPAWA 4 BERHENTI SAAT LIPATAN-LIPATAN KAIN TERBUKA.

PAMPAWA 4: He, apa itu?

BUNDA: Motif kain yang kutenun. Indah ‘kan?

PAMPAWA 4: Itu gambar atau tulisan?

BUNDA: Aksara lontara’ yang bicara tentang tanda-tanda runtuhnya sebuah negara. Bacalah.

PAMPAWA 4: (Kepada Pampawa 1). Pak...

PAMPAWA 1: (Menyilakan).

PAMPAWA 4: Saya tidak bisa baca aksara lontara' (Kepada Pampawa 2). He, kamu!

PAMPAWA 2: (Kepada Pampawa 1, monon izin). Pak?

BUNDA MEMBERI ISYARAT KEPADA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN. KEDUANYA MULAI MEMBACA.

PAMPAWA 2: Ennenngi tanra cinna matena tana marajae

PAMPAWA 4: Apa artinya itu?

BUNDA: Ada enam tanda runtuhnya sebuah sebuah kerajaan.

PAMPAWA 4: Apa itu?

PAMPAWA 2: Mase’dinna, linga-lingae.

BUNDA: Pertama, kebrutalan.

PAMPAWA 4: Ach, apa hubungan negara dengan kebrutalan? Tapi memang, anak-anak muda sekarang makin brutal.

BUNDA: Kebrutalan di sini ditujukan pada semua penghuni lili'. Tidak terbatas hanya pada satu kelompok.

PAMPAWA 2: Itu hanya penafsiran Ibu.

BUNDA: Penafsiran lahir oleh perpaduan antara penafsir dengan yang ditafsirkan.

PAMPAWA 2: Ah, sudah... sudah. Tanda yang kedua: narekko teani ripakainge' arung mangkau'e.

PAMPAWA 4: Maksudnya?

PAMPAWA 2: Kedua, jika pemerintah tak mau lagi diingatkan. Oh, jangan diragukan yang ini. Pak Pampawa, Bu Sekretaris, Komandan Robot, dan... ya... saya yang mewakili kalian, selalu diingatkan. Bahkan kami punya tim penasihat. Iya toch, Pak? Bu?

PAMPAWA 4: Terus?

PAMPAWA 2: Matellunna, narekko de’na to acca ri laleng lipu’.

BUNDA: Ketiga, jika tak ada lagi orang cerdas di dalam negeri.

PAMPAWA 4: Oh, banyak. Iya, toch:

PAMPAWA 2: Iya, Bu, ya?

PAMPAWA 3: Hm, mana bisa jadi kalau tak ada orang cerdas.

BUNDA: Memang banyak... tapi yang cerdik. Bukan cerdas.

PAMPAWA 3: Sembarangan Ibu ini. Apa lagi?

PAMPAWA 2: Maeppa’na, narekko naenrekini waramparang toma’bicarae. Wah, gawat ini.

PAMPAWA 4: Apa yang gawat?

PAMPAWA 2: Ini, tanda keempat: apabila hakim dan jaksa sudah makan sogok.

PAMPAWA 3: Masalah sogok... itu oknum! Tak apa. Terus?

PAMPAWA 2: Malimanna, we'do' pada gau' panuwa. Artinya, kelima, jika percekcokan sudah merajalela di dalam negeri.

PAMPAWA 3: Masalahnya, mereka itu tidak mau dinasihati. Apalagi... ya, percekcokan itu kecil-kecilan. Jadi tak apa. Nah, tanda keenam?

PAMPAWA 2: Maennenna, narekko de’na namaseiwi atanna arunnge.

PAMPAWA 4: Artinya?

PAMPAWA 2: Artinya, jika raja yang memerintah tidak lagi mengasihi rakyatnya. Bagaimana Pak? Bu?

PAMPAWA 3: Ya... hanya mereka yang sengaja mencari-cari kesalahan pemerintah yang tidak mau mengakui bahwa pemerintah tidak mengasihi rakyatnya. Contohnya, itu sumbangan, subsidi, bantuan...

LAKI-LAKI: Itu bukan kasih, tapi kasihan; dan kasihan, membunuh kreativitas, mengajar orang tidak berinisiatif, karena terus menerus mengharap. Contoh itu tak lebih dari pertanggungjawaban sementara untuk menutupi ketidakmampuan menghadapi kenyataan...

PAMPAWA 2: Berani betul kamu... Kamu tidak tahu bahwa kamu berhadapan dengan kakakmu?

PEREMPUAN: Dia bukan kakak...

BUNDA: Anakku... anak-anakku...

LAKI-LAKI: Tidak, Bu. Saatnya sekarang...

PAMPAWA 2: Pak... Pak...

PAMPAWA 4: Bagaimana, Pak? Saya bertindak?

PAMPAWA 3: Pak... Ayo, Pak.Berbuat!

