Selasa, 25 Januari 2011

ZAMAN KUSUT, ZAMAN PENUH KHIANAT


Pementasan Manusia-manusia Perbatasan karya Fahmi Syariff
Oleh Junaedi

Sastrawan dan salah seorang pentolan DKM, Fahmi Syariff kembali menggelar karyanya di Gedung Kesenian Makassar (Sicieteit de Harmonie). Pertunjukan teater berjudul ‘Manusia-Manusia Perbatasan’. Ini kali diproduksi KOSASTER, FIB UNHAS. Sebuah naskah lama, namun masih terasa pas dengan realitas kehidupan kita hari ini. Penuh dengan konflik kepentingan dan kritik sosial terhadap mapannya kekuasaan.
Sosok ibunda tua yang tengah menenun, menjadi adegan pembuka dari pertunjukan itu.  Tak lama berselang, dua orang anaknya, laki-laki dan perempuan, datang duduk menemaninya. Dialog pun tergerai di antara mereka. Dalam dialog itu, ibunda tua mengeluhkan kondisi benang tenunannya yang senantiasa kusut walau sudah berulang-ulang kali diurai. Sang anak, Laki-laki, pun iba. Dia lalu meminta izin kepada ibunda untuk pergi ke Lili ri Tengnga (wilayah Tengah) untuk mencarikan benang yang baru buat sang bunda. Lebih dari itu, kepergiannya ini, juga untuk menemui saudaranya yang kini telah menjadi Pampawa (pejabat) di Lili ri Ase (wilayah atas). Perempuan pun rupanya ingin turut serta dengan saudaranya ke Lili ri Tengnga. Maka dia pun turut memohon. Semula sang bunda berat untuk mengizinkan. Namun, setelah mengemukakan beberapa alasan, izin pun diberikan oleh sang Bunda. Maka berangkatlah mereka berdua ke Lili ri Tengnga
Cerita pun kemudian bergerak ke Lili ri Tengnga yang saat itu sedang bergolak. Para penghuninya, Tumaradeka, tengah menggelar aksi protes dan perlawanan terhadap para pampawa di Lili ri Ase. Mereka kecewa dengan para pampawa karena dianggap sudah tidak lagi peduli kepada rakyat banyak. Mereka berteriak, mereka berontak. Namun, aksi protes mereka ini kemudian diwarnai dengan silang pendapat di antara mereka sendiri, tentang bagaimana cara yang efektif untuk menyampaikan pendapat. Ada yang ingin meneruskan aksi protes, dengan cara turun ke jalan. Namun, sebagian lagi dari mereka menganggap bahwa protes dengan cara-cara lama seperti itu, sudah tidak berguna lagi. Selama ini, hal seperti itu selalu mereka lakukan. Tapi toh, hasilnya sama saja. Suara mereka dianggap angin lalu oleh Pampawa. Namun sayang mereka juga tidak memiliki solusi cara lain selain turun ke jalan. Konflik di antara mereka ini kemudian diperparah dengan penyusupan yang dilakukan oleh pak Beo. Pak Beo ini juga merupakan salah seorang Pampawa yang ikut-ikutan dalam aksi protes tumaradeka ini. Dia berupaya memanas-manasi keadaan agar para Tumaradeka ini terpecah-pecah.
Sementara itu di Lili ri Ase, Pampawa 1, yang merupakan pemimpin tertingginya tengah mengalami kegalauan yang luar biasa. Dia mulai merasa tertekan dengan aksi protes yang terus-menerus dilakukan oleh para tumaradeka di Lili ri Tengnga. Kekuasaannya seperti mulai tersudutkan. Para Pampawa lain dan sekretaris mencoba menenangkan. Mereka mengatakan bahwa aksi-aksi protes ini adalah hal yang lumrah dan biasa saja sehingga tidak perlu ditanggapi berlebihan. “Ini hanyalah bagian dari dinamika hidup. Ada antagonis dan ada protagonis”. Begitu anggapan mereka. Tapi Pampawa 1 tidak lantas tenang. Hatinya tetap gundah. Dia pun  terus berpikir, mencari jalan bagaimana agar para Tumaradeka ini menghentikan aksinya.
Solusi untuk menghentikan aksi protes para Tumaradeka pun ditemukan. Yaitu, memecah belah mereka dengan jalan menarik mereka ke dalam jejaring kekuasaan. Uang kemudian menjadi alat umpan jitu untuk menarik sebagian Tumaradeka yang tengah riuh oleh konflik. Siasat ini terbukti berhasil. Beberapa Tumaradeka pun sukses dipegang. Mereka yang lemah, kemudian masuk ke dalam lingkaran kekuasaan dengan bujukan dan rayuan materi. Berada dalam lingkaran kekuasan membuat mereka kehilangan keberanian untuk melawan kesewenang-wenangan penguasa. Tidak ada lagi teriakan lantang protes mereka. Mereka sudah dibuai oleh gemerlap kekuasaan dan kemewahan hidup di Lili ri Ase.  
Tindak-tanduk sebagian tumaredeka yang bergabung dengan pampawa ini, semakin memperparah kondisi di Lili ri Tengnga. Mereka kemudian saling tuduh dan saling fitnah satu sama lain. Kondisi menjadi semakin sulit. Dan saat kekacauan hendak mencapai puncaknya, muncullah sang Bunda. Dia terpaksa datang dari Lili ri Awa untuk menenangkan situasi. Dengan bijaknya sang Bunda memberikan petuah bagi para Tumaradeka yang tengah berkonflik, dan para Pampawa yang juga hadir di situ.
Konflik kemudian berlanjut ke wilayah atas, di mana para Pampawa tinggal. Salah satu Pampawa, Pak Beo, ternyata berkonspirasi dengan Pampawa lainnya (komandan robot) untuk merebut kekuasaan dari Pampawa 1.  Memanfaatkan kekalutan Pampawa 1 yang merasa gagal dalam menenteramkan situasi di Lili ri Tengnga, mereka kemudian berhasil merebut dan menduduki kursi kekuasaan. Namun, kolaborasi dua penghianat ini tidak berlangsung lama. Sama-sama haus kekuasaan dan sama-sama ingin berkuasa. Tanpa diduga komandan robot yang menginginkan kekuasaan tunggal berada penuh di tangannya, menikam Pak Beo dari belakang hingga tewas.  Komandan robot pun menjadi penguasa kursi kekuasaan di Lili ri Awa. Tapi, saat kekuasaan sudah berada di tangan komandan robot, semua meninggalkannya. Dia pun sendiri, tanpa arti apa-apa lagi.
Secara keseluruhan, penampilan KOSASTER (Kelompok Studi Seni Sastra dan Teater) dalam membawakan naskah berjudul Manusia-Manusia Perbatasan ini cukup baik. Latihan yang mengambil waktu kurang lebih tiga bulan, membuat dialog terjalin lancar sepanjang pertunjukan. Di antara semua karakter yang ada, sosok Pak Beo yang diperankan oleh Muhammad Iqbal Iskandar adalah yang paling banyak mencuri perhatian. Sifat oportunisnya jelas sekali. Dia berupaya memanfaatkan setiap keadaan untuk memenuhi kepentingannya. Ini tergambar jelas dengan kehadirannya nyaris di setiap adegan. Dia adalah bagian dari kekuasaan para Pampawa di Lili ri Ase, namun turut pula dalam aksi mahasiswa di Lili ri Tengnga yang menentang para Pampawa. Keterlibatannya dalam aksi protes para Tumaradeka adalah selain sebagai penyusup yang bermaksud memecah-belah para Tumaradeka, juga menjadi alat politiknya untuk menggoyang kekuasaan. Sifat oportunisnya itulah yang membuatnya tidak memiliki kejelasan dalam bersikap. Dalam perdebatan ia selalu memposisikan diri dalam kelompok atau suara dominan. Mengafirmasi setiap suara yang dianggapnya paling banyak, membuatnya cocok dinamakan Pak Beo.
Sosok Bunda yang diperankan oleh Asinta, juga cukup menyita perhatian. Bunda ini, memang cuma hadir dalam dua adegan, yaitu pada saat adegan bersama dua orang anaknya dan pada saat dia naik ke Lili ri Tengnga untuk meredam konflik yang tengah berada pada puncak-puncaknya. Tapi sepanjang pertunjukan ini dia juga seolah menjadi pemandu alur konflik. Pada setiap konflik para Tumaradeka, dia menggambarkan itu melalui aktivitas menenunnya. Jika konflik mulai terjadi, benang tenunan sang Bunda biasanya akan menjadi kusut. Semakin kuat konflik yang terjadi, maka semakin kusut pula benang sang Bunda.
Karakter komandan robot (Pampawa 4) dalam pertunjukan ini juga menarik. Sebagaimana robot, dia hanyalah alat kekuasaan yang menjalankan apa saja yang diperintahkan oleh atasannya. Dia juga adalah alat represif para Pampawa untuk menekan para penentang.  Sosoknya yang kaku dan tanpa kompromi menjadikan dia sempurna sebagai pengawal kemapanan. Tapi belakangan siapa sangka kalau ternyata dia juga menyimpan ambisi kekuasaan. Dia —yang berkomplot dengan Pak Beo— sukses menjungkalkan Pampawa 1. Kalau kolaborasinya dengan Pak Beo itu kemudian berakhir, itu mudah diduga. Keduanya jelas memiliki sifat yang saling bertolak belakang. Komandan robot adalah sosok yang kaku dan berpikiran simetris, sedangkan Pak Beo adalah sosok yang plin-plan dan tidak jelas ketetapannya. 
Menyaksikan pertunjukan teater ‘Manusia-Manusia Perbatasan’, kita seolah ditunjukkan model kehidupan kita hari ini. Sesuatu yang sangat dekat. Walaupun lakon ini ditulis tahun 1995 silam, beberapa peristiwa dan konflik yang ditampilkan masih sangat pas dengan konteks kekinian. Lihat saja saat digambarkan para Tumaradeka berbeda pendapat tentang cara menyampaikan pendapat. Bukankah itu juga yang terjadi hari ini? saat para mahasiswa tidak memiliki kesamaan visi dan misi dalam menyampaikan pendapatnya. Perpecahaan pun terjadi. Tidak ada lagi kesatuan dalam melakukan aksi. Akibatnya, saat ini berbagai gerakan mahasiswa pun kemudian seolah mati suri. Tiada lagi satu gerakan besar yang berpadu. Dalam perkembangannya hari ini, beberapa gerakan mahasiswa justru menjadi duri dalam daging rakyat yang diperjuangkannya. Aksi menutup jalan yang berbuntut kemacetan dan anarkisme di lingkup kampus membuat gerakan mahasiswa nyaris kehilangan legitimasinya.  
Begitu pula dengan adegan saat beberapa anggota Tumaradeka berhasil ditarik masuk ke dalam jejaring kekuasaan, yang membuat mereka kehilangan daya kritisnya terhadap penguasa. Hal tersebut pas kiranya kalau kita  melihat bahwa hari-hari ini. Begitu banyak aktifis mahasiswa yang begitu mudahnya menjadi alat atau perpanjangan tangan kekuasaan. Mereka tidak lagi bergerak atas nama hati nurani dan keinginan untuk memperjuangkan rakyat. Mereka lebih menjadi antek-antek penguasa untuk memapankan kekuasaan. Dengan iming-iming uang dan jabatan banyak diantara mereka yang kemudian melacurkan idealismenya. Secara makro, ini kemudian bukan saja ditujukan kepada mahasiswa, tetapi juga merupakan fenonema di tengah masyarakat
Pertunjukan itu sendiri berlangsung relatif lancar, namun beberapa kritikan dan saran juga tak urung mengalir dari beberapa tokoh, saat sebuah diskusi ringan yang dipandu Mardi Adi Armin (DKM) digelar usai pertunjukan ini. Asdar Muis misalnya, tokoh teater sekaligus wartawan senior mengkritisi para pemain yang dianggap kurang menjiwai perannya masing-masing. Menurutnya para pemain dalam pertunjukan itu lebih terlihat sebagai para penghapal dialog yang baik, bukan sebagai pemeran karakter yang baik. Namun dia juga mengakui tingkat kesulitan untuk membawakan karakter-karakter dalam cerita ini cukup tinggi. Menurutnya, naskah dan dialog dalam cerita ini memang cukup sulit jika dimainkan oleh para pemain teater pemula.
Pada kesempatan itu, Asdar Muis juga menyoroti peran KOSASTER yang menurutnya tidak lagi benar-benar menjadi sebuah lembaga studi sebagaimana dahulu. Untuk itu, ia meminta agar KOSASTER bisa memainkan peran lebih dari sekedar mengadakan pertunjukan teater, tetapi juga aktif menghidupkan diskusi-diskusi tentang karya sastra.
Sedangkan pembicara lainnya, Alwi Rahman, menyoroti penggunaan bahasa ajektif oleh sang Bunda. Jenis bahasa ini, menurut Alwi, sudah mulai terkikis dalam kehidupan kita sehari-hari. Saat ini, lanjut beliau, bahasa-bahasa yang digunakan—terutama mereka dari kalangan elit kekuasaan—adalah bahasa yang banyak mengandung tutur ganda atau bahasa  konteks tinggi.
Kedua pembicara tersebut juga memuji keberanian Fahmi Syarif yang menulis karya ini saat kekuasaan Orde Baru masih kuat berkuasa. Padahal pertunjukan drama ini penuh dengan satir dan sindiran terhadap mapannya kekuasaan.(*)

Sabtu, 22 Januari 2011

PUISI-PUISI oleh Mappidemmang


Amma Toa

Amma Toa
dalam pengembaraan zaman
menapak dunia bayang

Tana Toa yang purba
sebuah dunia yang tak lekang
ajaran pasang*) yang luhur
Adat Kajang yang kukuh
tempatmu berpijak
Amma Toa yang bijak

Tana Toa yang perawan
yang kerap dipinang zaman
jatuh cinta
memuji-muji
kadang mengiba-iba
adakah zaman sayang padanya?

Menukik ke sebuah pusat dunia
di sini di butta embayya**)  
berdiri berhadap-hadapan saling lirik dengan keangkuhan
masing-masing:
Amma Toa dan dunia bayang

Amma Toa
dalam pengembaraan zaman
dan memandang dunia bayang

Keperawanan Tana Toa
kegairahan zaman
telah menyatu di ranjang angan 
kita tunggu yang bakal lahir

_________________________

Bulukumba, 1991.

*) ajaran hidup, patokan moral, dan sumber perilaku adat.
**) kawasan (berlakunya) adat.






Seniman

Seniman adalah
dewa sepi yang mukim
di angin

anehkah?

Seniman
memenjarakan diri
dalam kesepian abadi

anehnya
Seniman
tebarkan wangi sorga
dalam penjara sepi umumkan perang
dalam lelap dunia

Seniman adalah
dewasepi yang semedi
di keriuhan dunia

anehkah?