PAMPAWA 1 DIAM. PAMPAWA LAIN MENDESAKNYA, TAPI DIA TETAP DIAM. MEMATUNG.

PAMPAWA 2: (Mengatasai suasana). Waktu dan tempat...!

PAMPAWA 4: Ya, waktu dan tempat... waktu dan tempat... (Suara dan gerak yang sejak awal monoton karena merobot, secara berproses berubah dan berirama sebagaimana biasa). Bahaya... bahaya... virus... virus... Virus! (Normal). Bicara, Pak! Bicara!

TAK SEEORANG PUN YANG BEREAKSI

PAMPAWA 4: Atau... ada pendapat lain? Tidak ada? Kalau begitu saya yang berpendapat. Pendapat saya ialah, kita tidak perlu berpendapat! Percuma! Pada akhirnya yang menentukan adalah yang duduk di atas. Kita sekadar pelaksana. Karena itu... aku harus menjadi yang di atas...

PAMPAWA 4 MELENGKING AKAN MELONCAT KE LILI’ RIASE’, TAPI PAMPAWA 2 DAN 3 MENCEGAHNYA. TERJADI PERTARUNGAN SEGI TIGA SEHINGGA MENJADI TONTONAN PARA TUMARADEKA. SEGALANYA KEMUDIAN TERHENTI SETELAH TERDENGAR TEMBAKAN BERENTETAN DARI PAMPAWA 4.

PARA TUMARADEKA TIARAP. PAMPAWA 3 MELENGKET DI SARANG LABAH-LABAH. PAMPAWA 2 MENGHILANG. PAMPAWA 1 MASIH MEMATUNG.

PAMPAWA 4: Saya sudah coba untuk tidak menggunakan alat deteksi ini, tapi kalian memaksa aku untuk  menggunakannya. Karena itu jangan coba-coba lagi. Scan virus ini masih sangat peka sebagai alat deteksi. Ingat! Jangan coba-coba! Ingin bukti?


SENJATANYA DIARAHKAN KE ATAS, DAN KEMBALI TERDENGAR RENTETAN TEMBAKAN.  PARA TUMARADEKA KEMBALI TIARAP. SITUASI JADI SEPI SETELAH TEMBAKAN BERHENTI.

PAMPAWA 4: (Mengeluarkan hand phone). Hallo... hallo... hallo...

PAMPAWA 2: (Di Lili’ Riase’ dengan hand phone). Bagaimana? Lancar?

PAMPAWA 2: Bersih... sangat bersih...

KEDUANYA BICARA LEWAT HAND PHONE, TERTAWA-TAWA, SALING MENUDUH, SALING MEMAKI, SALING MENYALAHKAN, SALING MEMUJI, SALING MENGAGUMI, LALU TERTAWA LAGI.

PAMPAWA 4: Jadi... saya ke situ?

PAMPAWA 2: Mau ke mana lagi? Sesuai program kita, ‘kan? Atau... ada program tersembunyi?

PAMPAWA 4: (Tertegun sejenak). Hus! Tunggu aku!

PAMPAWA 2: Okay, saya tunggu. Segera...

PAMPAWA 4 SEKALI LAGI MENEMBAK KE ATAS. PARA TUMARADEKA LAGI-LAGI.

PAMPAWA 4: Ha-a-bé-i-és. Habis.

MELEMPARKAN SENJATANYA.

PAMPAWA 4: Senjata sudah saya buang, tapi jangan ada yang coba-coba bertindak bodoh...

PAMPAWA 4 MENINGGALKAN LILI’ RI TENNGA MENUJU LILI’ RIASE’. TAK LAMA KEMUDIAN DI ATAS SANA TAMPAK PAMPAWA 2 DAN PAMPAWA 4. DI ANTARA KEDUANYA SEBUAH KURSI EMAS MEMANCARKAN CAHAYA.

PAMPAWA 2: Senjatamu?

PAMPAWA 4: (Tertawa). Untuk apa?

PAMPAWA 2: Ya, sekadar jaga diri. (Tertawa).

PAMPAWA 4: Tugas peluru sudah habis.

KEDUANYA LALU JABAT TANGAN. ERAT SEKALI. SALING MENATAP. DAN, PADA SATU DETIK TERTENTU, PAMPAWA 2 MELEPASKAN TANGANNYA DARI GENGGAMAN PAMPAWA 4, LANGSUNG MENGANGKAT KURSI ITU DENGAN KEDUA TANGANNYA SAMBIL MELENGKING.

PAMPAWA 2: Akulah yang mau dan harus duduk di atas siniii...

TAPI LENGKINGAN PAMPAWA 2 BEBERAPA DETIK KEMUDIAN MENDADAK TERSENDAT. KURSI JATUH KARENA SALAH SATU TANGANNYA MEMEGANG PINGGANGNYA YANG MENGUCURKAN DARAH. SENJATA TAJAM DI TANGAN PAMPAWA 4, SEKALI LAGI DAN SEKALI LAGI MASUK-KELUAR KE PINGGANG PAMPAWA 2. SELANJUTNYA PAMPAWA 2 TERKULAI DI ATAS KURSI GEMERLAP YANG SUDAH TERBALIK ITU.