Seniman adalah
pengembara sejati
sekali lahir tak pernah mati
tegar ide setia dan sejati
habis pun ia mengabdi pada nurani
lancang pun ia meneror cela nurani

Seniman adalah
pejuang paling tangguh
tak terkalahkan

anehnya
begitu hadir telah akrab dengan sepi
karena Seniman
kesepian itu sendiri

________________________

Bulukumba, 1992



Bicara Soal Politisi dan Seniman

Politisi menartik simpati massa
untuk kuasai aspirasi massa

Seniman menarik perhatian masyarakat
untuk kukuhkan apresiasi masyarakat

                massa sebukit pasir
                masyarakat selubuk hati

Politisi kawani massa
perkawanan ala politisi

Seniman akrabi masyarakat
keakraban manusiawai

Pilitisi hindari tantangan
                dan menaklukkan

Seniman hadiekian
                tantangan dan menjinakkan

Politisi amat menakuti
                ketakstabilan ideologi

Seniman amat menakuti
                 ketakbebasan kreatif

Politisi gandrungi kemenangan
Seniman renungi kekalahan

Politisi dan Seniman adalah
pemenang-pemenang sekalian pecundang-pecundang
terhormat dunia
yang dimaklumi


________________________

Bulukumba, 1992






Kamis, 20 Januari 2011

KESENIAN: SAMUDERA TAK BERTEPI

Pada medio 10 tahun pertama abad ke-21 di Bulukumba, tercatat sebuah peristiwa di Lapangan Pemuda, peristiwa yang adalah kreativitas pemudanya, teater kolosal, mengisahkan perkiraan awal munculnya Bulukumba sebagai wilayah pemukiman.
Skenario teater kolosal tersebut berdasarkan Inventaris Arsip Bulukumba (1930-1960), mengungkapkan pertemuan dua arus besar manusia sebagai akibat perang dua negara: Bone dan Gowa. Pertemuan kedua arus besar manusia itu menciptakan konflik, terutama batas wilayah. Hasil pertemuan dikenal dengan Ceppa’é ri Caleppa (Perjanjian di Caleppa). Isinya:
1) kemenangan-kemenangan perang berbatas dari wilayah Sungai Walanae di barat sampai wilayah Ulaweng di utara;
2) Sungai Tangka yang mengaliri wilayah Bone dan Sinjai, bagian utaranya masuk wilayah Bone, sedangkan bagian selatannya masuk wilayah Gowa.
Perjanjian (ceppa’) tersebut merupakan penegasan Jori’ Dewataé, sebuah persetujuan penentuan batas pada akhir perang pertama kedua negara itu, masing-masing diwakili oleh Daeng Padulung, seorang perdana menteri dari Gowa dan Kajao Laliddong dari Bone. Peristiwanya berlangsung antara tahun 1568-1584. Jika kita menarik garis tengah antara kedua tahun itu, kita akan dapatkan jarak waktu masing-masing 8 tahun. Dengan demikian, Bulukumba sebagai wilayah pemukiman dua arus besar manusia yang menanggung risiko perang itu, diperkirakan bermula pada tahun 1576. Dalam konflik penentuan batas itulah muncul bulu’ku’ mupa (tafsiran bebas: masih termasuk wilayah saya). Sebagai akibat perubahan linguistis,  kata bulu’ku’ mupa menjadi bulu’kumba.
Akan tetapi, apa yang dapat dilakukan bersama oleh kedua arus besar manusia yang berasal dari latar dan kebudayaan yang berbeda itu? Apa yang bakal dialami bersama oleh mereka yang masih dalam tahap proses mencari identitas diri? Yang wawasan bersama masih pada lingkup sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas itulah yang dijawab oleh para pemuda Bulukumba sekitar 200 orang lebih, siang hari, 4 Februari 2006 dalam acara puncak Ulang Tahun ke-46 Bulukumba sebagai kabupaten. Pertunjukan itu melibatkan pula puluhan mobil serta motor, sehingga saat pertunjukan yang berdurasi sekitar satu jam itu, debu menyelimuti para penonton. Teater kolosal itu membawa nilai keberhargaan, keunggulan, dan historis.
Kalau penampilan itu memuaskan pemain dan penata artistik di satu pihak serta masyarakat sebagai penikmat di pihak lain, hal itu disebabkan oleh adanya kesamaan rasa dan pikir. Kesamaan itu muncul dari pemerintah kabupaten, masyarakat, dan seniman, tidak hanya pada puncak peristiwanya tapi terutama pada saat proses (dari ide awal sampai pertunjukan).
A.M. Sukri Sappewali sebagai bupati Bulukumba menampakkan eksistensinya dalam proses itu. Bulukumba di bawah arahan beliau, pada event itu tidak saja mampu, tapi juga MAU mengundang seniman teater Jacob Marala sebagai sutradara, didampingi Dharsyaf Pabottingi dari Teater Kampong, Bulukumba; penata musik Basri B. Sila dan Abdi Bashit, dengan person 20 orang, lengkap dengan instrumen musiknya, diangkut dari Makassar. Sebagai catatan, mereka, para musisi itulah yang mengiringi pertunjukan teater La Galigo-nya Robert Wilson keliling dunia pada bulan-bulan sebelumnya.
Dan, lebih dari itu, bupati yang baru saja dilantik beberapa bulan sebelumnya, tidak segan-segan menyiapkan waktu untuk datang berulang kali menyaksikan latihan; bahkan setelah latihan selesai, beliau masih menyiapkan waktu untuk tinggal bincang-bincang dengan semua pendukung. Latihannya sendiri berlangsung selama satu bulan nonstop di belakang kantor Bupati Kabupaten Bulukumba, mulai pukul 20.00.
Kalau jejak-jejak peristiwa kebudayaan di Bulukumba ditapaki kembali, pemikiran yang menghasilkan sikap dan tindak bupati A.M. Sukri Sappewli seperti itu tidak mengherankan. Yang sempat tertinggal dalam rekaman saya, ada beberapa tokoh sebelumnya yang memang demikian. Mereka itu, a.l. KPN (Kepala Pemerintahan dalam Neger) tahun 1950, Andi Syamsuddin. Pada periode itu tampil Busthan Barani, Sangkala’ Caca, Aksa Tarru’, Amin Wahab, Alimuddin Toanging, Makruni, dll. Tahun 1960-an ada Andi Mansyur Sultan, yang tidak saja mau, sekali lagi, mau menanggulangi semua biaya produksi, tapi juga ikut bersila menyaksikan latihan di rumah panggung Ibu Shafiah Paturusi, yang konsumsinya tentu saja disiapkan oleh Ibu yang sangat apresiatif itu. Pada masa itu tampil M. Arman Yunus, Alimuddin Toanging, Amin Wahab. S. Rukiah, dll.

Tahun 1970-an suasana berkesenian semakin meningkat, yaitu saat Andi Bakri Tandaramang menjadi bupati. Peningkatan itu disebabkan oleh 4 faktor.
1) Para seniman yang berproses yang memasabodohi proposal, sehingga aktivitas, produktivitas, dan kreativitas tak terhenti. Artinya, para seniman mendahulukan fungsi intrinsik dibanding fungsi ekstrinsik.
2) Dalam proses itu, pemerintah menjadi mitra seniman dalam pengembangan kesenian. Dengan demikian, dana dari pemerintah yang dipakai dalam produksi, bukan bantuan pemerintah, tidak bersifat bantuan pada seniman, melainkan pemerintah hanya menyalurkan. “Iya mÄ“meng metto punna” (maksudnya: dana itu memang milik mereka), kata salah seorang, entah kepala/bidang apa, di Kantor Bupati, namanya M. Said Makkuaseng, kalau tidak salah ingat.
3) Ada dua gedung yang siap menerima kegiatan kesenian dengan panggung prosenium, ruangan rias, tempat peralatan, bahkan sumur dan toilet, yang dilengkapi dengan kursi dan lampu pencahayaan pentas. Kedua gedung itu: Gema (Gedung Masyarakat) dan G.W. (Gedung Wanita). Auditoriumnya mampu memuat sekitar 400 penonton. Jika sebuah grup akan memanfaatkannya, tugas pelaksana hanya menyurat kepada penanggungjawabnya bernama Ibu Pertiwi.
4) Tersedianya tenaga pembina dari Makassar yang diundang oleh pemerintah secara berkala. Mereka itu Aspar Paturusi, Mochtar Pabottingi, dan T. Konyn. Dalam konteks ini, dua senior yang memang berdiam di Bulukumba tidak tinggal diam sebagai asisten, M. Arman Yunus dan Andi Syafruddin Gani.
Hal-hal tersebut di atas sekadar contoh puluhan tahun sebelumnya. Contoh yang menyimpulkan bahwa antara tiga aspek, yaitu seniman, pemerintah, dan masyarakat, berada di bawah satu pemahaman: kebudayaan, dhi. kesenian adalah media penemuan pengalaman (fisik dan batin) yang memiliki nilai dasar: estetik dan edukatif.
Akan tetapi, masih mungkinkah contoh-contoh puluhan tahun tersebut di atas dijadikan bahan acuan untuk berbuat pada awal abad ke-21 ini? Jawabannya tentu pada kita, tapi setidak-tidaknya ada tiga hal pokok yang harus terhunjam-dalam di dalam hati masing-masing.
1) Seniman harus mampu dan mau berbuat dengan menomorsatukan fungsi intrinsik (keberhargaan, keunggulan) yang ada di dalam seni itu sendiri. Fungsi ekstrinsik bisa dinomorduakan atau dinomorenambelaskan.
2) Hubungan pemerintah dan seniman tidak bersifat simpati tapi empati. Empati ini melahirkan rasa saling menghargai, bukan antarpersonal, melainkan profesi masing-masing.
3) Masyarakat harus dilihat dari dua sikap, yaitu apresiatif dan hedonistis. Dengan memahami hal ini, hubungan antara seniman dengan pemerintah, seni dengan masyarakat, dapat ditakar.
Bulukumba sebagai salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan, amat sangat kaya dengan aset kesenian, terutama dari aspek manusianya. Sekali lagi, dalam membicarakan kebudayaan, dhi. kesenian, tiga aspek yang tidak-bisa-tidak wajib kerja sama, yaitu seniman, penikmat, dan pemerintah, yang ketiga-tiganya terikat dalam simpul: rasa memiliki. Sebagai catatan, beberapa manusia Bulukumba telah menerima Penghargaan Seni dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Mereka itu, Aspar Paturusi pada 1990-an, disusul 4 tahun berturut-turut diberikan kepada Fahmi Syariff (2002), Syam Asrib (2003), Andi Mahrus Andis (2004), dan Dharsyaf Pabottingi (2005).
Akan tetapi apakah dengan kreativitas yang kemudian melahirkan penghargaan membuat senimannya tepuk dada? TIDAK! Mengapa? Kesenian harus terus ditelusuri, dilayari dalam proses menemukan persinggahan baru untuk sementara, kemudian terus melayarinya, karena kesenian adalah samudra tak bertepi, tasi’ temmakkéwiring yang harus terus dilayari. Bukankah Bulukumba panrita lopi? *)

Sabtu, 15 Januari 2011

PARA KARAENG

Bagian III Trilogi Drama
TEROPONG DAN MERIAM

Naskah: Fahmi Syariff.
Sutradara: Jacob Marala.
Produser: Arsal Alhabsi.
Produksi: Teater Makassar DKM, Sulawesi Selatan.
Pementasan I: 17 dan 18 Agustus 1988
Teater Arena, Taman Ismail Marzuki, Jakarta
____________________________________________________
Drama ini mengungkapkan pertemuan antara Sultan Hasanuddin,
Karaeng Karunrung, dan Arung Palakka
dengan  landasan pemikiran masing-masing
____________________________________________________ 


Tokoh:
I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin (Raja Gowa)
Karaeng Karunrung (Perdana Menteri Kerajaan Gowa)
La Tenritatta' Toappatunru' Daeng Serang Arung Palakka
We Tenrisui' (ibunda Arung Palakka)
I Mangkawani (istri Arung Palakka)
Daeng Materru (kontraktor proyek peternakan buaya)
Daeng Marompa (banci jantan)
Kasu'mang
La Bosara'
Tubarani 1-8
Seseorang 1-8

Sinopsis

Drama Para Karaeng bukan refleksi sejarah, melainkan lebih merupakan pengembangan imajinatif dari salah satu episode dalam sejarah Kerajaan Kembar Gowa-Tallo. Episode dimaksud adalah saat-saat sebelum jatuhnya Benteng Somba Opu, atau setelah jatuhnya Benteng Panakkukang.

Dalam drama Para Karaeng ini dipertemukan  tiga tokoh: I Mallombasi Daeng Mattawang, Karaeng Karunrung, dan La Tatta Toappatunru Daeng Serang atau lebih dikenal dengan Arung Palakka. Kepada ketiga tokoh ini diwariskan sebuah teropong oleh Karaeng Pattingalloang, gurunya. Akan tetapi suatu saat kedudukan teropong itu diganti dengan meriam atas prakarsa Karaeng Karunrung. Alasannya, saat itu bukan lagi saat meneropong sambil menggeser badik ke belakang, melainkan saat menghunus badik dan menggantikan teropong dengan meriam.

Tindakan itu sebenarnya tidak disetujui oleh I Mallombasi, tetapi Karaeng Karunrung mengingatkan bahwa situasi dalam keadaan darurat perang. Semua kekuatan harus dikerahkan, cepat dan tepat, dan harus diwujudkan dalam bentuk penyerangan, bukan sekadar menandatangani perjanjian-perjanjian yang pada akhirnya menguntungkan Belanda, si penjajah. Selain itu, Karaeng Karunrung akan memperkuat pertahanan dengan membuat kanal di sekeliling Benteng Panakkukang dengan menggunakan tenaga manusia.

Rencana penggalian itu terbaca oleh Daeng Materru’, seorang kontraktor yang sangat cerdik. Dia segera membuat proposal untuk menjadikan galian yang akan jadi kanal itu nanti sebagai lahan komoditas khusus peternakan buaya. Akan tetapi rencana itu ditantang oleh Karaeng Tunipattolo Daeng Marompa, seorang banci jantan yang didukung oleh para Tubarani atas dasar bahwa saat itu kerajaan dalam situasi kritis.

Di sisi lain, Arung Palakka menanggapi rencana pembuatan kanal itu sebagai penghinaan terhadap harkat kemanusiaa. Namun, dia tidak mampu berbuat banyak karena dia menyadari bahwa sebab-sebab kehadirannya di Gowa, adalah sebagai anak dari lingkungan Kerajaan Bone yang kalah sejak pemerintahan Sultan Malikussaid, ayahanda I Mallombasi.

Hal-hal tersebut di atas menciptakan konflik dalam diri Arung Palakka, dan memuncak ketika para penggali yang berjumlah 10.000 orang itu bekerja. Berbagai suara  saling bertentangan muncul terus dalam dirinya. Pada akhirnya, karena sudah terlanjur “meng-ada” dalam gelanggang, dia bangkit menantang. Dan, karena radius tindakan mendahului radius pandangan, karena meriam tidak diselaraskan dengan teropong, langit pun runtuh. Prinsip: “bukan Bugis tanpa kemakassaran, bukan Makassar tanpa kebugisan” menjelma, tapi sesaat sebelum I Mallombasi mengundurkan diri ke Kalegowa, atau setelah Benteng Somba Opu rata dengan bumi.

______________________________________________
Drama Para Karaeng telah diterbitkan bersama drama
Karaeng Pattingalloang dan Arung Palakka  di bawah
judul Trilogi Teropong dan Meriam oleh Hasanuddin
University Press atas bantuan Prof. Dr. Ir. Radi A. Gany.
                  



MEMOTRET REALITAS KELOMPOK MARGINAL

Dari Pementasan ‘Manusia-Manusia Perbatasan’ (MMP):

Oleh Mukhlis Amans Hady

Lampu seketika padam. Sang sutradara/penulis, Fahmi Syariff, tampil bersuara, “Inilah Manusia-Manusia Perbatasan, sebuah karya sederhana yang terlahir dari diskusi kecil. Semoga hadirin dapat menikmatinya.” Lalu bergulirlah cerita yang dipentaskan oleh Kelompok Studi Sastra dan Teater (KOSASTER) Fakultas Sastra Unhas, melibatkan sekitar 30 pemain, berlangsung (2/11) di aula Kanwil Depdikbud Sulawesi Selatan.