BADAI MULAI DATANG, DAN SECEPAT ITU MENGGANAS, MENYEBABKAN PARA TUMARADEKA YANG TADINYA TIARAP KARENA LETUSAN, TERLONTAR KE BERBAGAI ARAH. TUMARADEKA 1 DAN 2 YANG LENGKET DI SARANG LABAH-LABAH, TERPELANTING LEPAS.

PAMPAWA 4: Kesempatan, Saudara-saudara...

PAMPAWA 1: Bunda... (Merayap mencari Bunda diikuti Tumaradeka lainnya).

BUNDA: Anak-anakku...

PAMPAWA 4: Pak... Pak... Pak... (Meloncat ke tengah badai mencari Pampawa 1)

PAMPAWA 1 BERSAMA TUMARADEKA LAINNYA TIDAK PEBULI ATAS KEDATANGAN PAMPAWA 4.

PAMPAWA 1: (Mendekati Bunda). Bunda...

BUNDA: O... Anak sulungku...

PAMPAWA 1: Bunda...

PAMPAWA 4: (Kee Lili' Riase menembus sarang laba-laba yang memang sudah rontok). Kesempatan sulit terulang... Saudara-saudara demi kesuksesan kita dalam semua sektor... marilah kita menjalin kesefahaman. Persatuan, kesatupaduan... Saudara-saudara, sangat penting diutamakan. (Pidatonya mulai meluncur).

SANGAT RETORIK PIDATO ITU, TETAPI KARENA TERLALU BERSEMANGAT, KALIMAT-KALIMATNYA MAKIN LAMA MAKIN KACAU. MENYAKSIKAN PERISTIWA ITU, PARA TUMARADEKA MEMBUAT GERAKAN TERSENDIRI SEHINGGA AKHIRNYA KAIN HASIL TENUNAN BUNDA MENCORET SILANG WILAYAH LILI’ RIASE’.

PAMPAWA MASIH TERUS PIDATO.

PAMPAWA: (Mengatasi suara Pampawa 4). Bunda, masihkah ada ampunan bagi Adam yang terlanjur menelan buah khuldi-bumi awal abad ke-21 ini...?

BUNDA: Ke sinilah.

PAMPAWA 1 MERAYAP MENUJU BUNDA DI BAWAH SARANG LABAH-LABAH RAKSASA YANG SUDAH RONTOK ITU. PARA TUMARADEKA MENDEKAT, MENGITARI PAMPAWA 1.

PAMPAWA 1: Benang?

BUNDA: Ya, tariklah benang itu, pelan tapi pasti.

PAMPAWA 1 MENARIK BENANG ITU, DAN SELEMBAR KAIN PUTIH POLOS LANCAR MEMBENTANG TEGAS DARI BAWAH KE ATAS MENUTUPI WILAYAH LILI’ RIASE’.

PAMPAWA 4 TERUS BERPIDATO. TAPI UCAPANNYA TAMBAH KACAU. YANG KELUAR DARI MULUTNYA TAK LEBIH DARI APA YANG TERASA PADA DIRINYA SAAT ITU. MALAH YANG TERDENGAR SELANJUTNYA TAK LEBIH DARI LONTARAN HURUF-HURUF TANPA MAKNA.

GERAK DAN SUARANYA KEMUDIAN SEMAKIN PELAN DAN KECIL, DAN PADA AKHIRNYA YANG SAMPAI HANYA HITAM DAN SEPI.

29 Ramadhan 1429 H.
29 September 2008 M.
Fahmi Syariff

Catatan:
-lili’ riawa: wilayah atas.
-lili’ ritennga: wilayah tengah.
-lili’ riase’: wilayah atas. -walida
-walida: alat tenun berbentuk pedang lurus, panjang sekitar 1 meter, lebar sekitar 10 cm., terbuat dari inti batang kelapa. Berfungsi merapatkan benang yang sedang ditenun. pampawa: pejabat.
-kualleanna tallanga na towaliya: kupilih tenggelam daripada surut (bahasa Makassar).
-mali’ siparappe: sama hanyut, sama terdampar (bahasa Bugis).
-ma’bbulo sipeppa’: bersatu padu.
-ganrang bulo: permainan kanak-kanak berunsur gerak, bunyi, musik.
-somputtinro: (bahasa Bugis), sambung tidur, mati saat tidur. Istilah yang dikenakan pada orang yang tidak pernah berjuang, tetapi tiba-tiba muncul di antara para pejuang dengan menyebut diri pejuang setelah kemenangan dicapai.
-calabai: bencong.
-kalimat-kalimat dialogis berhuruf miring di hal. 37 dan 38, sajak Orang Tua, dikutip dari kumpulan puisi Bulan Luka Parah karya Husni Djamaluddin.