Panggung terkuak habis menjadi hamparan di mana peran-peran sedang berlangsung. Dan sesuatu yang indah tidak selalu kasat mata. Ketika bunyi orang menenun dijelmakan dalam bunyi-bunyi ‘onomatopeia’ tet… te…tet…te’… Menyenangkan, menghanyutkan, mengharukan. Seperangkat alat tenun hadir dalam interpretasi yang khusyuk. Lewat tingkah perlambangan seorang ibu… ibu pertiwi dalam lakon Manusia-manusia Perbatasan, berlakon pada setting di depan panggung, level paling bawah. Sementara di atas panggung, level tengah, sekelompok pemain dan paling banyak jumlahnya sedang berdebat tanpa suara. Di lain pihak, level paling tinggi, panggung modifikasi di pojok kiri atas panggung, empat orang berpakaian parlente pun sibuk dengan lakonnya masing-masing.

Ibu yang merangkai benang, memainkan walida, menelusuri helai demi helai, ibarat maujud dalam ibu pertiwi pada konteks budaya Bugis-Makassar. Di sinilah metafora di mana lakon dimulai. Seketika sepasang anak pertiwi merangkak, menari, menelusuri benang ibunya yang panjang terurai. Yang wanita tidak mesti lagi di rumah, di dapur menunggu nasib. Mesti terus berpacu melanjutkan pesan-pesan ibu pertiwi lewat dimensi mimetik: tet… te… tet… te’. Dua anak pertiwi terus menelusuri kehidupan, mencerap warna-warna kehidupan yang semakin rumit. Tentang orang-orang merdeka mencari  kebebasan, nilai-nilai kebenaran. Terus berjuang, sambil meneriakkan kualleanna tallanga na toalia.

Tingkat interaksi Manusia-Manusia Perbatasan dipresentasi lewat parodi anak negeri, ganrang bulo. Semua peran individu ditampilkan secara cepat dengan efek cahaya yang memikat. Lewat sentakan-sentakan kaki, dentuman gendang, goyangan pinggul, menyimpulkan pola-pola peran  merebak dalam interaksi sosial. Ada peran banci yang sangat sarkastis terhadap peran sosial yang dikebiri oleh kekuasaan.

Efek instruktif MMP disimbolkan dengan jaring laba-laba sebagai garis demarkasi antara pihak-pihak pengendali kekuasaan dan kelompok orang-orang yang dikuasai. Semuanya dianggap berjalan normal dan biasa-biasa saja. Di sini kebebasan berserikat dan berkumpul  di antara manusia-manusia yang disapa ‘orang-orang merdeka’. Pihak penguasa menganggapnya suatu dinamika yang lancar. Bahkan boleh menggugat kekuasaan  menjadi antagonis yang piawai terhadap sistem kekuasaan itu sendiri. Toh penguasa-penguasa tersebut melihatnya wajar, tidak ada peran protagonis tanpa antagonis. Ketika penguasa melihat peran antagonis semakin laten dan hampir berbahaya, mereka ditaktis dengan strategi kekuasaan, diulur seperti layangan, sekali waktu ditarik dan pantas mereka dibancikan dengan fasilitas-fasilitas kekuasaan.

Sekali lagi, MMP adalah grand naratif yang merefleksikan diskusi-diskusi anak-anak kampus. Sebuah wacana sosial tentang kecerdasan nilai-nilai lokal yang menjadi medium penyampaian pesan, yang -sekali lagi- tidak sarat dengan informasi-informasi pembangunan.
Demikian pula dengan dimensi waktu. MMP bukan sebuah sequeunsi linear, tetapi sebuah close up yang utuh, berkelok membentuk areal zaman yang dinilai aktual. Hidup adalah perjuangan yang tak pernah finish, ibu pertiwi adalah titipan yang luhur atas nilai-nilai kebenaran.

Sebenarnya membincang MMP yang digarap Fahmi Syariff, memerlukan banyak penafsiran. Interpretasi dari segi semiotik saja telah menimbulkan berbagai perdebatan. Seperti ketika kelompok Mahasiswa Pencinta Ilmu-ilmu Sastra (MPIS) menyelenggarakan diskusi terhadap pementasan Manusia-Manusia Perbatasan, dilangsungkan (11/11) di Gedung Pertemuan Alumni Kampus Unhas Tamalanrea.

Taufik AAS P. pemakalah tunggal yang mendapat banyak sorotan dan tanggapan, baik dari kalangan mahasiswa maupun dari kalangan dosen. Tanfik sendiri pada kesempatan itu menjelaskan bahwa adalah hal yang menantang dalam MMP, tempat di mana simbol-simbol kekuasaan ditaransfarasi dengan tempat paling bawah, di mana Bunda Tua menjalankan aktivitas kebundaan, kepertiwian. Keduanya selalu disorot dengan tingkat cahaya yang sama (sepanjang) lakon, memperoleh pencahayaan yang seimbang. Bunda Tua diterangi cahaya violet pucat, menyiratkan kesucian yang gelisah, sementara yang di atas, tempat peran-peran penguasa, selalu diterangi dengan cahaya merah serupa mentari sore. Sebuah indikasi bahwa kekuasaan itu sudah lama bercokol di sana, sore hari terus bersinar, bersinar terus.

Manusia-Manusia Perbatasan adalah pikiran kita yang terparkir para realitas kelompok marginal, suatu relitas kehidupan yang paling aktual dewasa ini, sering menjadi tema-tema perbincangan di emper-emper kampus, masuk diskusi-diskusi formal, bahkan paling banyak mengganggu struktur kesadaran  kita sebagai makhluk yang ingin bebas berfikir.

Akhirnya lakon MMP menjelma menjadi interupsi dan bahan berita kepada kawan, kepada lawan, kepada kita semua, kepada diri sendiri, tentang sebuah sketsa kehidupan dewasa ini. Suatu sketsa terhadap pemberdayaan kesadaran kita saat ini.

Sebagai catatan, bahwa Dekan Fakultas Sastra Unhas, Prof. Dr. Nadjamuddin, M.Sc.  seusai menyaksikan pementasan ini mengatakan, apa yang digelar ini sungguh-sungguh sangat memuaskan dan menurutnya, bahwa memang teater  wajar kalau memerlukan banyak dana. Nadjamuddin pun heran ketika disampaikan kepadanya bahwa dana yang digunakan sangat minim. Selanjutnya, ada tawaran menarik dari Rektor Unhas, Prof. Dr. H. Basri Hasanuddin, M.A., mengharapkan kepada KOSASTER agar Manusia-Manusia Perbatasan dipentaskan ulang di kampus. Dalam hal ini, menurut Basri Hasanuddin, pihak universitas akan menanggung fasilitasnya.*.

____________________________
SK Identitas Unhas, 15 Nov. 1994







ARUNG PALAKKA

Bagian II Trilogi Drama Teropong dan Meriam
Naskah: Fahmi Syariff
Sutradara: Jacob Marala.
Produser: Ajeip Padindang.
Pementasan I: Teater Latamaosandi, Makassar, Sulawesi Selatan.
Gedung Kesenian DKM, 7-10 Agustus 1988.

Sinopsis

Tiga laki-laki sedang membuat kubu pertahanan dengan cara membuat galian di pesisir pantai. Mendadak dari satu arah terdengar letusan. Seperti biasa, jika ada letusan, berarti ada nyawa melayang. Dan benar, di gundukan pasir galian, lewat dua laki-laki menggotong mayat dengan menggunakan sarung dan bambu. Di belakangnya, seorang mandor menyusul sambil meniup asap dari lubang senapannya.

Demikian gambaran peristiwa keseharian di sepanjang wilayah penggalian, peristiwa-peristiwa yang menyimpan gumpalan pedih di balik dada para pekerja. Untuk melawan hanya kesia-siaan, sebagaimana yang terjadi sebelumnya.

Turunnya Arung Palakka ke penggalian atas perintah Karaeng Karunrung, Mangkubumi Kerajaan Gowa, dianggap oleh para pekerja sebagai tindakan yang sudah sangat melampaui batas. Betapa tidak, Arung Palakka adalah turunan langsung Raja Bone, dibesarkan bersama I Mallombasi, Raja Gowa, dan Karaeng Karunrung oleh Karaeng Pattingalloang. Akan tetapi bagi  Arung Palakka, hal itu justru merupakan jalan utama dan pertama untuk merebut kembali harkat manusia sebagai manusia.

Puncak kepedihan yang dirasakan oleh Arung Palakka adalah saat ayahandanya, Arung Tana Tennga, meninggal; langsung dimakamkan tanpa sepengetahuannya. Peristiwa itu menciptakan dendam, dan akan ditebusnya bukan dengan menyerang, melainkan dengan membebaskan semua pekerja parit yang jumlahnya sekitar 10.000 orang.

Sambil bekerja di penggalian, strategi pun dia susun bersama 7 pekerja lainnya. Waktu yang mereka pilih untuk membebaskan diri dari perbudakan itu adalah saat berlangsungnya pesta panen di Tallo. Pilihan pada hari pesta itu didasarkan atas pertimbangan, bahwa sebagian besar tubarani akan hadir pada pesta panen itu, selain rakyat tentu saja akan ikut dalam pesta yang sangat langka dilakukan itu. Ini berarti bahwa daerah penggalian akan kosong dari kekuatan. Malam hari sebelum pembebasan itu mereka lakukan esoknya, kedelapan laki-laki itu bertemu di penggalian mengikat janji dengan mengitari sebuah batu dan menghancurkannya.

Hari yang mereka nantikan itu pun tiba. Kurang lebih 10.000 pekerja secara serempak meninggalkan daerah penggalian. Konflik yang tak bisa tidak terjadi, adalah antara mereka dengan mandor yang memang tidak seberapa jumlahnya. Setelah kesemua mandor itu mereka lumpuhkan, mereka kemudian berkumpul di tempat yang telah mereka tentukan untuk selanjutnya meninggalkan Gowa.

Di satu ketinggian berdiri Arung Palakka. Di ketinggian lain berdiri Karaeng Karunrung. Di dekat mereka berkibar bendera masing-masing. Keduanya bertarung dalam diam, lalu keduanya ditelan kegelapan. Yang tersisa hanyalah bendera yang berkibar angkuh. Terakhir, Arung Palakka muncul dari kegelapan dengan sebuah senandika: “Tidak salahkah aku jika aku minta bantuan bangsa lain untuk melepaskan bangsaku dari perbudakan yang dilakukan oleh bangsa yang kebetulan lebih kuat daripada bangsaku?”*


Kamis, 13 Januari 2011

KARAENG PATTINGALLOANG








Bagian I Trilogi Drama Teropong dan Meriam
KARAENG PATTINGALLOANG
(Diilhami oleh cerpen Menghadap Karaeng Pattingalloang karya Sinansari Ecip).
Pementasan I    : Pertemuan Sastrawan Nusantara, Auditorium RRI, Makassar, 1992.
Pementasan II   : Festival Teater Indonesia, Taman Budaya, Solo, 1993.
Pementasan III : Festival Istiqlal II, TIM, Jakarta, 1995.
Naskah: Fahmi Syariff.
Sutradara: Jacob Marala.
Produksi: Teater Makassar, Dewan Kesenian Makassar, Sulawesi Selatan.
Produser: Arsal Alhabsi.

Sinopsis
Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo pada awalnya terlibat dalam kancah peperangan. Tetapi setelah perdamaian terjadi, keduanya menjadi kerajaan kembar, Gowa-Tallo, dengan kesepakatan: setiap Raja Tallo harus menjadi Mangkubumi Kerajaan Gowa. Dari kesepakatan itulah lahir idiom se’re ata ruwa karaeng (satu abdi dua raja).

Raja Tallo, Karaeng Pattingalloang (Agustus 1600-15 September 1654) bernama asli I Manngada’cinna Daeng Sitaba, menjadi Mangkubumi Kerajaan Gowa pada masa pemerintahan Raja Gowa XV. Kepopulerannya sebagai seorang cendekiawan dan negarawan yang cerdas bukan saja di Gowa dan di Tallo, melainkan juga sampai di luar kerajaan. Beliau menulis beberapa buku tentang ketatanegaraan, soal-soal perseroan, dan hukum-hukum pelayaran. Selain itu, dia juga menguasai astronomi dan mahir dalam beberapa bahasa asing yaitu bahasa Arab, Portugis, Spanyol, Denmark, dan Latin.

Keluarbiasaan Karaeng Pattingalloang tersebut menyebabkan Bendaharawan Kerajaan Tallo, Daeng Materru’ (Sang Pemberani), bermaksud menganugerahkan nama sandang Cikal Kemakmuran dan mengucapkan Sumpah Setia Kebulatan Tekad para takyat kepada pemerintahnya. Dia pun menentukan waktu untuk melaksanakannya, yaitu pada malam Lebaran Idul Fithri.

Atas dasar Surah Al-Ashr, surah yang menegaskan bahwa manusia yang tidak menggunakan masanya (waktunya) dengan sebaik mungkin termasuk manusia yang merugi, malam lebaran kali itu dimuati dengan sekian banyak kegiatan seusai takbir keliling.

Ternyata segala sesuatunya telah dipersiapkan (direkayasa) dengan matang oleh Sang Bendahara Kerajaan dengan langkah-langkah yang matang pula. Pertama, dia merangkul anggota Angkatan Muda yang wakilnya sudah ada di Dewan Bate Salapang (semacam DPR sekarang). Kedua, dalam acara  tersebut Tukajannannganga, Anrong Ta’bala’, dan Tumailalang Lolo sengaja tidak diundang. Yang diundang hanya Penasihat Kerajaan yang bijak serta Tumailalang Towa yang tua-renta. Ketiga, dan ini yang paling diandalkannya, kerjasama dengan Karaeng Tunipattolo Daeng Marompa (kemanakan Karaeng Pattingalloang) yang bencong, melalui Daeng Talekang (istrinya) yang bendaharawan PERSIWAKARUNG (Persatuan  Istri Punggawa, Istri Karaeng, dan istri Arung) untuk memengaruhi Daeng Ngani (istri Karaeng Pattingalloang) yang Ketua PERSIWAKARUNG. Program yang telah diproposalkan dan akan diserahkan menjelang acara itu, ialah penambahan lapangan sholat Ied, lapangan perburuan rusa, serta akan meminta katabelece buat menyebarkan tikar sholat Ied yang akan dilengkapi dengan stiker sebagai tikar standar bagi seluruh penduduk.

Akan tetapi semua taktik itu secara perlahan diketahui oleh Karaeng Pattingalloang, termasuk rahasia Anrong Ta’bala’, yang sesungguhnya juga punya maksud serupa tapi tak sama, tapi tak seberani Daeng Materru’.

Benturan pun terjadi antara satu dengan yang lainnya, karena para pembesar kerajaan yang sengaja tidak diundang, ternyata hadir semua atas “jasa” bisik-bisik Suro Kerajaan. Terakhir, simbol penghargaan yang dipersiapkan oleh Daeng Materru, dikalungkan di leher Daeng Materru’ sendiri oleh Karaeng Pattingalloang, sementara Angkatan Muda yang baru sadar bahwa mereka ditunggangi, mempersembahkan tari Pakkape (tari Kipas) bagi Daeng Materru’, sekaligus bagi DM-DM MK atau Daeng Materru’- Daeng Materru’ Masa Kini.*

Catatan:
Drama ini telah diterbitkan bersama drama Arung Palakka
dan Para Karaeng di bawah judul Trilogi Drama TEROPONG DAN MERIAM
oleh Hasanuddin University Press atas bantuan Prof. Dr. Ir. Radi A. Gany.

PROSES KREATIF


PROSES PENULISAN DRAMA
Datu Museng & Maipa Deapati

Kalau di Inggris dikenal Romeo + Juliet melalui dramawan W. Shakespeare, Laila Majnun di India melalui film, maka di Sulawesi Selatan dikenal Datu Museng dan Maipa Deapati. Ketiga legenda tersebut berinti tema cinta, dengan akhir hidup yang saling berbeda.  Romeo + Juliet mengakhiri hidup dengan minum racun, Laila dan Majnun di tengah teriknya padang pasir, dan Datu Museng menghentikan napas  Maipa Deapati, istrinya, dengan badiknya sendiri.

***

Kami yang berdiam di kampung Ponre, 3 km sebelum masuk kota Bulukumba dari Makassar, sesudah santap malam pada setiap malam Rabu, berjejer di pinggir jalan raya menunggu resitasi sastra tutur diiringi gesekan rebab melalui radio. Perpaduan antara seni sastra lisan dan seni musik tersebut dikenal dengan sinrili’, dimainkan oleh Bapa’ Mudi’. Radio ketika itu adalah media teknologi komunikasi tercanggih. Karena canggihnya berarti mahal, dan karena mahalnya berarti tidak banyak penduduk yang memilikinya. Ini tahun 1957.


Radio di kampung Ponre yang berpenduduk k.l. 100 orang itu, jumlahnya tidak cukup sepulun buah ketika itu. Setrumnya bersumber dari sebuah generator raksasa, ditaruh di bawah saoraja (istana) kediaman Bapak Kepala Distrik. Generator itu dipersiapkan untuk mesin produksi tapioka. Sampai generator itu tidak bisa lagi mengeluarkan setrum, program produksi tapioka tidak pernah terwujud. Entah apa penyebabnya, tapi yang pasti keamanan sangat labil ketika itu.  

Sambil menikmati sinrili’ lewat radio, terdengar monolog atau dialog antarpendengar menanggapinya. Meskipun Bapa’ Mudi’ menggunakan bahasa Makassar, kami tetap bisa menikmatinya. Hal itu disebabkan masyarakat Ponre termasuk masyarakata yang bilingual, bahasa Makassar dan bahasa Bugis. Kedua bahasa ini masih serumpun, yaitu rumpun bahasa Austronesia. Doktor Nurhayati, dari Fakultas Sastra (kini Fak. Ilmu Budaya) Universitas Hasanuddin, menegaskan, persamaan kosa kata bahasa Bugis dan bahasa Makassar lebih dari 60%.

Melalui sinrili’ itulah saya ”bertemu” dengan Datu Museng untuk pertama kalinya. Pertemuan kedua pada awal 1960-an lewat novel karya Verdy R. Baso, yang dipinjamkan oleh seorang tetangga, pemain sepak bola bernama Racide’ (Abd. Rasyid, alm.). Pertemuan ketiga pada awal Mei 1975 di Makassar, saat Abdulkadir Sila, pimpinan Studi Teater Tambora datang di belakang layar bioskop DKM (Dewan Kesenian Makassar), tempat tinggal saya dengan istri dan seorang anak saya, Yuyun (meninggal pada usia 6 bulan 1 minggu).

”Kita pentas. Fahmi tulis naskahnya. Ini...,” kata Kadir Sila ketika itu sambil menyodorkan novel Datu Museng, persis yang telah saya baca semasih di Bulukumba. ”Fahmi sutradara, saya produser. Produksi Tambora,” katanya lagi.
”Akan saya coba. Mudah-mudahan saya bisa,” kata saya.

Sambil menulis naskah, pada kesempatan-kesempatan tertentu saya cari informasi tambahan tentang kisah cinta Datu Museng dan Maipa Deapati. Bapak Mappaseleng Daeng Maggaoe, B.A. yang tentu telah hapal legenda percintaaan antara Datu Museng dengan Maipa Deapati, berulang kali saya temui, karena beliaulah yang menggantikan Bapa’ Mudi’ sebagai pasinrili’ di RRI. Ketika itu Pak Mappaseleng pegawai Kantor Departemen Penerangan RI Provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu, saya menghubungi Bapak Kepala Kantor Pos Besar Sulawesi Selatan yang orang Sumbawa, cari data terutama yang berkaitan dengan aspek sosial Sumbawa, yang ternyata tidak jauh beda dengan Bugis Makassar. Perbedaannya yang paling jelas pada bahasa. Begitu antusiasnya Bapak tersebut (maaf, namanya saya lupa) beliau berulang kali menyaksikan latihan di Gedung DKM Jl. Irian No. 69. Kepada beliau dan keluarganya terima kasih tak terhingga saya sampaikan.

Entah untuk apa, tetapi suatu hari Ahad, saya dengan beberapa teman ziarah ke makam Datu Museng dan Maipa Deapati. Di makam itu, di satu makam, dua nisan kayu berdiri bersanding kukuh, mengkilap kehitaman, terletak di ujung barat Jl. Datu Museng, seberang-utara RS Stella Maris.

Menyusun kisah Datu Museng untuk dipertunjukkan, ternyata sebuah kerja berat. ”Berat” kata saya, karena, pertama, saya sudah menempatkan diri sebagai sutradara, dalam pengertian, yang ada di imaji harus ditulis dan harus mampu diaudiovisualkan. Kedua, kisah Datu Museng dengan kekasihnya Maipa Deapati telah memasyarakat. Karena saya belum pernah membaca teori penulisan drama, maka ”teori” yang mendasari penulisan justru naskah-naskah drama di mana saya pernah ikut main.

Sebagai sastra drama, kisah Datu Museng dan Maipa Deapati saya selesaikan tanggal 5 Juni 1975, terbagi atas 4 babak dengan struktur: Babak I di rumah kakek Datu Museng, Babak II di istana Maggauka Datu Taliwang (keduanya di Sumbawa). Babak III dan IV di Makassar, masing-masing di kantor Belanda Tumalompowa dan di rumah Datu Museng.

Judulnya? Belum ada, tapi ”kasih sayang antarkekasih mengatasi segala-galanya,” hal utama dan pertama tak boleh lepas. Saya teringat drama Romeo+Juliet (1595) yang diselesaikan dengan racun oleh penulisnya, William Shakespeare, film India Laila Majenun diakhiri sutradaranya di bawah terik matahari di atas padang pasir. Lalu, Maipa Deapati, menyerahkan lehernya kepada Datu Museng, suaminya, dengan keris matatarampanna. Ketiga tragedi cinta tersebut berpangkal pada konflik sendiri-sendiri dan dengan penyelesaian sendiri-sendiri. Jadi judulnya Kisah Cinta Bersimbah Darah?, atau Bunuhlah Aku Kalau Engkau Mengasihiku?,  atau Kita Jemput Maut Atas Nama Kasih?, atau...?

Datu Museng & Maipa Deapati, itulah judulnya. Hanya itu. Jatuhnya pilihan pada nama tokoh protagonisnya, Datu Museng dan Maipa Deapati, bukan epigon pada Romeo-Juliet atau Laila Majenun, melainkan karena perhitungan bahwa kisah ini telah memasyarakat di semua strata sejak dulu di Sulawesi Selatan pada umumnya. Logikanya, karena telah memasyarakat, berarti akan banyak penonton. Karena banyak penonton, berarti banyak karcis yang terjual. Karena banyak karcis terjual, ya, modal produksi setidak-tidaknya bisa kembali.

Teknik pengungkapan Datu Museng & Maipa Deapati sebagai sastra drama berdasarkan formulasi Aristoteles, the three unities, H3K (Hukum 3 Kesatuan): kesatuan waktu, kesatuan tempat, kesatuan lakuan. Tetapi istilah itu saya ketahui lebih sepuluh tahun kemudian, atau sesudah naskah ditulis dan dipentaskan berulang kali. Dan karena Aristoteles menegaskan bahwa pendapatnya bukan harga mati, sekadar formulasi, maka dalam format tersebut, sinrili’ saya jadikan salah satu akses pengembangan H3K. Sinrili’ di sini menjadi narasi pembuka, antarbabak, dan penutup.

Tanpa buang-buang waktu, produksi segera diawali atas nama Studi Teater Tambora melalui latihan di Gedung DKM yang open air di Jl. Irian No 60 atas izin Ketua DKM, Rahman Arge tanpa bayaran sepeser pun. Sejumlah 27 pemain (belum ditentukan peranannya) berlatih lima kali semingu dari pukul 15.00-18.00 pada latihan bulan pertama. Bulan kedua ditingkatkan, setiap hari kecuali hari Ahad. Bulan ketiga, tepatnya 3 dan 4 Agustus 1975, drama Datu Museng & Maipa Deapati dipentaskan di gedung bioskop Madya (dulu Empress Theatre, lalu Mitra). Berikutnya 9 Agustus 1975 dipentaskan khusus untuk para siswa SMA se-Makassar di panggung terbuka Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam).

Sebelum pementasan untuk murid SMA pada tanggal 7 Agustus 1975, diadakan general rehearsal yang disaksikan oleh Wahyu Sihombing dan Pramana Padmadarmaya. Kedua tokoh teater dari Dewan Kesenian Jakarta yang kebetulan ada di Makassar itu bertamu ke DKM. Siapa yang menyampaikannya bahwa ada latihan teater, entahlah, tapi yang pasti seusai latihan diadakan bincang-bincang. Dari pertemuan itu ada kesan yang tak pernah saya lupakan sampai sekarang. Begini:
”Adik-adik ini latihan berapa lama,?” tanya Pak Pram (panggilan akrab Pramana Padmadarmaya) dengan irama kebapakan.
”Dengan pementasan yang lalu, sekitar dua bulan,” jawab saya sebagai sutradara.
”Main berapa malam?” Pertanyaan ini dari pak Hombing (Wahyu Sihombing).
”Satu malam,” jawab saya.
”Satu malam?!, tanyanya lagi dengan tekanan Bataknya.
”Eh, bukan. Kami sudah main dua malam. Bulan lalu, di Gedung Nioskop Mitra.
”Dengan yang ini,?” Pak Hombing menjelaskan maksudnya.
”Oh, dengan yang ini, tiga malam.”
”Bah! Latihan dua bulan, main tiga malam. Rugilah kamu itu. Main banyak-banyak.”
“Caranya?,” salah seorang teman nyeletuk.
“Bah! Bilang pada itu, gubernurmu,! Sahut Wahyu Sihombing lagi.

Kami hanya saling berpandangan menanggapi ucapan seniman Indonesia itu. Mungkin dia lupa bahwa Makassar bukan di bawah Ali Sadikin yang dengan naluri kenegarawanannya membuat Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Sekitar sebulan lebih kemudian (4, 5, dan 6 September 1975), Datu Museng & Maipa Deapati diproduksi oleh Poseidon Arts Group dengan produser Salam Noor Ahmad, B.A. Grup teater ini kerja sama dengan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Sulawesi Selatan. Pementasannya berlangsung di Gedung Kesenian DKM Jl. Irian 69, dan, lagi-lagi tanpa bayaran gedung dan setrum lampu.

Beberapa menit sebelum pementasan malam pertama, saya sebagai penulis sekaligus sebagai sutradara, menerima penghargaan dari Sekretaris Jenderal PWI Pusat, Sunardi DM, didampingi Rahman Arge yang Ketua PWI Sulawesi Selatan. Penghargaan yang sama, juga diberikan pada Salam Noor Ahmad, B.A. sebagai produser dan Verdy R. Baso, wartawan Hr. Pedoman Rakyat yang novelnya dijadikan salah satu sumber penulisan.

Memakai nama tokoh yang akrab dengan masyarakat sebagai judul untuk pementasan pada tahun 1970-an, merupakan iklan utama. Hal ini terbukti dalam pementasan tersebut di atas. Saat diproduksi oleh Poseidon Arts Group di Gedung Kesenian DKM selama 3 malam berturut-turut, tiket yang Rp 150 di loket dicatut sampai Rp 500. Bahkan ada pemain yang sembunyi-sembunyi ikut mencatut. Penontonnya? Pada malam terakhir dua bus Koammas datang dari Maros khusus untuk nonton. Dari pementasan Datu Museng & Maipa Deapati tahun 1975, para pemain menerima honorarium Rp 3.500 perorang selama tiga malam pementasan.

Dari pengalaman menulis itu, beberapa pelajaran yang sangat berarti saya peroleh. Bahwa, struktur sebuah kisah yang historis atau legendaris, tidak harus menjadi struktur dalam wujud audio visual. Hal ini saya terapkan terutama dalam hal alur demi menghindarkan adegan yang sarat informasi tanpa konflik. Ini berarti tidak semua peristiwa dalam sejarah atau legenda harus terekspresi dalam adegan. Tetapi sebaliknya, jika memang prinsipal, ada saja satu dua patah kata dari data historis atau legendarisnya justru terekspresi dalam beberapa halaman.

Bertolak dari hal-hal tersebut di atas, naskah tahun 1975 sebagi naskah awal yang menjadi dasar pementasan, saya ubah dan tegaskan sebagai berikut:
    Sinrili’ yang saya kutip dari Makassarsche Christomathie oleh Matthes (1939) yang membuka, mengantarai babak, menutup peristiwa, serta adegan prosesi saat Maipa Deapati turun ke taman permandian, dalam naskah awal belum ada.
    Babak I pada naskah awal menjadi Babak II, dan sebaliknya Babak II menjadi Babak I. Perubahan ini saya dasarkan atas kronologi peristiwa melalui alur.
    Tokoh Pangeran Manngalasa dalam naskah awal hanya tampil satu kali untuk merebut Maipa Deapati. Atas dasar perhitungan tokoh antagonis yang termasuk tokoh sentral, tokoh ini kembali tampil pada babak berikutnya, bukan untuk merebut Maipa Deapati, melainkan untuk mengembalikan harga diri sebagai laki-laki yang siap mati bertarung tanpa pengawal, yaitu pertarungan dalam satu sarung melawan Datu Museng.
    Pada naskah awal, tidak ada tokoh Datu Jarewe’. Dalam pengembangan, tokoh ini dihadirkan berdasarkan alasan bahwa dialah yang justru penyebab ditugaskannya Datu Museng melawan Tumalompowa.
    nebentext-nya dilakukan seminim mungkin dengan tujuan memberi kebebasan pada sutradara dan pemeran mengembangkan imajinasi kreatifnya. Misalnya, jika ada perubahan suasana adegan atau emosi tokoh, yang tercantum hanya kata ”jeda”. Bagaimana gerak dan wajah pemeran serta irama vokalnya, sepenuhnya diserahkan pada pemeran dan sutradara.

Pementasan demi pementasan berlangsung di berbagai kota, desa, dan panggung. Selain Studi Teater Tambora yang pertama kali memproduksinya, juga diproduksi oleh Poseidon Arts Group Makassar dari 1975-1977, dan Pola Artistik menjadikannya materi teater-keliling di Kabupaten Bulukumba (1977-1978). Tanggal 4 dan 5 Juli 1987 Datu Museng & Maipa Deapati kembali dipentaskan oleh Studi Teater Tambora di Auditorium RRI, Makassar, dengan sutradara Udhin Palisuri, seorang poetry reader Indonesia.

Para teaterawan yang berperan dalam semua pementasan tersebut di atas dan dari berbagai grup teater (yang masih teringat): Abdulkadir Sila, M. Amir Sinrang, Makhfud Ramly, Ina Librawaty, Wiwiek Sumaryo, Marhani S, Hasan Kuba, Sandy Karim (alm.), Udhin Palaguna (alm.), Hasan Mintaraga (alm.), A. Tajuddin Manda (alm), M. Nurdin Padde, Jufri Fattah, Azikin Solthan, Amir Arfah, Dahlan, Yusri Syarifuddin, M. Saleh Baso, Jufri Suaib, Jufri Fattah, Yusuf HM Noor, Nirawaty, Nimra, M. Alwy Gazali, Nasaruddin, Arifin, Abd. Kahar, Agus Adil, Syafri Em Saleh, Firman B, M. Akil, Ilham (alm.), A. La Pariusi (alm.). Mereka ini dari: Study Teater Tambora, Poseidon Arts Group, dan Pola Artistik, Gantarang, Bulukumba.  Terima kasih tak terhingga saya sampaikan, karena tanpa mereka pementasan tak mungkin terwujud.